Search This Blog

Monday, November 13, 2017

Belum Berjudul



Awal perjumpaan kami sangat sederhana. Aku begitu lelah setelah seharian sibuk mengurusi ini-itu. Lalu aku menyuruh pembantu memanggil Mbak Retno, tukang pijat langganan. Tak lama setelah itu, pembantuku malah membawa seorang pemuda yang cukup gagah nan tampan. Kata pembantuku, Mbak Retno sedang pulang ke kampung dan pemuda ini menawarkan jasa pijat atas rekomendasinya.
Ia bernama Dharma. Setelah perjumpaan awal itu, seminggu sekali di hari Jum'at, Dharma datang kerumah untuk memijat. Menjadi teraphis pijat langgananku.
"Berapa umurmu?" tanyaku saat pertama kali Dharma memijatku.
"Dua puluh lima tahun, Bu."
"Jangan panggil, Bu. Kamu membuatku jadi tampak sangat tua."
"Maaf, tante."
Aku tertawa mendengar ucapan polosnya. Bu? Tante? Baiklah, aku memang tidak bisa melawan waktu. Tapi aku bisa melawan kerutan-kerutan di wajah dengan treatment di salon dan sesekali suntik botox. Dan untuk menjaga tubuh agar tetap bugar, aku punya jadwal senam dan ritual yoga di Sabtu dan Minggu pagi.
"Panggil saja, Mbak Susi."
Anak muda itu mengangguk. Lalu ia membuka tas sandangnya dan mengeluarkan sebuah botol minyak zaitun.
"Minyak zaitun bagus untuk terapi pijat, Mbak. Juga sangat bagus untuk kelembaban kulit." Dharma menjelaskan.
Aku tengkurap di atas ranjangku yang nyaman dengan hanya memakai celana dalam dan seutas BH. Dharma mulai memijat dari bagian kaki. Lalu paha. Naik lagi ke punggung. Ia pintar benar memijat. Setiap pijatannya bertenaga, penuh sensasi, pas banget. Aku menikmatinya. Sentuhan-sentuhannya memberiku gairah. Juga mengingatkanku bahwa sudah lama aku tidak dijamah.
"Minggu depan datanglah. Jangan khawatir, aku akan membayarmu dua kali lipat." kataku setelah Dharma memijat seluruh bagian tubuh. Termasuk bagian yang itu. Aku sengaja memintanya menyentuh bagian rawan itu. Aku ingin lihat reaksinya. Awalnya ia sedikit ragu walau tak bisa disangkal bahwa ada gairah di ekspresi wajahnya. Dua puluh lima tahun, tentu masih sangat muda, polos dan sedang meletup-meletupnya gairah seks.
"Baiklah, Mbak." ucap Dharma sembari memasukan kembali botol minyak zaitun lalu keluar dari kamar.
***
Sudah lima belas tahun aku bercerai. Selama itu pula aku menyandang status sebagai janda kaya beranak satu yang cantik. Aku memang memutuskan untuk tetap menjanda. Bukan karena aku tidak laku, malah sangat laku. Sangat banyak lamaran yang aku tolak. Dan mereka yang melamarku juga tidak bisa dikatakan sebagai orang-orang biasa. Malah terang-terangan seorang anggota DPR yang sudah beristri tetap mau mengawiniku. Aku tolak lamaran-lamaran itu. Aku ingin fokus membesarkan Rio.
Rio, putra semata wayangku, kini sudah besar. Ia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Amerika. Setelah ia pergi, hariku-hariku hanya dipenuhi urusan pekerjaan. Mengurusi butik, minimarket kerajinan tangan dan sesekali berkumpul dengan teman-teman di bar atau restoran sekadar untuk ngrumpi atau arisan. 
Sebagai seorang single parent dan manusia biasa aku tidak bisa menafikan adanya hasrat seksual yang seringkali meletup. Ketika hasrat itu muncul, biasanya aku menghubungi seorang lelaki sewaan untuk bercinta semalaman di hotel. Aku akan bilang pada Rio sedang ada kerjaan di luar kota.
Lalu Dharma, si tukang pijat yang masih brondong itu membuatku tak lagi memanggil para lelaki sewaan itu. Brondong muda itu membuatku merindukan pijatannya.
"Kenapa kamu pilih pekerjaan ini? Apa keluargamu tahu kamu menjadi tukang pijat?"
Dharma menggeleng keras. "Nggak, Mbak. Jangan sampai keluarga di kampung tahu. Dan jangan sampai teman-temanku tahu. Bisa malu aku. Aku jadi tukang pijat hanya sebagai selingan saja kok, Mbak."
"Jadi apa pekerjaanmu selain ini?"
"Sales motor, Mbak. Tahu sendiri berapa gajinya. Buat bayar uang kost, makan, kuliah dan kebutuhan yang lain kurang sekali, Mbak. Keluarga di kampung tidak bisa bantu sejak bapak sakit-sakitan."
"Jadi kamu juga kuliah?"
"Iya, semester akhir."
Aku mengangguk mengerti.
"Mau kerja sama aku? Kamu mau jadi kasir di minimarket atau jadi supir pribadi?"
Dharma tampak antusias mendengar tawaranku. "Jadi supir, Mbak. Aku bisa nyetir. Sekarang cari kerja susah. Temanku yang sudah lulus kuliah duluan juga masih banyak yang nganggur. Terima kasih atas tawarannya, Mbak."
