Search This Blog

Saturday, April 8, 2017

Cerpen, (Mungkin) Surat dari R.A. Kartini



(Mungkin) Surat dari R.A. Kartini

Oleh : Havidz Antonio

Tiga hal yang aku tahu tentang Neni, ibuku. Pertama, ia seorang wanita karir yang sibuk dengan pekerjaan dan berbagai organisasi sosial, terutama masalah pemberdayaan wanita. Kedua, ia sangat mengagumi sosok R.A. Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang menjadi kebanggaan kota dan negeriku. Ketiga, Neni payah sekali dalam mengatur waktu. Terbukti ia tidak bisa mengatur waktu untuk keluarga dan segala urusannya itu. Sampai-sampai seringkali kudengar ia adu mulut dengan Abi, ayahku, soal kebiasaannya mementingkan pekerjaan dan organisasi sosial ketimbang keluarga.

---0---

Sekali lagi aku mendengar mereka adu mulut di lantai bawah. Hal inilah yang membuatku tidak betah di rumah. Kalau sudah begini aku memilih main ke rumah Andre saja.

Aku turun dari kasur. Lalu mengambil jaket. Hati-hati aku membuka pintu kamar agar tidak berderit terlalu keras. Andaikata mereka tahu aku akan menyelinap keluar rumah, mereka pasti tidak mengizinkan. Maka aku harus mengendap-endap sehati-hati mungkin. Keluar dari pintu belakang. Sebelum keluar aku sempat mendengar adu argumen antara Neni dan Abi.

"Aku izinkan kamu bekerja dan berorganisasi sosial karena aku awalnya percaya kamu bisa menyeimbangkan antara keluarga dan urusanmu itu," kata Abi. Walau kedengerannya hanya menasehati Neni belaka, aku tahu ia berusaha keras supaya intonasi suaranya tidak emosi. Ayahki itu tipikal lelaki yang lembut.

"Jadi menurut Mas aku tidak bisa menjalankan kewajibanku gitu?  Sama keluarga? Sama organisasi?" tanya Neni sinis.

"Buktinya?" Abi balik nanya. "Kamu jarang bikin sarapan. Tidak jemput Ema (adikku, baru kelaa 2 Sd) pulang sekolah. Kamu pulang selalu larut malam ... " Abi memaparkan beberapa kebiasaan buruk Neni. Aku mengangguk menyetujui.

"Mas harus ngerti aku dong. Aku sibuk Mas. Aku ingin meneruskan perjuangan Kartini. Membantu pendidikan bagi wanita-wanita di Jepara. Sehingga mereka bisa mengoptimalkan potensi individu mereka."

Meskipun aku tidak melihat, aku yakin Abi sedang geleng-geleng kepala. "Kamu salah mengartikan perjuangan Kartini."

Ah! Ngapain juga aku nguping pembicaraan mereka. Lebih baik aku lekas ke rumah Andre. Ssstt... Harus diam-diam. Tidak boleh ketahuan.

---0---

" Oh... Kafi," kata Andre saat membukakan pintu kamarnya. Aku segera menghambur masuk kamarnya yang jauh lebih rapi daripada kamarku. Aku merebahkan tubuh di atas  kasur yang empuk.

"Lagi apa lo?" tanyaku.

"Main Ps," jawabnya singkat. Aku bangkit dan melihat ia sudah duduk di depan layar komputer sambil jari-jarinya sibuk memencer joystick. "Mau ngikut?" Andre menawari, aku menggeleng. Lagi gak mood.

Aku melihat apa yang dimainkan Andre, Gof Of War.

"Yaudah," katanya. Salah satu kebiasaan buruk temanku yang satu ini. Kalau sudah main Ps tidak akan tergoda dengan hal yang lain. Tapi aku datang kesini niat mau curhat. Gak aku biarin dia nyuekin.

"Ndre, aku mau curhat. Lo stop dulu deh main Psnya."

"Kayak cewek aja lo. Curhat apa sih lo?"

"Tentang Kartini."

"Kartini siapa? Anak kelas berapa?"

"Kartini pahlawan emansipasi wanita."

