Search This Blog

Monday, November 13, 2017

Sepatu


             Aku terkejut. Kemudian lelaki ini menjabat tanganku sambil tersenyum. Aku berusaha langsung merubah raut wajahku setenang mungkin. Jantungku berdegup tak karuan. Kulirik istriku, wanita yang baru kunikahi empat bulan yang lalu. Lalu kulirik juga Nadia, adik semata wayang yang sangat aku sayangi. Lalu lelaki di depanku ini. Tanpa Nadia perkenalkan pun aku sudah tahu namanya. Indra Bagus Nugraha.
            “Silahkan duduk Dek Indra,”  istriku mempersilahkan. “Sebentar, ya aku ambilkan minum dan cemilan dulu”
            “Tidak usah repot-repot, Mbak,” kata Indra, suaranya berdengung di telingaku. Membuatku gelisah. Suaranya serak, berat, namun merdu, itu memang saelalu membuatku gelisah.
            “Tidak repot kok. Anggap saja rumah sendiri. Sebentar lagi kan juga jadi keluarga di sini,” kata istriku lalu pergi ke dapur.
            Indra tersenyum manis. Aku tersenyum pahit.
            “Bang Dika. Bang Dika sakit?” kata Nadia tiba-tiba.
            “Eh, Tidak kok,” aku gelagapan sendiri.
            “Kok dari tadi diem melulu.”
            Aku tersenyum getir “Iya , lagi kurang enak badan ini. Tapi tidak apa-apa.” Akhirnya aku berbohong juga.
            “Emm.. jadi ini calon suamimu ?” kataku akhirnya.
            Nadia menjawab dengan malu-malu “Iya, Bang. Ini Indra yang aku ceritakan pada abang tempo hari. Kami sudah serius kok untuk menikah”
            Kulirik Indra, dia tersenyum simpul. Aku mengutuk dalam hati.
            “Prakk… “ Aku tersentak kaget. Terdengar suara dari dapur. “Piring jatuh, tidak apa-apa,”  teriak istriku seketika. Aku menyuruh  Nadia untuk ke dapur membantu istriku. Setelah Nadia sudah tidak ada, aku menatap indra penuh kebencian.
            “Apa rencanamu? Menghancurkan adikku ?”
             Indra tampak tenang. “Aku tidak tahu kalau Nadia adikmu”
            “Jangan bohong!”
            “Aku tidak bohong.”
            “Dengarkan aku. Aku tidak rela adikku menikah denganmu.”
            “Kami saling mencintai.”
            “Tidak mungkin!”
            “ Aku mencintai Nadia sama besarnya ketika dulu aku mencintaimu. Bahkan jauh lebih besar.”
            Ingin  aku langsung menghajar Indra tapi istriku dan Nadia sudah datang membawa nampan berisi minuman dan makanan-makanan kecil. Aku berusaha rileks. Begitu pula dengan Indra. Kami saling pandang dengan penuh amarah. Lalu percakapan tentang rencana pernikahan Indra dan Nadia mengalir alot. Aku bilang aku sedang tidak enak badan. Setelah itu Indra pamit pulang. Aku menyuruh Nadia membantu istriku untuk membereskan meja sementara aku mengantar Indra sampai ke depan pintu. “Besok jam tujuh di ...”
            “Ya, aku tahu.”
*** 
            Caffe latte yang sepuluh menit tadi aku pesan sudah tinggal separuh. Aku menunggu dengan tidak sabar. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Datang ke kafe ini sama saja membuka kenangan yang tidak ingin aku ingat-ingat lagi. Walaupun dalam hati kecilku kenangan-kenangan itu sangat indah. Namun aku harus menepisnya. Aku harus melihat kenyataannya sekarang seperti apa.
            Akhirnya Indra datang juga. Seperti biasa dandanannya kasual, celana jins, kaos santai, jaket dan sepatu kets. Dia duduk d depanku. Sejenak dia menatapku kemudian memanggil waiters  untuk memesan secangkir cappuccino.
            “Aku ingin kamu menjaui Nadia,” kataku to the poin.
            “Apa alasannya ?” kata Indra tetap tenang.
            Aku tidak tahu alasan apa yang harus aku ungkapkan. Aku mendesah berat. Hal ini membuatku bingung.
            “Apa karena aku pernah pacaran dengan kakaknya ?” kata Indra mendahuluiku “Dengarkan aku wahai Tio ramadlan, dulu kamu meninggalkanku saat aku benar-benar mencintaimu dan sekarang kamu menginginkan aku untuk meninggalkannya di saat aku benar-benar mencintainya. Kamu tidak hanya menyakitiku untuk yang kesekian kalinya tapi kamu juga menyakiti adikmu satu-satunya.”
            “Yang kita lakukan salah.”