***
Entah mengapa, sejak kehadiran Dharma, hidupku sedikit lebih menggairahkan. Ia pemuda tampan yang ulet, patuh dan tangguh di atas ranjang. Sejak pagi ia sudah bangun, menyapu halaman, mencuci mobil bahkan membantu Mbak Ijah memasak di dapur. Di rumah ini ada dua pembantu. Mbak Ijah yang mengurus rumah dan Pak Surno yang mengurus kebun. Dharma segera bisa dekat dengan mereka.
Aku memberi perhatian khusus pada sopir gantengku ini. Tak lupa aku membelikannya beberapa set pakaian. Jam tangan. Sepatu. Makin tampan ia saat mengenakan jas hitam. Aku mengajak pula Dharma pada arisan di rumah salah satu temanku.
"Siapa itu yang Jeng Susi bawa?"
"Supir baru, Jeng."
"Duh, masih brondong tampan pula. Jeng ini pintar cari supir deh."
Aku tersenyum, sedikit bangga. Kulirik Dharma, ia sedang membantu menyiapkan cemilan bersama pembantu temanku.
"Coba deh Jeng cariin aku pembantu brondong kayak sopir jeng."
"Nanti aku coba tanya sama sopirku itu, Jeng. Siapa tahu ada temannya yang kayak dia."
Lalu kami para ibu-ibu mulai menggosip. Cerita ini-itu. Mulai dari barang-barang mewah yang lagi nge-hits hingga duda-duda keren yang tak kalah nge-hits pula. Sembari mencomot cemilan-cemilan diet dan anggur merah, kami para ibu-ibu single parent menikmati hidup.
***
Suatu ketika usai memijatku dan tentu saja, bercinta, Dharma mengatakan sesuatu.
"Mbak, bulan depan saya akan wisuda."
"Wah, selamat ya," ucapku tulus dan bangga. Tak lupa kukecup bibirnya.
"Mbak datang ya. Nanti keluargaku dari kampung juga datang."
Aku diam sesaat sebelum memutuskan.
"Iya, aku akan datang. Keluarga dari kampung berangkat naik apa?"
"Kereta, Mbak"
"Bagaimana kalau kamu jemput saja pakai mobil. Muat kan?"
"Muat, Mbak. Hanya bapak, emak, kedua adikku dan seorang teman perempuan."
"Teman perempuan? Apa ia pacarmu?"
Dharma menggeleng dengan ekspresi terkejut. "Nggak, Mbak. Hanya temen sejak kecil," katanya. Aku mendengar kegelisahan pada suaranya. Aku tahu ia tak jujur. Ketidak jujuran pertama.
***
Ketika remaja, aku tidak punya mimpi muluk-muluk. Mimpiku sederhana : menikah dengan seorang lelaki yang mencintaiku sepenuhnya, mempunyai anak dan bahagia hingga raga ini masuk tanah. Namun, mimpi yang sesederhana itu pun seperti kepulan asap teko panas di atas perapian, menguap.
Kuliah belum usai, aku bunting. Pacarku itu bahkan lebih muda. Ia anak konglomerat, sama sepertiku. Mau tak mau kami harus kawin. Lalu, Aku memutuskan berhenti kuliah. Sementara Ia tetap lanjut hingga lulus.
Membina rumah tangga di usia muda bukanlah hal muda. Meskipun untuk finansial sudah disokong orang tua kami sekali pun. Baik aku maupun suami masih mementingkan ego. Dan seperti bisa ditebak, kami bercerai. Ketika itu Rio baru berumur dua tahun. Hak asuh Rio berada di tanganku sepenuhnya.
Aku memutuskan untuk tidak menikah lagi. Buat apa? Kebutuhan biologis? Jika aku butuh, tinggal hubungi lelaki bayaran. Beres. Puas.
***
Dharma memperkenalkan mereka. Ayah, ibunya, dua anak laki-laki dan seorang gadis manis. Mereka tampak lugu dengan dandanan ala kadarnya. Aku menyalami mereka satu persatu dengan ramah. Kujamu mereka dengan hidangan makan malam yang melimpah hasil olahan tangan Mbak Ijah.
Mereka akan bermalam di sini sebab besok pagi-pagi akan menghadiri acara wisuda Dharma. Rumah ini punya banyak kamar kosong yang bisa mereka tempati.
Perhatianku tak lepas pada gadis manis yang duduk di samping Dharma sekarang. Dari cara Dharma memerhatikannya, sudah pasrti mereka ada hubungan spesial.
Apakah aku cemburu?
Aku menertawakan diri sendiri.
"Teima kasih Mbak Susi atas semuanya," ucap Dharma ketika acara makan malam usai dan keluarganya sudah menempati kamar masing-masing.
"Tak masalah. Maukah kau menemaniku sebentar sebelum pergi tidur?"
Aku bisa melihat guratan bimbang di wajahnya. Tapi seperti yang kuduga, ia tidak bisa menolak ajakanku. Aku tersenyum untuk diriku sendiri. Tak perlu aku cemburu pada gadis itu jika ketika aku menginginkannya, brondongku ini siap melayaniku.
Kamar pun tertutup rapat.
Di bawah selimut, berdua saling mendesah.
***
Anak semata wayangku pulang. Kuliahnya libur. Aku memperkenalkan Dharma sebagai tukang supir. Tidak lebih. Tidak sebagai tukang pijat atau pun brondong kesayangan.
Aku lihat Dharma memang mempunyai kelebihan cepat akrab dengan siapa pun.
"Ma, aku mau ke mall. Biar dianterin Dharma, Ya."