"Oh... Aneh," ucap Andre pendek. Tangannya masih sibuk dengan joystick. Aku membayangkan jika joystick itu bisa bicara pasti berteriak minta tolong gara-gaa digencet Andre tanpa ampun.

"Emang kenapa dengan Ibu Kartini? Tumben lo bahas beginian. Bahasan paling tak lazim bagi bocah yang baru baligh. Emang ada Pr Sejarah?"

"Nggak ada. Aku cuma pengin tahu mengapa R.A. Kartini bisa dimasukkan dalam kategori pahlawan nasional. Padahal doi nggak ikut perang kayak Cut Nyak Dien."

"Memang perang harus dengan fisik saja? R.A. Kartini berperang melalui guratan pena di medan gagasan dan cita-cita kebangkitan Kawa, khusunya wanita Jawa. Supaya wanita menjadi pribadi yang berpendidikan dan bermoral."

"Begitu? Tapi sejauh yang aku tahu bukankah Kartini pembuka emansipasi wanita di Indonesia, yang intinya  menuntut persamaan hak wanita dengan laki-lali. Pendek kata, wanita jadi bisa berkarir dan berorganisasi seenak hati tanpa memedulikab jati dirinya sebagai seorang ibu nantinya," kataku teringat Neni.

"Itu pemahaman yang salah. Yang lo katakan itu sama saja pandangan feminisme barat yang menonaktifkan domestifikasi wanita. Untung aku pernah buat artikel tentang ini. Jadi sedikit banyak aku tahu tentang konsep feminisme Kartini," kata Andre si bintang pelajar.

"Jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami."

"Kalau dijelaskan sekarang lama selesainya. Alam pikiran Kartini sangat luat jika dijabarkan. Aku lagi fokus main Ps. Aku pinjemin sebuah buku ya. Lo baca dan pamahi sendiri," kata andre.

Andre meletakan joysticknya lalu mencari-cari sesuatu di antara buku-buku koleksinya di rak. Andre selain gamer sejati adalah pembaca bukul sejati. Sepertinya ja sudah menemukan yang dicari.

"Nih, baca sendiri," Andre menyodorkan dua buku padaku. Aku menerimanya sedikit enggan. Aku lebih suka baca komik, sesungguhnya.

Kartini
Dari Sisi Lain
Melacak Pemikiran Kartini  Tentang Emansipasi "Bangsa"
Dri Ambaningsih

Dan buku yang satunya lagi.

Amijn Pane
Habis Gelap Terbitlah Terang

Aku menghela napas sambil menatap dua buku itu. "Jadi aku harus baca ini? Aku kan nggak hobi baca."

"Ya, terserah kamu," kata Andre.

"Okelah, aku pinjam dulu bukunya."

---0---

Aku menuju ruang makan. Sesekali aku menguap. Aku masih ngantuk sekali. Tadi malam baru tidur jam dua karena keasyikan baca buku yang dipinjamkan Andre. Setelah sarapan aku berniat mau tidur lagi. Mumpung minggu, sekolah libur.

Semua sudah berkumpul di meja makan. Neni, Abi dan adikku Ema.

"Pagi semuanya," sapaku malas.

Kulihat makanan dan minuman sudah tersaji di atas meja makan. Dari aromanya makanan-makanan ini hasil olah tangannya Mbak Ida, pemilik warung makan Masakan Bundo. Neni pasti terlalu sebal untuk memasak gara-gara berengkar dengan suaminya.

"Ting... Toong... Ting... Toong... " Saat sedang melahap sarapanku tiba-tiba bel pintu rumag berdering.

"Biar aku," kata Ema sembari berlari menuju pintu depan. Aku mengambil piring, lali menyendok nasi dan ayam goreng. Tak lupa sayuran. Beberapa saat kemudian Ema sudah berlari ke meja makan.

"Mama, ada surat," kata Ema menghambur ke arah Neni.

"Dari siapa sayang?"

"Tidak tahu. Dia hanya memberikan surat ini lalu pergi," kata Ema.

Aku memerhatikan Neni membaca surat entah dari siapa itu sambil melahap sarapanku. Wajah Neni serius betul. Aku jadi penasaran. Sampai akhirnya Neni meletakkan surat itu di atas meja. Tubuhnya gemetar, matanya menggambang.

