Search This Blog

Friday, March 13, 2020

Tukang Pijat Simpananku (Cerpen by. Havidz Antonio)

Awal perjumpaan kami sangat sederhana. Aku begitu lelah setelah seharian sibuk mengurusi ini-itu. Lalu, aku menyuruh pembantuku memanggil Mbak Retno, tukang pijat langganan.

Tak lama setelah itu, pembantuku malah membawa seorang pemuda yang cukup gagah nan tampan. Kata pembantuku, Mbak Retno sedang pulang ke kampung dan pemuda ini menawarkan jasa pijat atas rekomendasinya.

Tukang pijat itu bernama Dharma.

Setelah perjumpaan awal itu, seminggu sekali di hari Jum'at, Dharma datang kerumah untuk memijat. Menjadi teraphis pijat langgananku.

"Berapa umurmu?" tanyaku saat pertama kali Dharma memijatku.

"Dua puluh lima tahun, Bu."

"Jangan panggil, Bu. Kamu membuatku jadi tampak sangat tua."

"Maaf, tante."

Aku tertawa mendengar ucapan polosnya. Bu? Tante? Baiklah, aku memang tidak bisa melawan waktu. Tapi aku bisa melawan kerutan-kerutan di wajah dengan treatment di salon dan sesekali suntik botox. Dan untuk menjaga tubuh agar tetap bugar, aku punya jadwal senam dan ritual yoga di Sabtu dan Minggu pagi.

"Panggil saja, Mbak Susi."

Anak muda itu mengangguk. Lalu ia membuka tas sandangnya dan mengeluarkan sebuah botol minyak zaitun.

"Minyak zaitun bagus untuk terapi pijat, Mbak. Juga sangat bagus untuk kelembaban kulit." Dharma menjelaskan.

Aku tengkurap di atas ranjangku yang nyaman dengan hanya memakai celana dalam dan seutas Bh. Dharma mulai memijat dari bagian kaki. Lalu paha. Naik lagi ke punggung. Ia pintar benar memijat. Setiap pijatannya bertenaga, penuh sensasi, pas banget. Aku menikmatinya. Sentuhan-sentuhannya memberiku gairah. Juga mengingatkanku bahwa sudah lama aku tidak dijamah.

"Minggu depan datanglah. Jangan khawatir, aku akan membayarmu lima kali lipat." kataku setelah Dharma memijat seluruh bagian tubuh. Termasuk bagian yang itu. Aku sengaja memintanya menyentuh bagian rawan itu. Aku ingin lihat reaksinya. Awalnya ia sedikit ragu walau tak bisa disangkal bahwa ada gairah di ekspresi wajahnya. Dua puluh lima tahun, tentu masih sangat muda, polos dan sedang meletup-meletup gairah seksnya.

"Baiklah, Mbak." ucap Dharma sembari memasukan kembali botol minyak zaitun lalu keluar dari kamar.

***

Sudah lima belas tahun aku bercerai. Selama itu pula aku menyandang status sebagai janda kaya beranak satu yang cantik. Aku memang memutuskan untuk tetap menjanda. Bukan karena aku tidak laku, malah sangat laku. Sangat banyak lamaran yang aku tolak. Dan mereka yang melamarku juga tidak bisa dikatakan sebagai orang-orang biasa. Malah terang-terangan seorang anggota DPR yang sudah beristri tetap mau mengawiniku. Aku tolak lamaran-lamaran itu. Aku ingin fokus membesarkan Rio.

Rio, putra semata wayangku, kini sudah besar. Ia memutuskan untuk melanjutkan study di Amerika. Setelah ia pergi, hariku-hariku hanya dipenuhi urusan pekerjaan. Mengurusi butik, minimarket kerajinan tangan dan sesekali berkumpul dengan teman-teman di bar atau restoran sekadar untuk ngrumpi atau arisan.

Sebagai seorang singgle parent dan manusia biasa aku tidak bisa menafikan adanya hasrat seksual yang seringkali meletup. Ketika hasrat itu muncul, biasanya aku menghubungi seorang lelaki sewaan untuk bercinta semalaman di hotel. Aku akan bilang pada Rio kalau sedang dirumah bahwa aku ada kerjaan di luar kota.

Lalu Dharma, si tukang pijat yang masih brondong itu membuatku tak lagi memanggil para lelaki sewaan itu. Brondong muda itu membuatku merindukan pijatannya. Dan juga, cumbunya.

"Kenapa kamu pilih pekerjaan ini? Apa keluargamu tahu kamu menjadi tukang pijat?"

Dharma menggeleng keras. "Nggak, Mbak. Jangan sampai keluarga di kampung tahu. Dan jangan sampai teman-temanku tahu. Bisa malu aku. Aku jadi tukang pijat hanya sebagai selingan saja kok, Mbak."

"Jadi apa pekerjaanmu selain ini?"

"Sales motor, Mbak. Tahu sendiri berapa gajinya. Buat bayar uang kost, makan, kuliah dan kebutuhan yang lain kurang sekali, Mbak. Keluarga di kampung tidak bisa bantu sejak bapak sakit-sakitan."