Mereka jadi sering bersama. Mungkin karena seumuran. Dari dulu Rio yang anak tunggal memang merindukan teman bermain di rumah ini. Aku sadar betul jika aku tidak punya banyak waktu menemani Rio bermain. Pekerjaanku yang banyak sekali menyita hampir semua waktu, dari pagi hingga malam. Tapi, yang aku lakukan ini juga demi kehidupan layak untuk Rio. Supaya ia tak mengalami hidup susah.
"Ma, aku mau ngajak Dharma pergi ke acara ultahnya temen."
Aku bersyukur, Rio lebih bersemangat sejak ada Dharma. Mereka begitu akrab. Rio memperlakukan Dharrma sebagai sahabatnya. Bahkan seringkali Rio mengajak Dharma tidur di kamarnya, main playstasion, nonton bola, hang out, ke bioskop. Meski begitu, Dharma tetap menyadari posisinya di rumah ini. Ia tetap bangun pagi-pagi, menyirami tanaman, mencuci mobil dan jika Rio tak ada, memijatku.
Tapi aku melihat ada sedikit perubahan dari sopir brondongku itu. Semenjak kelulusan, ia jadi pendiam. Raut mukanya tak secerah dulu. Seperti ada yang ia sembunyikan. Saat kutanya, ia hanya menggeleng, bahwa semuanya baik-baik saja. Atau hanya perasaanku saja.
Rio tak lama berada di rumah. Akhir Maret ia harus sudah kembali ke Amerika untuk melanjutkan studi. Raut wajah sedih menghias wajahnya saat berpisah di bandara. Padahal, dulu-dulu saat pergi, ia tak sesedih itu. Mungkin karena Dharma. Ia tak pernah menemukan teman dekat sebelumnya.
Lalu aku membekali petuah selayaknya ibu kepada anak. Rio memelukku. Ia juga memeluk Dharma.
***
Malam itu, gairah kami memuncak. Panas membara percintaan kami hingga terkulai lemas sampai pagi menyembul bersama embun di dedaunan. Saat aku membuka mata, Dharma tampak sudah berpakaian rapi.
"Ada hal penting apa yang membuatmu pagi-pagi sudah serapi ini?" tanyaku masih sedikit ngantuk.
"Aku sudah memutuskan, Mbak. Aku tidak bisa menunda-nunda lagi. Mulai hari ini aku mengundurkan diri," katanya tegas. Aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah mengira jika waktu seperti ini akan tiba.
"Kenapa? Gaji yang aku kasih kurang?"
Dharma menggeleng.
"Saya mau jujur, Mbak. Gadis yang aku bawa kemarin sebenarnya pacarku. Kami sudah berencana menikah setelah saya lulus kuliah," kata Dharma serius.
"Aku sudah tahu. Tak sulit menebaknya. Baiklah jika itu keputusanmu."
"Tidak hanya itu. Sebenarnya ia tahu."
Pernyataannya ini cukup mengejutkanku.
"Ia tahu. Malam itu ia mendengar kita bercinta. Suara desahan-desahan itu."
Aku terdiam cukup lama.
"Ia pasti sangat mencintaimu," kataku sambil membalutkan handuk ke tubuh. Kusulutkan pula rokok sebelum kusedot dengan sepenuh hati. Kuembuskan asapnya, membumbung tinggi ke udara.
"Lalu bagaimana dengan Rio?" tanyaku datar.
Dengan wajah salah tingkah Dharma menjawab. "Maksud, Mbak?"
Kutatap Brongdongku itu tajam. Akhirnya ia paham.
"Maafkan aku, Mbak. Aku nggak pernah kayak gini sebelumnya. Aku hanya berusaha menghormatinya, dan Mbak. Sebenarnya aku risih. Aku ingin bercerita pada tapi takut Mbak akan menuduh aku yang mengajarinya. Ia menyukaiku. Bahkan pernah kami melakukan di dalam mobil. Ia menginginkannya dan aku tidak bisa menolak.”
Aku mendengarkan pengakuan dosa Dharma sembari tetap mengembuskan asap rokok dengan sepenuh hati. Aku tahu.
Koleksi foto-foto pria seksi di bawah tumpukan baju anak semata wajangku. Video blue sesama kelamin dalam folder hapenya. Sebagai seorang ibu hatiku remuk mendapati anak laki-lakiku satu-satunya berbeda. Namun aku sadar, ini juga salahku yang tak mampu memberikan waktu yang layak untuknya. Ia rindu dengan sosok ayah. Ia rindu dengan sosok laki-laki yang melindunginya. Aku mungkin ibu yang egois. Tapi bukan ibu yang intolelir. Kubiarkan dulu anakku hingga suatu saat nanti ia berani mengungkapkannya. Lagipula, aku juga bukanlah ibu yang bisa dibilang baik untuk dicontoh.
"Sebelum kamu pergi aku ingin minta bantuanmu. Itu pun jika kamu mau. Aku akan membayar mahal untuk ini."
"Tetaplah bersama Rio. Jika ia pulang, kemarilah. Perlahan-lahan bantu aku mengubahnya"
Dharma agak terkejut dengan permintaanku. Ia memikirkan tawaranku cukup lama. Aku menunggu dengan sabar.

Penulis,
Havidz Antonio

Sepatu


             Aku terkejut. Kemudian lelaki ini menjabat tanganku sambil tersenyum. Aku berusaha langsung merubah raut wajahku setenang mungkin. Jantungku berdegup tak karuan. Kulirik istriku, wanita yang baru kunikahi empat bulan yang lalu. Lalu kulirik juga Nadia, adik semata wayang yang sangat aku sayangi. Lalu lelaki di depanku ini. Tanpa Nadia perkenalkan pun aku sudah tahu namanya. Indra Bagus Nugraha.