            “Benar. Tapi yang aku lalukan sekarang bukan sebuah kesalahan.”
            Aku terdiam.
            “Indra, ini rumit sekali tolong mengertilah.”
            “Nengerti tentang apa ?” Indra mulai tak sabar.
            “Maaf ini cappucinonya.” Kami berdua tersentak. Waiters  itu sekilas tampak memandang kami dengan curiga sebelum akhirnya meninggalkan kami.
            “Aku tidak bisa membiarkan adikku…” Kalimatku menggantung. Aku sungguh tak bisa mengungkapkan apa yang aku rasa dengan kata-kata “Seandainya kamu punya adik.”
            “Apa? Karena aku pernah homo?”Kata-kata Indra menohok ulu hatiku.
            “Kamu menganggapku seperti kotoran Yo’?” kata Indra mencibir. “Bahkan yang paling bajingan, pun bisa berubah.”
            “Aku tidak bermaksud begitu.” Akhirnya aku harus mengatakannya juga. Aku harus tegas “Tapi. Aku memang tidak bisa membiarkan adikku menikah dengan lelaki yang menyukai lelaki!”
            “Lalu apa bedanya dengan kamu?” semprot Indra dengan nada tinggi. Beberapa orang melirik ke arah kami.
            Hatiku pilu. Indra tampak mengatur napas, meredam amarahnya.
            “Maafkan aku Indra. Jujur sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan yang dulu. Tapi kita harus sadar. Kita tidak hidup di belanda. Dan aku harus mengambil langkah. Ada seorang wanita yang mencintaiku dan aku ingin berubah. Maaf dulu telah meninggalkanmu “
            “ dan kamu pikir sampai sekarang bagaimana perasaanku terhadapmu? Aku masih mencintaimu dan satu-satunya yang bisa melepaskanku dari bayangmu adalah Nadia. Dan aku tidak menyangka jika Nadia adalah adikmu “
            Ya Tuhan ini sangat sulit. Ingin aku memeluk Indra sekarang juga namun aku ingin juga memukulnya hingga dia mau pergi dari kehidupan Nadia.
            “ tidakkah kau ingat bagaimana kita bisa bersama dulu ?” kata indra.
***  
            Aku melihat lelaki itu yang kemudian aku mengenalinya dengan nama Indra. Saat itu aku membutuhkan seorang fotografer untuk membuat catalog dan temanku menyarankan memakai jasa Indra. Pertemuan kami diawali dengan saling bertukar kartu nama. Aku menjelaskan apa saja yang harus di kerjakan indra dan dia menyanggupinya dengan santai. Dia memang tipe orang yang santai, supel namun professional. Pertemuan demi pertemuan kami lalui dengan biasa saja. Dalam 3 hari pekerjaannya selesai. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan dia tiba-tiba mengajakku makan malam.
            “ Kurasa lusa aku ada waktu. Akan aku kabari lagi “ kataku.
            “ Ya, aku menunggu kabarmu “
            Akhirnya malam itu aku menjemput Indra di kostnya lalu kami pergi ke sebuah restoran seafood. “ Berdua saja ?” tanyaku sekedar meyakinkan diriku sendiri jika kami cuma berdua.
            “ Memang kenapa ?” dia malah balik bertanya.
            “Tidak apa-apa “ jawabku biasa-biasa saja walaupun sebenarnya aku menggerutu dalam hati. Dua lelaki pergi dinner, seperti sepasang kekasih saja..
            Dan Malam itu kami bercakap-cakap banyak sekali. Dia mencemoohku yang sudah berumur 27 tahun namun belum menikah. Dan aku mencemoohnya karena dia mengajak lelaki berumur 27 tahun pergi dinner. Dan ternyata dia sangat menyenangkan. Aku merasa nyaman di dekatnya. Dia humoris, cerdas dan up date info-info terbaru dunia.
            Dan tidak hanya mengajakku dinner, dia juga mengajakku ke sebuah diskotik. Well, tidak terlalu buruk. Malam itu aku merasa bebas. Menjadi kakak sekaligus orang tua bukanlah hal mudah. Kadang itu membuatku frustasi. Apalagi jika adikmu itu gadis remaja. Aku rasa indra telah memberiku sedikit rasa nyaman dari beban berat itu.
            Semalaman aku benar-benar merasa bebas. Dan tak kusangka sudah jam 3 pagi dan aku mabuk. Jika aku pulang maka itu akan menjadi contoh yang buruk bagi adik perempuanku. Baiklah, aku akan mengatakan bahwa aku tiba-tiba ada pekerjaan mendadak yang mengharuskan ke luar kota dan tidak sempat memberi kabar pada Nadia. Indra juga dengan senang hati mempersilahkanku menginap di kostnya.