"Jadi kamu juga kuliah?"

"Iya, semester akhir."

Aku mengangguk mengerti.

"Mau kerja sama aku? Kamu mau jadi kasir di minimarket atau jadi supir pribadi?"

Dharma tampak antusias mendengar tawaranku. "Jadi supir, Mbak. Aku bisa nyetir. Sekarang cari kerja susah. Temanku yang sudah lulus kuliah duluan juga masih banyak yang nganggur. Terima kasih atas tawarannya, Mbak."

***

Entah mengapa, sejak kehadiran Dharma, hidupku sedikit lebih menggairahkan. Ia pemuda tampan yang ulet, patuh dan tangguh di atas ranjang.

Sejak pagi ia sudah bangun, menyapu halaman, mencuci mobil bahkan membantu Mbak Ijah memasak di dapur. Di rumah ini ada dua pembantu. Mbak Ijah yang mengurus rumah dan Pak Surno yang mengurus kebun. Dharma segera bisa dekat dengan mereka.

Aku memberi perhatian khusus pada sopir gantengku ini. Tak lupa aku membelikannya beberapa set pakaian. Jam tangan. Sepatu. Makin tampan ia saat mengenakan jas hitam. Aku mengajak pula Dharma ke arisan di rumah salah satu temanku.

"Siapa itu yang Jeng Susi bawa?"

"Supir baru, Jeng."

"Duh, masih brondong cucok meong pula. Jeng ini pintar cari supir deh."

Aku tersenyum, sedikit bangga. Kulirik Dharma, ia sedang membantu menyiapkan cemilan bersama pembantu temanku.

"Coba deh Jeng cariin aku pembantu brondong kayak sopir jeng."

"Nanti aku coba tanya sama sopirku itu, Jeng. Siapa tahu ada temannya yang kayak dia."

Lalu kami para ibu-ibu mulai menggosip. Cerita ini-itu. Mulai dari barang-barang mewah yang lagi nge-hits hingga duda-duda keren yang tak kalah nge-hits pula. Sembari mencomot cemilan-cemilan diet dan anggur merah, kami para ibu-ibu single parent menikmati hidup.

***

Suatu ketika usai memijatku dan tentu saja, bercinta, Dharma mengatakan sesuatu.

"Mbak, bulan depan saya akan wisuda."

"Wah, selamat ya," ucapku tulus dan bangga. Tak lupa kukecup bibirnya.

"Mbak datang, ya. Nanti keluargaku dari kampung juga datang."

Aku diam sesaat sebelum memutuskan.

"Iya, aku akan datang. Keluarga dari kampung berangkat naik apa?"

"Kereta, Mbak"

"Bagaimana kalau kamu jemput saja pakai mobil. Muat kan?"

"Muat, Mbak. Hanya bapak, emak, kedua adikku dan seorang teman perempuan."

"Teman perempuan? Apa ia pacarmu?"

Dharma menggeleng dengan ekspresi terkejut. "Nggak, Mbak. Hanya temen sejak kecil," katanya. Aku mendengar kegelisahan pada suaranya. Aku tahu ia tak jujur. Ketidak-jujuran pertama.

***

Ketika remaja, aku tidak punya mimpi muluk-muluk. Mimpiku sederhana : menikah dengan seorang lelaki yang mencintaiku sepenuhnya, mempunyai anak dan bahagia hingga raga ini masuk tanah. Namun, mimpi yang sesederhana itu pun seperti kepulan asap teko panas di atas perapian, menguap.

Kuliah belum usai, aku bunting. Pacarku itu bahkan lebih muda. Ia anak konglomerat, sama sepertiku. Mau tak mau kami harus kawin. Lalu, Aku memutuskan berhenti kuliah. Sementara Ia tetap lanjut hingga lulus.

Membina rumah tangga di usia muda bukanlah hal muda. Meskipun untuk finansial sudah disokong orang tua kami sekali pun. Baik aku maupun suami masih mementingkan ego. Dan seperti bisa ditebak, kami bercerai. Ketika itu Rio baru berumur dua tahun. Hak asuh Rio berada di tanganku sepenuhnya.

Aku memutuskan untuk tidak menikah lagi. Buat apa? Kebutuhan biologis? Jika aku butuh, tinggal hubungi lelaki bayaran. Beres. Puas.

***

Dharma memperkenalkan mereka. Ayah, ibunya, dua anak laki-laki dan seorang gadis manis. Mereka tampak lugu dengan dandanan ala kadarnya. Aku menyalami mereka satu persatu dengan ramah. Kujamu mereka dengan hidangan makan malam yang melimpah hasil olahan tangan Mbak Ijah.

Mereka akan bermalam di sini sebab besok pagi-pagi akan menghadiri acara wisuda Dharma. Rumah ini punya banyak kamar kosong yang bisa mereka tempati.

Perhatianku tak lepas pada gadis manis yang duduk di samping Dharma sekarang. Dari cara Dharma memerhatikannya, sudah pasrti mereka ada hubungan spesial.