            “Silahkan duduk Dek Indra,”  istriku mempersilahkan. “Sebentar, ya aku ambilkan minum dan cemilan dulu”
            “Tidak usah repot-repot, Mbak,” kata Indra, suaranya berdengung di telingaku. Membuatku gelisah. Suaranya serak, berat, namun merdu, itu memang saelalu membuatku gelisah.
            “Tidak repot kok. Anggap saja rumah sendiri. Sebentar lagi kan juga jadi keluarga di sini,” kata istriku lalu pergi ke dapur.
            Indra tersenyum manis. Aku tersenyum pahit.
            “Bang Dika. Bang Dika sakit?” kata Nadia tiba-tiba.
            “Eh, Tidak kok,” aku gelagapan sendiri.
            “Kok dari tadi diem melulu.”
            Aku tersenyum getir “Iya , lagi kurang enak badan ini. Tapi tidak apa-apa.” Akhirnya aku berbohong juga.
            “Emm.. jadi ini calon suamimu ?” kataku akhirnya.
            Nadia menjawab dengan malu-malu “Iya, Bang. Ini Indra yang aku ceritakan pada abang tempo hari. Kami sudah serius kok untuk menikah”
            Kulirik Indra, dia tersenyum simpul. Aku mengutuk dalam hati.
            “Prakk… “ Aku tersentak kaget. Terdengar suara dari dapur. “Piring jatuh, tidak apa-apa,”  teriak istriku seketika. Aku menyuruh  Nadia untuk ke dapur membantu istriku. Setelah Nadia sudah tidak ada, aku menatap indra penuh kebencian.
            “Apa rencanamu? Menghancurkan adikku ?”
             Indra tampak tenang. “Aku tidak tahu kalau Nadia adikmu”
            “Jangan bohong!”
            “Aku tidak bohong.”
            “Dengarkan aku. Aku tidak rela adikku menikah denganmu.”
            “Kami saling mencintai.”
            “Tidak mungkin!”
            “ Aku mencintai Nadia sama besarnya ketika dulu aku mencintaimu. Bahkan jauh lebih besar.”
            Ingin  aku langsung menghajar Indra tapi istriku dan Nadia sudah datang membawa nampan berisi minuman dan makanan-makanan kecil. Aku berusaha rileks. Begitu pula dengan Indra. Kami saling pandang dengan penuh amarah. Lalu percakapan tentang rencana pernikahan Indra dan Nadia mengalir alot. Aku bilang aku sedang tidak enak badan. Setelah itu Indra pamit pulang. Aku menyuruh Nadia membantu istriku untuk membereskan meja sementara aku mengantar Indra sampai ke depan pintu. “Besok jam tujuh di ...”
            “Ya, aku tahu.”
*** 
            Caffe latte yang sepuluh menit tadi aku pesan sudah tinggal separuh. Aku menunggu dengan tidak sabar. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Datang ke kafe ini sama saja membuka kenangan yang tidak ingin aku ingat-ingat lagi. Walaupun dalam hati kecilku kenangan-kenangan itu sangat indah. Namun aku harus menepisnya. Aku harus melihat kenyataannya sekarang seperti apa.
            Akhirnya Indra datang juga. Seperti biasa dandanannya kasual, celana jins, kaos santai, jaket dan sepatu kets. Dia duduk d depanku. Sejenak dia menatapku kemudian memanggil waiters  untuk memesan secangkir cappuccino.
            “Aku ingin kamu menjaui Nadia,” kataku to the poin.
            “Apa alasannya ?” kata Indra tetap tenang.
            Aku tidak tahu alasan apa yang harus aku ungkapkan. Aku mendesah berat. Hal ini membuatku bingung.
            “Apa karena aku pernah pacaran dengan kakaknya ?” kata Indra mendahuluiku “Dengarkan aku wahai Tio ramadlan, dulu kamu meninggalkanku saat aku benar-benar mencintaimu dan sekarang kamu menginginkan aku untuk meninggalkannya di saat aku benar-benar mencintainya. Kamu tidak hanya menyakitiku untuk yang kesekian kalinya tapi kamu juga menyakiti adikmu satu-satunya.”
            “Yang kita lakukan salah.”
            “Benar. Tapi yang aku lalukan sekarang bukan sebuah kesalahan.”
            Aku terdiam.
            “Indra, ini rumit sekali tolong mengertilah.”
            “Nengerti tentang apa ?” Indra mulai tak sabar.
            “Maaf ini cappucinonya.” Kami berdua tersentak. Waiters  itu sekilas tampak memandang kami dengan curiga sebelum akhirnya meninggalkan kami.
            “Aku tidak bisa membiarkan adikku…” Kalimatku menggantung. Aku sungguh tak bisa mengungkapkan apa yang aku rasa dengan kata-kata “Seandainya kamu punya adik.”
            “Apa? Karena aku pernah homo?”Kata-kata Indra menohok ulu hatiku.
            “Kamu menganggapku seperti kotoran Yo’?” kata Indra mencibir. “Bahkan yang paling bajingan, pun bisa berubah.”
            “Aku tidak bermaksud begitu.” Akhirnya aku harus mengatakannya juga. Aku harus tegas “Tapi. Aku memang tidak bisa membiarkan adikku menikah dengan lelaki yang menyukai lelaki!”
            “Lalu apa bedanya dengan kamu?” semprot Indra dengan nada tinggi. Beberapa orang melirik ke arah kami.