"Mas," kata Neni kepada Abi. "Boleh aku bicara denganmu di kamar?"

Abi beringsut mengikuti langkah Neni. "Kamu sarapan sama Kak Kafi ya sayang," kata Abi kepada Ema sebelum menginggalkannya denganku. Aku ingin tahu surat itu. Aku mengambilnya di atas meja setelah Neni dan Abi tidak ada. Aku membaca surat itu.


Kepada saudari Neni Herlambang

Alangkah berbahagianya laki-laki , bila perempuannya bukan saja menjadi pengurus rumah tangganya, ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh minat akan pekerjaannya itu. Hal yang sedemikian itu tentulah berharga benar bagi kaum laki-laki, yaitu bila dia bukan orang yang picik pemandangannya dan angkuh.

Kami di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karen kami hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam perjuangan hidup ini, melainkan karena kami - oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan - hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya; menjadi ibu - pendidik manusia yang pertama-tama -.

Bukankah dari perempuanlah manusia itu mula-mula sekali mendapat pendidikannya yang biasanya bukan tidak penting artinya bagi manusia selama hidupnya.

Perempuanlah yang menaburkan bibit rasa kebaktian dan kejahatan yang pertama-tama sekali dalam hati sanubari manusia; rasa kebaktian dan kejahatan itu kebanyakannya tetaplah ada pada manusia itu selama hidupnya.

Berapa lamanya yang sudah lalu, pada pikir kami, orang yang pandai yang banyak pengetahuannya, mulia pulalah budi pekertinya. Sayang! Untunglah dengan lekas kami terjaga daripada mimpi itu - lalu mulailah tampak oleh kami, bahwa pengetahuan banyak itu belumlah sekali-kali, menjadi ijazah tanda mulia budi pekerti orang itu -.

Sangatlah terharu hati kami, dan tercengang, ketika kami maklum hal sedemikian itu. Ketika kami terlepas daripada rasa terharu itu kami selidiki perkara itu lebih lanjut dalam-dalam, kami cari sebab-sebabnya. Dan kami pun sampai pulalah ke hadapan pintu gerbang kebenaran yang ke dua : "Bukan sekolah itu saja yang mendidik hati sanubari itu, melainkan pergaulan di rumah terutam harus mendidik pula! Sekolah mencerdaskan pikiran sedang kehidupan di rumah tangga membentuk watak anak itu!"

Ibulah yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu : yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu.

O, tahukah kiranya sekalian ibu, apa yang sebenarnya diterimanya, bila ia dikaruniai bahagia perempuan yang sebesar-besarnya : kemewahan ibu! Bersama-sama dengan menerima anak itu di terimanyalah kewajiban untuk membentuk masa yang akan datang. Aduhai, jelas dan teranglah kiranya tergambar di hadapan matanya, kewajiban yang dipertanggungkan oleh keibuannya kepada dirinyaa. Dia mendapat anak itu bukanlah untuk dirinya sendiri; anak itu wajib dididiknya untuk keperluan keluarga besar, yang anak itu menjadi anggotanya kelak, keluarga yang sangat besarnya itu yang dinamai Masyarakat itu!***


Kartini


Aku ternganga mirip buaya menanti mangsa. Apa ini? Dari Kartini? Yang benar saja.

"Ema, tadi yang ngasih surat ini orangnya kayak gimana?" tanyaku pada Ema.

"Ibuk-ibuk, Kak," jawab Ema.

Tiba-tiba aku punya inisiatif yang aneh.

"Kakak ke kamar sebentar. Kamu di sini jangan kemana-mana," kataku pada Ema. Lekas aku berlari ke lantai atas. Aku masuk kamar lalu keluar lagi setelah mengambil sesuatu .

Sesampainya di ruang makan segera ku sodorkan buku "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang sampunya sosok ibunda Raden Ajeng Kartini kepada Ema.

"Apa orang yang ngasih surat itu mirip orang ini?"

Ema mengingat-ingar. Kepalanya miring ke kanan-kiri.