***
            Aku tidak tahu apakah itu karena aku mabuk atau karena aku memang menginginkannya. Aku rasa dua-duanya. Aku melakukan hal yang tidak layak. Aku tidur di kostnya indra. Lelaki itu tidur di sampingku. Aku lelah sekali namun aku belum bisa tidur. Aku mengingau terus dan Indra mndengarkanku dengan baik. Aku meluapkan apa yang ada di kepalaku, tentang susahnya jadi kakak sekaligus orang tua bagi Nadia, tentang bagaimana seharusnya orang tuaku tidak meninggalkanku saat aku berumur 17 tahun. Indra membelai-belai rambutku dan aku merasa ingin di peluk. Maka indra memelukku.
            Kehangatan Indra membuatku merasa nyaman. Belaiannya lembut, tubuhnya hangat dan nafasnya menyihirku untuk mendekat, mendekat sekali lagi, semakin dekat dan kami berciuman sangat dahsyat. Tak perlu aku uraikan bagaimana, intinya adalah malam itu kami berciuman sampai pagi. Lekaki dan lelaki.
            Esok harinya ketika aku bangun dan mendapati diriku dalam pelukan Indra, aku langsung mendorongnya keras-keras “ kau menjebakku. Kau sudah merencanakan ini. Sialan kau ! “
            “Tidak seperti yang kamu pikirkan Yo’. Aku tidak menjebakmu. Aku rasa tadi malam kita melakukannya atas dasar suka sama suka “
            “Setan!!! “ semprotku.
            “Yo’. Aku tidak bermaksud seperti itu”  Indra mencoba menahanku pergi.
            “Pergi kau bajingan. Jangan menyentuhku “
            Setelah kejadian itu aku tidak bertemu Indra –lebih tepatnya tak mau menemuinya- beberapa hari. Dia meneleponku namun tak pernah ku angkat. Setiap menit sms menyatakan penyesalannya namun tak pernah ku gubris. Hingga pada akhirnya aku merasa ada yang aneh dari dalam diriku. Aku merasa tidak seharusnya begitu pada Indra. Lagipula waktu kita melakukannya aku sedikit sadar walaupun agak mabuk. Dan sialnya aku merindukan Indra. Saat aku mencoba sekedar miscall nomor hapenya tidak aktif. Itu membuatku gelisah. Dan mau tak mau aku harus pergi ke kostnya.
            Yang kudapati adalah pemandangan yang buruk. Satu bulan aku tidak bertemu dengannya kini dia jauh berbeda dari terakhir yang kita bertemu. Dia jadi sangat kurus dan pucat.
            “ Kapan terakhir kali kamu makan ? “
            “ Aku lupa. Tapi aku senang sekali kamu ada di sini. Akan aku jelaskan se..”
           Aku idak dapat menahannya, aku langsung memeluk indra. Aku merasa menjadi manusia paling bejat. Tidak seharusnya aku membuat Indra seperti ini.
            “Jangan bicara lagi. Maafkan aku. Kamu harus makan. Ayo kita cari makan “
            Indra menggeleng “ aku tidak ingin makan. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu bahwa aku mencintaimu. Saat pertama kali aku melihatmu aku sudah merasakan perasaan itu. Namun sungguh waktu malam itu aku tidak merencanakannnya. Itu mengalir begitu saja. Aku berusaha menahannya namun aku tidak bisa. Aku mengira kamu juga menginginkannya “
            “Aku benar-benar minta maaf”  kataku penuh penyesalan “ dan aku juga mau mengatakannya bahwa aku mencintaimu juga. Namun sekarang yang terpenting adalah kamu harus makan”
            Indra tersenyum bahagia, begitupula aku.
            Dan hari-hari selanjutnya kami lalui bersama seperti sepasang kekasih.
         Sampai pada akhirnya aku harus meninggalkan Indra karena aku harus menikah dengan seorang wanita yang juga sangat mencintaiku.
***   
“Tak mudah untuk dimengerti. Dan memang tak perlu untuk di mengerti. Kita seperti sepasang sepatu. Bersama namun tak kan bisa bersatu. “ kata-kata itu muncul dari mulut Indra.
“Ya. Aku harap kamu menjadi suami yang baik bagi adikku. Dan jika kamu mengecewakannya aku akan memukulmu, tidak peduli kamu adik iparku dan tidak peduli aku mencintaimu “ kataku.
“ Terima kasih banyak telah mengijinkanku menikahi Nadia “ 
Hari itu hari di mana Indra dan nadia mengucapkan janji setia untuk hidup selalu bersama dalam sehat atau sakit, dalam kaya atau miskin, dalam susah atau senang, selamanya sampai maut memisahkan mereka.
           
Penulis,
Havidz Antonio

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...