            Hatiku pilu. Indra tampak mengatur napas, meredam amarahnya.
            “Maafkan aku Indra. Jujur sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan yang dulu. Tapi kita harus sadar. Kita tidak hidup di belanda. Dan aku harus mengambil langkah. Ada seorang wanita yang mencintaiku dan aku ingin berubah. Maaf dulu telah meninggalkanmu “
            “ dan kamu pikir sampai sekarang bagaimana perasaanku terhadapmu? Aku masih mencintaimu dan satu-satunya yang bisa melepaskanku dari bayangmu adalah Nadia. Dan aku tidak menyangka jika Nadia adalah adikmu “
            Ya Tuhan ini sangat sulit. Ingin aku memeluk Indra sekarang juga namun aku ingin juga memukulnya hingga dia mau pergi dari kehidupan Nadia.
            “ tidakkah kau ingat bagaimana kita bisa bersama dulu ?” kata indra.
***  
            Aku melihat lelaki itu yang kemudian aku mengenalinya dengan nama Indra. Saat itu aku membutuhkan seorang fotografer untuk membuat catalog dan temanku menyarankan memakai jasa Indra. Pertemuan kami diawali dengan saling bertukar kartu nama. Aku menjelaskan apa saja yang harus di kerjakan indra dan dia menyanggupinya dengan santai. Dia memang tipe orang yang santai, supel namun professional. Pertemuan demi pertemuan kami lalui dengan biasa saja. Dalam 3 hari pekerjaannya selesai. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan dia tiba-tiba mengajakku makan malam.
            “ Kurasa lusa aku ada waktu. Akan aku kabari lagi “ kataku.
            “ Ya, aku menunggu kabarmu “
            Akhirnya malam itu aku menjemput Indra di kostnya lalu kami pergi ke sebuah restoran seafood. “ Berdua saja ?” tanyaku sekedar meyakinkan diriku sendiri jika kami cuma berdua.
            “ Memang kenapa ?” dia malah balik bertanya.
            “Tidak apa-apa “ jawabku biasa-biasa saja walaupun sebenarnya aku menggerutu dalam hati. Dua lelaki pergi dinner, seperti sepasang kekasih saja..
            Dan Malam itu kami bercakap-cakap banyak sekali. Dia mencemoohku yang sudah berumur 27 tahun namun belum menikah. Dan aku mencemoohnya karena dia mengajak lelaki berumur 27 tahun pergi dinner. Dan ternyata dia sangat menyenangkan. Aku merasa nyaman di dekatnya. Dia humoris, cerdas dan up date info-info terbaru dunia.
            Dan tidak hanya mengajakku dinner, dia juga mengajakku ke sebuah diskotik. Well, tidak terlalu buruk. Malam itu aku merasa bebas. Menjadi kakak sekaligus orang tua bukanlah hal mudah. Kadang itu membuatku frustasi. Apalagi jika adikmu itu gadis remaja. Aku rasa indra telah memberiku sedikit rasa nyaman dari beban berat itu.
            Semalaman aku benar-benar merasa bebas. Dan tak kusangka sudah jam 3 pagi dan aku mabuk. Jika aku pulang maka itu akan menjadi contoh yang buruk bagi adik perempuanku. Baiklah, aku akan mengatakan bahwa aku tiba-tiba ada pekerjaan mendadak yang mengharuskan ke luar kota dan tidak sempat memberi kabar pada Nadia. Indra juga dengan senang hati mempersilahkanku menginap di kostnya.
***
            Aku tidak tahu apakah itu karena aku mabuk atau karena aku memang menginginkannya. Aku rasa dua-duanya. Aku melakukan hal yang tidak layak. Aku tidur di kostnya indra. Lelaki itu tidur di sampingku. Aku lelah sekali namun aku belum bisa tidur. Aku mengingau terus dan Indra mndengarkanku dengan baik. Aku meluapkan apa yang ada di kepalaku, tentang susahnya jadi kakak sekaligus orang tua bagi Nadia, tentang bagaimana seharusnya orang tuaku tidak meninggalkanku saat aku berumur 17 tahun. Indra membelai-belai rambutku dan aku merasa ingin di peluk. Maka indra memelukku.
            Kehangatan Indra membuatku merasa nyaman. Belaiannya lembut, tubuhnya hangat dan nafasnya menyihirku untuk mendekat, mendekat sekali lagi, semakin dekat dan kami berciuman sangat dahsyat. Tak perlu aku uraikan bagaimana, intinya adalah malam itu kami berciuman sampai pagi. Lekaki dan lelaki.
            Esok harinya ketika aku bangun dan mendapati diriku dalam pelukan Indra, aku langsung mendorongnya keras-keras “ kau menjebakku. Kau sudah merencanakan ini. Sialan kau ! “
            “Tidak seperti yang kamu pikirkan Yo’. Aku tidak menjebakmu. Aku rasa tadi malam kita melakukannya atas dasar suka sama suka “
            “Setan!!! “ semprotku.
            “Yo’. Aku tidak bermaksud seperti itu”  Indra mencoba menahanku pergi.
            “Pergi kau bajingan. Jangan menyentuhku “
            Setelah kejadian itu aku tidak bertemu Indra –lebih tepatnya tak mau menemuinya- beberapa hari. Dia meneleponku namun tak pernah ku angkat. Setiap menit sms menyatakan penyesalannya namun tak pernah ku gubris. Hingga pada akhirnya aku merasa ada yang aneh dari dalam diriku. Aku merasa tidak seharusnya begitu pada Indra. Lagipula waktu kita melakukannya aku sedikit sadar walaupun agak mabuk. Dan sialnya aku merindukan Indra. Saat aku mencoba sekedar miscall nomor hapenya tidak aktif. Itu membuatku gelisah. Dan mau tak mau aku harus pergi ke kostnya.
