Search This Blog

Monday, November 13, 2017

Malaikat yang Meminjamkan Sepasang Sayapnya untuk Gadis Kecil



Malaikat itu sedang terbang mengitari bumi untuk menjalankan tugas ketika dengan tiba-tiba mendengar suara kecil yang syahdu. Malaikat itu lalu memutuskan untuk berhenti terbang dan duduk di atas awan. Matanya mencari-cari dari mana asal suara itu. Dia ingin tahu suara siapa yang sungguh syahdu dan mampu menyayat-nyayat hati.
Banyak versi tentang bagaimana rupa sosok Malaikat di buku-buku, dongeng-dongeng pengantar tidur maupun kitab suci yang sudah pasti kebenarannya (bagi yang mengimaninya). Dan Malaikat yang itu, serupa seorang manusia yang memakai jubah seputih salju. Entah dia lelaki, entah perempuan, entahlah. Sebab, dia tidak berkelamin. Malaikat itu juga punya sepasang sayap yang seputih jubahnya. Jika Malaikat itu sungguh-sungguh merentangkan kedua sayapnya, niscaya sanggup mengungkup bumi ini tanpa celah secuil pun. 
Dengan cepat mata sang Malaikat menemukan sesosok gadis kecil di dalam sebuah Panti Asuhan. Suara kecil nan syahdu itu berasal dari dalam diri si gadis kecil. Padahal mulutnya tidak bergerak. Pita suaranya tidak bergumam pula. Suara-suara yang menggetarkan hati sang Malaikat adalah doa-doa tak terucap dari si gadis kecil yang tak mampu dikatakan sebab dia memang bisu.
Doa gadis kecil itu sederhana.
Tuhan, berikanlah aku sepasang sayap agar aku bisa terbang. Tuhan, aku Ingin terbang.
Sang Malaikat termangu. Dia bertanya-tanya, mengapa si gadis kecil berdoa seperti itu. Mengapa doa itu terdengar sangat rapuh. Rapuh yang bahkan mampu menggetarkan dinding-dinding langit. Maka sang Malaikat ingin mencari tahu jawaban atas pertanyaannya. Dia terbang menghampiri si gadis kecil. Tentu, dengan langkah hening.
***
Sepasang matanya meredup menuju pekat gelap yang kelam. Meskipun masih ada setitik (benar-benar hanya setitik yang sangat kecil) cahaya di sana, Nayya tetap tak mampu melihat dengan jelas. Semua warna menjadi monokrom. Abu-abu tunggal. Bibirnya juga telah lama mati. Seperti habis menyesap bisa paling mematikan, bibir itu tak bisa lagi menyungging senyum walau cuma seulas. Setiap kali Nayya memaksa tersenyum, rasa sakit langsung menyergapnya.
Dan sunyi itu terendap mengerak hingga membatu. Sunyi yang mungkin akan abadi hingga masa datang. Nayya tak bisa lagi bicara. Dan tak ada yang ingin dia bicarakan. Gadis berumur tujuh tahun itu hanya ingin satu hal. Satu hal yang dia mohonkan lewat doa-doa dalam hati setiap waktu. Dia hanya ingin punya sayap agar bisa terbang.
Dahulu Nayya masih punya segalanya. Segalanya yang dimaksud bukanlah melulu soal harta. Nayya hanya seorang anak dari keluarga miskin. Namun miskin harta itu tak berarti apa-apa sebab dia punya ibu, ayah dan adik laki-laki manis yang saling berbagi kasih. Nayya juga masih bisa tersenyum, tertawa, berbicara, mendengar, berlarian dan bercita-cita. Gadis kecil itu juga pernah ingin jadi dokter.
Dalam satu malam, sebuah peristiwa merubah segalanya. Malam berdarah bagi keluarga miskin Nayya. Kebrutalan sifat Iblis dalam diri manusia memang selalu membawa petaka. Entah mereka itu manusia atau jelmaan Iblis yang nyata. Tiga orang lelaki bertubuh kekar itu telah menyusup ke dalam rumahnya. Nayya dan adik laki-lakinya disekap. Tubuh mereka dililit tali dan mulut disumpal dengan kain. Sementara Ibunya terkapar di lantai tanah. Pukulan dengan benda tumpul di kepala membuat Ibunya tak sadarkan diri. Atau mungkin malah sudah mati. Sementara ayahnya babak belur dihajar tiga orang itu.
“Jika kau berteriak, dua anakmu akan mati,” bentak salah satu dari mereka.
“Di mana kau menyimpan benda itu?” tanya yang lain.
“Sumpah, saya tidak tahu.”
“Anjing! Pembohong kau! Mati saja kau.”
“Saya benar-benar tidak tahu.”
“Bedebah!”
Lalu mereka benar-benar mematikan pria malang itu. Nayya yang melihat kejadian itu menangis sejadi-jadinya, meraung sekeras-kerasnya, namun tubuhnya tetap terdiam, hanya tergoncang kecil. Lalu pemandangan yang lebih memilukan harus Nayya lihat dan akan terekam abadi dalam memorinya. Pemandangan yang harusnya tak pantas dilihat oleh seorang gadis kecil.