"Em ... Am ... Um ..."

Aku menunggu dengan sabar.

"Iya, mirip sih, Kak."

Mana mungkin?

Mustahil!



*** Surat kepada Prof G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902, Dalam Sulastin, 1977 :272-3



Jepara, 2010

Saturday, April 1, 2017

Editing dan Ending Ulasan Materi AMJ 1 April 2017


Editing dan Ending
  Ulasan Materi AMJ 1 April 2017

     Pertemuan AMJ kali ini membahas tentang Editing dan Ending dalam karya fiksi. Pemateri kali ini adah Pak Kartika Catur Pelita (Pak KCP), penulis novel Perjaka dan antologi cerpen Balada Orang-orang Tercinta.

     Pembahasan dimulai dari Ending
.
     Ending (End) berasal dari bahasa Inggris yang berarti "akhir". Tentu saja dalam konteks di sini yang dimaksud adalah akhir sebuah cerita dalam karya fiksi.

     Ending dalam karya fiksi terbagi menjadi 2.

     1. Ending terbuka (open ending)
adalah ending yang masih menyisahkan kesempatan pergerakan bagi para tokohnya. Biasanya ending tipe ini masih membuat pembaca menerka-nerka, penasaran atau menafsirkan sendiri bagaimana kelanjutan cerita.

     2. Ending tertutup (closed ending)
Ending yang sudah ditentukan oleh penuis. Pembaca tidak diberi ruang untuk menafsirkan bagaimana kelanjutan ceritanya.

Adapun istilah seperti sad ending (ending sedih), happy ending (ending bahagia) ataupun twice ending (bisa sad dan happy ending sekaligus) bisa dilekatkan pada ending terbuka maupun tertutup.

Selain membahas ending Pak KCP juga merekomendasikan buku-buku yang baik untuk dijadikan bacaan. Antara lain

Buku dari Pramoedya Ananta Toer. (Tetralogi Buru : 1. Bumi manusia 2.Rumah Kaca 3.Jejak Langkah 4. Anak-anak Indonesia)
       
        Buya Hamka. (Tenggelamnya Kapal Vanderwick, Di bawah lingkungan ka'bah)
       
       Abdul Muiz (Salah Asuhan)

       Marah Rusli (Siti Nurbaya)

       Tak lupa Pak KCP Mendongang tentang Raja Kikir. (mau tahu cerita selengkapnya tanya beliau saja, ya)

Lihat ekspresi Dek Nabila mendengarkan Pak KCP mendongeng ^__^

       Lalu dilanjutkan dengan pembahasan Editing (Penyuntingan)

Editing (dalam karya fiksi) adalah usaha memperbaiki karya tulis agar sesuai dengan aturan yang sudah ditentukan.

Editing bisa meliputi :
1. Paragraf yang runtut dan struktur
2. EyD
3. Diksi
4. Efektif
5. Tanda Baca

Selain belajar tentang editing, AMJ juga belajar tentang cara tips menulis kreatif. Antara lain :

1. Menulis setiap hari
2. Jangan menunda
3. Tolak writers block
4. Latihan terus ketrampilan
5. Belajar pada yang sudah
6. Menemukan gairah
7. Meminta masukan
8. Baca, baca, baca
9. Mentaati aturan
10. Memelihara jiwa iblis 

Nah, saat sedang asyik belajar tiba-tiba ada sesuatu yang enak datang. 

Rujaakkkk........
Alhamdulillaah....... 

Sambil makan rujak, sambil pula belajar tentang kata baku.


Ekstra - extra = Ekstra
Objek - obyek = Objek
Andal - handal = Andal
Motip - motif = Motif
Keterampilan - ketrampilan = Keterampilan
Pengen - pengin - pingin = pengin
Sistem - sistim = Sistem
Fondasi - pondasi = Fondasi
Cedera - cidera = Cidera
Personil - personel = Personel
       
      Kelas selesai setelah pukul empat sore. Semoga pertemuan kali ini memberikan manfaat.


      Bersuluh Literasi, Kami Menerangi Dunia.



 
Sampai jumpa pertemuan selanjutnya ... ^___^

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...