            Yang kudapati adalah pemandangan yang buruk. Satu bulan aku tidak bertemu dengannya kini dia jauh berbeda dari terakhir yang kita bertemu. Dia jadi sangat kurus dan pucat.
            “ Kapan terakhir kali kamu makan ? “
            “ Aku lupa. Tapi aku senang sekali kamu ada di sini. Akan aku jelaskan se..”
           Aku idak dapat menahannya, aku langsung memeluk indra. Aku merasa menjadi manusia paling bejat. Tidak seharusnya aku membuat Indra seperti ini.
            “Jangan bicara lagi. Maafkan aku. Kamu harus makan. Ayo kita cari makan “
            Indra menggeleng “ aku tidak ingin makan. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu bahwa aku mencintaimu. Saat pertama kali aku melihatmu aku sudah merasakan perasaan itu. Namun sungguh waktu malam itu aku tidak merencanakannnya. Itu mengalir begitu saja. Aku berusaha menahannya namun aku tidak bisa. Aku mengira kamu juga menginginkannya “
            “Aku benar-benar minta maaf”  kataku penuh penyesalan “ dan aku juga mau mengatakannya bahwa aku mencintaimu juga. Namun sekarang yang terpenting adalah kamu harus makan”
            Indra tersenyum bahagia, begitupula aku.
            Dan hari-hari selanjutnya kami lalui bersama seperti sepasang kekasih.
         Sampai pada akhirnya aku harus meninggalkan Indra karena aku harus menikah dengan seorang wanita yang juga sangat mencintaiku.
***   
“Tak mudah untuk dimengerti. Dan memang tak perlu untuk di mengerti. Kita seperti sepasang sepatu. Bersama namun tak kan bisa bersatu. “ kata-kata itu muncul dari mulut Indra.
“Ya. Aku harap kamu menjadi suami yang baik bagi adikku. Dan jika kamu mengecewakannya aku akan memukulmu, tidak peduli kamu adik iparku dan tidak peduli aku mencintaimu “ kataku.
“ Terima kasih banyak telah mengijinkanku menikahi Nadia “ 
Hari itu hari di mana Indra dan nadia mengucapkan janji setia untuk hidup selalu bersama dalam sehat atau sakit, dalam kaya atau miskin, dalam susah atau senang, selamanya sampai maut memisahkan mereka.
           
Penulis,
Havidz Antonio

Satu Menit Untuk Luna



Bagi Luna, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding bisa melihat Lutfi. Senyumnya yang manis selalu membuat hati Luna bergetar. Bagai embun pagi yang menyejukkan  jiwa. Laksana senja yang menghangatkan rasa. Jika dalam sehari Luna tidak melihat sosok cowok penggemar MU itu, seharian ia akan gelisah. Sosok itu selalu menari-nari dalam benaknya. Pagi, siang, malam hanya terisi nama Lutfi. Seperti oksigen yang setiap saat dihirup. Seperti itulah Luna mencintai Lutfi.
Cinta? Cinta itu apa?
Pernah bertanya Luna pada sahabatnya, Keyla, tentang hal itu.
Ketika itu mereka masih kelas satu SMA. Luna, gadis cantik berkulit putih dan bermata sipit dengan semangat memasuki kelasnya yang berada paling ujung koridor. Langkahnya ringan seperti biasa. Sambil melangkah ia bernyanyi pelan,
BUUUKK!!!.
Saat sedang asik begitu, sesosok badan menabraknya. Luna terhuyun, terjatuh dan mengeluh kesakitan. Ia sudah siap-siap mengomel.
“Maaf maaf,” kata cowok yang menabrak Luna. Cowok dengan tubuh kurus, berkulit cokelat dan berwajah tampan.
“Hati-hati dong!” omel Luna. Cowok itu hanya nyengir lalu berlari meninggalkan Luna secepat yang ia bisa.
Luna memandang cowok itu menjauh sambil ngedumel. Itu pertemuan pertama Luna dengan Lutfi. Lalu dua, tiga, empat kali pertemuan-pertemuan itu datang tak tersengaja. Seperti hujan yang kadang turun tak terduga. Luna mulai merasa ada yang berbeda setiap kali ia melihat Lutfi. Entah dorongan itu datang dari mana, Luna mulai mencari informasi tentang Lutfi.
Muhammad Lutfi. Tinggal di perumahan Permai. Anak kedua dari tiga bersaudara. Penggila Manchester United. Hobi sepak bola. Suka tidur di kelas. Suka bolos. Nilai akademik biasa-biasa saja. Cowok super cuek meski banyak yang naksir karena memang wajahnya yang tampan dan manis. Dan sederet informasi lainnya yang berhasil Luna kumpulkan selama tiga bulan secara diam-diam.
Sadarlah Luna bahwa telah jatuh cinta. Cinta pertamanya.
“Key, apa itu cinta?” tanya Luna pada Keyla, sahabatnya, teman sebangkunya, saat mereka menikmati waktu istirahat di bawah pohon beringin.
Untuk anak yang baru melewatkan satu semester di kelas satu SMA, membahas cinta ternyata tidak serumit membahas rumus aljabar.
“Cinta itu aku sayang kamu, kamu sayang aku. Kalau aku sayang kamu, kamu sayang dia itu namanya bukan cinta. Tapi derita. Hehehe…” kata Keyla.