Tiga manusia itu menyetubuhi tubuh ibunya.
Nayya tidak terima. Nayya tidak rela. Namun dia hanya gadis kecil dengan tubuh ringkih yang tidak berdaya.
“Kita apakan dua bocah ini, Bos?” kata salah satu dari mereka sambil mengancingkan risleting celana.
“Kita matiin aja.”
“Jangan, buang-buang waktu saja. Kita bakar saja rumah ini. Biar pula hilang jejak.”
Beberapa jam kemudian, desa kecil di pinggiran kota itu digegerkan dengan adanya kebakaran rumah. Warga berduyun-duyun mengambil air dari mana saja untuk lalu disiramkan ke kobaran api. Pemadam kebaran segera datang setelah ditelepon salah seorang warga. Setelah berusaha keras, api bisa dipadamkan.
Semua orang terkaget-kaget melihat sebuah keajaiban. Api itu hampir menghanguskan seluruh isi rumah. Namun ajaib, seorang gadis kecil masih hidup. Jika cerita tentang Delisa yang selamat dari terjangan tsunami Aceh yang meluluhlantakkan menjadi buah bibir yang masyhur. Maka cerita tentang Nayya yang selamat dari kobaran api yang menghanguskan segera menjadi viral. Hanya sayang, adik laki-lakinya tak bernasib sama.
***
 Malaikat bersayap putih berjalan menyusuri lorong gelap menuju Nayya yang duduk terpekur sendirian di atas kursi kayu mahoni. Malaikat semakin mendekat. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas bagaimana keadaan Nayya. Separuh wajahnya terpahat luka bakar.
“Aku ingin punya sayap. Aku ingin terbang,” gumam Nayya tanpa mulut bergerak.
“Mengapa kau ingin terbang?” tanya Malaikat.
“Aku ingin bertemu Ibu, Ayah dan adikku di surga,” jawab Nayya, bibirnya tetap diam.
Nayya kembali bergumam: Aku ingin punya sayap. Aku ingin terbang. Aku ingin punya sayap. Aku ingin terbang…
“Boleh aku pinjam kedua sayapmu?” tanya Nayya tiba-tiba. Matanya berkaca-kaca penuh harap, menatap nyalang pada kedua sayap putih di punggung Malaikat.
Maka, demi tatapan memohon gadis kecil itu, sang Malaikat meminta izin kepada Tuhan untuk meminjamkan kedua sayapnya. Lewat tanda-tanda, Tuhan mengizinkan.
Malaikat melepaskan kedua sayap dari punggungnya. Ditempelkannya sayap itu ke punggung Nayya. Sayap yang cantik sekali. Bulu-bulunya lembut tanpa noda senoktah pun. Nayya senang tapi wajahnya tetap sedatar sebelum dia memakai sayap itu. Seakan dia memang akan seperti arca yang bernapas, selamanya.
“Sekarang kau sudah punya sayap.”
“Ya. Dan aku akan terbang menemui Ibu, Ayah dan adik laki-lakiku.”
“Jangan lama-lama. Aku akan menunggumu di sini. Usai menemui Ibu, Ayah dan adikmu cepatlah kembali. Aku butuh sayapku untuk menjalankan tugas.”
“Baiklah. Terima kasih. Kau baik sekali.”
Nayya mengepak-ngepakkan sayapnya. Dia senang sekali akan bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintainya. Nayya akan terbang ke surga karena di sanalah mereka berada. Nayya mulai melayang ke atas. Tiba-tiba di pertengahan jalan dia diingatkan sesuatu. Dia kembali lagi ke bawah.
Malaikat terheran-heran tapi tidak banyak bertanya. Dia melihat jika Nayya pergi ke dapur untuk mengambil pisau. Ya, sebuah pisau dapur yang biasa digunakan untuk memotong daging ayam.
Buat apa dia membawa pisau ke surga?
***
Siang begitu terik ketika warga desa di pinggiran kota itu digegerkan oleh lima kematian manusia yang temponya hampir bersamaan. Kematian tiga anak buah Pak Lurah dan Pak Lurah itu sendiri. Kematian empat orang dalam sehari yang menimbulkan ingar bingar. Sebab mayat-mayat itu ditemukan dengan keadaan mengenaskan: tubuh seperti habis ditusuk-tusuk belati.
Kematian satunya lagi ditemukan pada sebuah kamar di Panti Asuhan. Berbeda dengan kematian empat orang yang naas itu. Kematian gadis kecil di kamarnya, mengulas senyum damai. Anehnya lagi, ditemukan pula bulu-bulu putih dan lembut di sekitar mayat gadis kecil itu.

Penulis,
Havidz Antonio

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...