“Masak kayak gitu sih,” ucap Luna tak puas.
“Gak tahu deh. Lagian kita kan masih kecil. Kata orang, seumuran kita kalau jatuh cinta namanya cinta monyet.”
“Kamu monyetnya.” Luna terkikik. Keyla ngejitak kepalanya.
Apa itu cinta? Luna masih penasaran tentang itu. Apakah perasaannya pada Lutfi bisa disebut cinta? Belum sempat Luna menemukan jawaban itu, waktu berlalu begitu saja. Hingga dia lulus SMA. Dan perasaannya pada Lutfi semakin membuncah.
Dalam diam Luna mengamati Lutfi. Saat ia kelas satu SMA dan Lutfi kelas dua, Luna selalu mencari apa saja yang berhubungan dengan Lutfi. Tentang tipe cewek yang Lutfi suka. Luna akan melakukannya agar bisa menjadi tipe cewek itu. Merebonding rambutnya, karena menurut informasi Lutfi suka cewek yang berambut lurus. Belajar berhumor, karena Lutfi suka nonton Opera Van Java dan membaca webtoon humor macam Tahi Lalat. Menonton acara yang berhubungan dengan sepak bola, karena Lutfi maniak bola.
Saat kelas dua SMA dan Lutfi kelas tiga, Luna mulai mencari-cari perhatian Lutfi. Ia akan sering mondar-mandir di depan kelas Lutfi. Menunggu Lutfi pulang sekolah dan akan menguntit di belakangnya sampai di depan gerbang perumahan. Luna akan selalu nge-like status yang di buat Lutfi di facebook. Kadangkala ikut komentar. Luna akan duduk paling depan untuk menonton setiap pertandingan sepak bola yang Lutfi ikuti. Luna akan buru-buru nge-save foto Lutfi jika update di Instagram. Memori HP Luna penuh dengan foto Lutfi berbagai pose. Setiap malam sebelum tidur Luna selalu menatap foto itu satu persatu.
Meet tidur, Lutfi...
Saat kelas tiga dan Lutfi masuk kuliah, tidak banyak yang bisa Luna lakukan. Luna hanya bisa mengamati Lutfi di sosial media. Kadangkala ia mengamati rumah Lutfi dari kejauhan, berjam-jam, hanya untuk bisa melihat Lutfi sekilas. Luna juga belajar keras supaya bisa lulus mendapatkan nilai bagus hingga bisa kuliah di tempat yang sama dengan Lutfi.
Luna tidak tahu yang ia lakukan ini cinta atau obsesi. Yang ia tahu, ia bahagia jika bisa melihat Lutfi. Itu sudah cukup baginya.
--0--
Luna pun berdoa. Doa yang sama setiap malamnya. Luna yakin Tuhan tidak akan bosan. Malah semakin tahu bahwa ia benar-benar tulus dengan doa itu. Ia ingin bisa bersama Lutfi.
Dengan kerja keras, akhirnya Luna bisa satu Universitas dengan Lutfi.
Lutfi, semakin bertambah umur, bertambah pula ketampanannya. Tubuhnya tak lagi kurus. Tubuhnya mulai terpahat kokoh hasil nge-gym rutin. Luna ketar-ketir. Semakin banyak yang naksir Lutfi. Semakin sedikit kesempatan doanya bisa terkabul. Lutfi bagai bulan yang sulit ia gapai.
Suatu hari Luna memberanikan diri untuk menyapa Lutfi. Seluruh keberanian ia kerahkan. Semalaman ia berdoa.
“Kak Lutfi,” kata Luna hati-hati.
“Ya.” Lutfi mendongak. Dada Luna terasa mau meledak.
Seluruh naskah percakapan yang sudah Luna hafalkan mendadak musnah.
“Ada apa ya?” kata Lutfi memandang aneh Luna yang sekarang malah kayak orang mendadak kena stroke.
Luna tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin kabur saja. Tapi, ide itu muncul begitu saja di benak Luna.
“Boleh saya wawancara kakak?”
Lutfi memandang Luna penuh tanda tanya. Semakin membuat Luna ingin kejang-kejang.
“Saya Luna dari jurusan Sastra Indonesia. Saya sedang mengerjakan riset untuk essai saya, Kak. Emm…. Tentang mahasiswa-mahasiswa populer dan berpengaruh di kampus.”
Mendengar penjelasan Luna, meledak tawa Lutfi.
“Aku pupuler dan berpengaruh? Hahaha… ada-ada saja.”
Luna menghela nafas lega, ia terselamatkan. Selanghkah lebih maju.
--0--
Kedekatan Luna dan Lutfi perlahan terkoneksi. Luna berusaha keras terlihat biasa di depan Lutfi. Jika menjadi teman bisa membuatnya selalu dekat dengan Lutfi, ia ingin menjadi teman terbaik Lutfi. Jika dengan menyatakan perasaannya membuat Lutfi menjauh, Luna memilih diam. Ia tak mau mengambil resiko.
Namun, bagai godam Zeus menghantam, hati Luna porak-poranda. Suatu sore saat ia sedang akan menonton pertandingan futsal yang Lutfi ikuti, kenyataan pahit itu tertelan. Lutfi mengandeng pacarnya. Namanya Anita.
Luna terjatuh, tak kuat menahan tubuhnya yang syok. Orang-orang mengerubunginya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Lutfi khawatir. Di sampingnya, Anita. Cantik nan menawan.
Luna hanya menggeleng. Sedikit melirik Anita, ada kecemburuan di matanya.
"Kurasa kamu harus pulang. Biar diantar Adam," kata Lutfi.
"Aku baik-baik saja. Aku masih bisa pulang sendiri kok, Kak," kata Luna. Namun saat ia mencoba berdiri, tubuhnya limbung.
"Lutfi benar. Biar kuantar kamu. Tenang aja, aku nggak gigit kok," kata Adam sambil tersenyum. Adam salah satu teman Lutfi.
Akhirnya pasrahlah Luna saat Adam membantunya berdiri. Ia pergi meninggalkan lapangan futsal dengan hati sedih. Ternyata Lutfi pacaran dengan Anita sudah sebulan. Mengapa selama ini ia tidak tahu, Luna bertanya-tanya dalam hati. Saking sibuknya Luna dengan hatinya yang terluka, ia tidak menyadari Hp-nya tadi terjatuh.
--0--
Malam hari di dalam kamarnya, Lutfi termangu dengan Hp milik Luna di tangannya. Lutfi menduga, jika selama ini Luna telah menyimpan rasa padanya. Walpaper foto dirinya terpampang gagah di layar Hp Luna. Tadinya Lutfi tidak ingin menyalahi privasi Luna. Namun sesuatu menggelitik agar membuka isi Hp itu. Di galeri gambar, ia menemukan foto dirinya. Semua isi galeri foto di Hp itu adalah foto dirinya, dan hanya segelintir foto lain. Selebihnya foto dirinya dari berbagai pose dan dari zaman ia masih berbadan kurus hingga sekarang.
Keesokan harinya Lutfi memutuskan untuk pergi ke rumah Luna karena ia tahu Luna tidak ada jadwal kuliah hari ini. Ia ingin menanyakan tentang semua yang diduganya.
"Kak Lutfi?" kata Luna tak percaya.
"Gimana keadaanmu?" tanya Lutfi.
"Baik-baik saja, Kak," jawab Luna.
"Sepertinya kamu nggak sedang dalam keadaan baik," kata Lutfi. Wajah Luna memang terlihat payah. Matanya bengkak karena semalaman ia menangis di bawah bantal. Kulitnya pucat.
"Silahkan masuk, Kak," ujar Luna tak mengindahkan pertanyaaan Lutfi.
Lutfi menurut. Rumah Luna tampak sederhana. Perabot-perabot tertata rapi. Bersih. Luna pamit mengambil minuman dan cemilan.
"Tak usalah, Lun. Aku nggak lama kok. Ngomong-ngomong sepi benar rumahmu."
"Ayah ada dinas ke luar kota. Ibu di rumah eyang di jogja. Aku sendiri di rumah kak."
"Oh," ucap Lutfi. "Aku hanya ingin mengembalikan ini."
Lutfi menyerahkan Hp berlayar lebar itu ke tangan Luna. Seketika itu pula wajah Luna tampak pias. Bertambah pucat. Tubuhnya gemetar.
"Maaf aku telah melihat isi Hpmu."
Luna merutuk betapa bodohnya ia tak mengunci Hpnya.
"Katakan semuanya, Lun,"pinta Lutfi.
--0--
Bagai luapan sungai saat penghujan, air mata membajir. Tersengal-sengal Luna membendung.
“Beri waktu satu menit, untuk mengganti seluruh waktu yang aku lalui untuk mencintaimu,” kata Luna memohon.
Lutfi hanya diam ketika Luna merengkuhnya, memeluknya, menenggelamkan kepalanya pada dadanya yang bidang. Perlahan Lutfi membalas pelukan itu. Luna telah mengatakan semuanya. Bahkan Luna menunjukkan sebuah album yang hanya ada foto Lutfi yang ia ambil secara diam-diam selama ini. Serta puisi-puisi di album itu, puisi-puisi cinta untuk Lutfi yang hanya ia nikmati sendiri.
Namun Lutfi dengan hati yang amat berat mengatakannya, jika ia telah bertunangan dengan Anita, anak dari teman ayahnya. Lutfi selama ini sudah berpacaran dengan Anita. Karena Anita kuliah di Paris jadi seolah Lutfi tampak masih jomblo. Lutfi tidak tahu jika selama ini Luna mencintainya. Lutfi tak mungkin membatalkan pertunangan itu. Hubungan kedua keluarga akan retak dan Lutfi tak ingin membuat ayahnya bersedih. Lagipula, hatinya kini telah di miliki Anita.
“Terima kasih selama ini telah mencintaiku,” bisik Lutfi tulus.
“Tak perlu mengatakan itu. Saya mempunyai hak untuk mencintaimu dan kamu punya hak untuk menerima atau menolaknya. Setelah ini aku akan berhenti. Semoga kamu bahagia dengannya, Kak Lutfi.”
“Maafkan aku.”
Luna hanya diam. Dia menikmati satu menit terindahnya dengan diam. Dia menangis dalam diam. Dia merintih dalam diam. Dia tak ingin berlari. Dia hanya ingin diam merasakan semua. Seperti selama ini dia mencinta dalam diam.
Karena sebenarnya kekuatan terbesar manusia bisa terlihat bukan pada berlari, tapi pada diam.
--0--
“Beri aku semenit, untuk mengganti seluruh waktu yang telah aku lalui untuk mencintaimu.”
Lutfi masih terngiang kata-kata itu.
Lutfi melihatnya, raganya yang kini tak bernyawa, terbalut kain kafan putih, Luna diam tak bernapas. Semalam ia mendapat kabar, Luna kecelakaan.

 Penulis,
Havidz Antono

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...