Apakah aku cemburu?

Aku menertawakan diri sendiri.

"Terima kasih Mbak Susi atas semuanya," ucap Dharma ketika acara makan malam usai dan keluarganya sudah menempati kamar masing-masing.

"Tak masalah. Maukah kau menemaniku sebentar sebelum pergi tidur?"

Aku bisa melihat guratan bimbang di wajahnya. Tapi seperti yang kuduga, ia tidak bisa menolak ajakanku. Aku tersenyum untuk diriku sendiri. Tak perlu aku cemburu pada gadis itu jika ketika aku menginginkannya, brondongku ini siap melayaniku.

Kamar pun tertutup rapat.

Di bawah selimut, berdua saling mendesah.

***

Anak semata wayangku pulang. Kuliahnya libur. Aku memperkenalkan Dharma sebagai supir. Tidak lebih. Tidak sebagai tukang pijat atau pun brondong kesayangan.

Aku lihat Dharma memang mempunyai kelebihan cepat akrab dengan siapa pun.

"Ma, aku mau ke mall. Biar dianterin Dharma, ya."

Mereka jadi sering bersama. Mungkin karena seumuran. Dari dulu Rio yang anak tunggal memang merindukan teman bermain di rumah ini. Aku sadar betul jika aku tidak punya banyak waktu menemani Rio bermain. Pekerjaanku yang banyak sekali menyita hampir semua waktu, dari pagi hingga malam. Tapi, yang aku lakukan ini juga demi kehidupan yang layak untuk Rio. Supaya ia tak mengalami hidup susah.

"Ma, aku mau ngajak Dharma pergi ke acara ultahnya temen."

Aku bersyukur, Rio lebih bersemangat sejak ada Dharma. Mereka begitu akrab. Rio memperlakukan Dharrma sebagai sahabatnya. Bahkan seringkali Rio mengajak Dharma tidur di kamarnya, main playstasion, nonton bola, hang out, ke bioskop. Meski begitu, Dharma tetap menyadari posisinya di rumah ini. Ia tetap bangun pagi-pagi, menyirami tanaman, mencuci mobil dan jika Rio tak ada, memijatku.

Tapi aku melihat ada sedikit perubahan dari sopir brondongku itu. Semenjak kelulusan, ia jadi pendiam. Raut mukanya tak secerah dulu. Seperti ada yang ia sembunyikan. Saat kutanya, ia hanya menggeleng, bahwa semuanya baik-baik saja. Hmmm... mungkin hanya perasaanku saja.

Rio tak lama berada di rumah. Akhir Maret ia harus sudah kembali ke Amerika untuk melanjutkan studi. Raut wajah sedih menghias wajahnya saat berpisah di bandara. Padahal, dulu-dulu saat pergi, ia tak sesedih itu. Mungkin karena Dharma. Ia tak pernah menemukan teman dekat sebelumnya.

Lalu aku membekali petuah selayaknya ibu kepada anak. Rio memelukku. Ia juga memeluk Dharma.

***

Malam itu, gairah kami memuncak. Panas membara percintaan kami hingga terkulai lemas sampai pagi menyembul bersama embun di dedaunan. Saat aku membuka mata, Dharma tampak sudah berpakaian rapi.

"Ada hal penting apa yang membuatmu pagi-pagi sudah serapi ini?" tanyaku masih sedikit ngantuk.

"Aku sudah memutuskan, Mbak. Aku tidak bisa menunda-nunda lagi. Mulai hari ini aku mengundurkan diri," katanya tegas. Aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah mengira jika waktu seperti ini akan tiba.

"Kenapa? Gaji yang aku kasih kurang?"

Dharma menggeleng.

"Saya mau jujur, Mbak. Gadis yang aku bawa kemarin sebenarnya pacarku. Kami sudah berencana menikah setelah saya lulus kuliah," kata Dharma serius.

"Aku sudah tahu. Tak sulit menebaknya. Baiklah jika itu keputusanmu."

"Tidak hanya itu. Sebenarnya ia tahu."
Pernyataannya ini cukup mengejutkanku.

"Ia tahu. Malam itu ia mendengar kita bercinta. Suara desahan-desahan itu."

Aku terdiam cukup lama.

"Ia pasti sangat mencintaimu," kataku sambil membalutkan handuk ke tubuh. Kusulutkan pula rokok sebelum kusedot dengan sepenuh hati. Kuembuskan asapnya, membumbung tinggi ke udara.

"Lalu bagaimana dengan Rio?" tanyaku datar.
Dengan wajah salah tingkah Dharma menjawab.

"Maksud, Mbak?"

Kutatap Brongdongku itu tajam. Akhirnya ia paham.

"Maafkan aku, Mbak. Aku nggak pernah kayak gini sebelumnya. Aku hanya berusaha menghormatinya, dan Mbak. Sebenarnya aku risih. Aku ingin bercerita pada tapi takut Mbak akan menuduh aku yang mengajarinya. Ia menyukaiku. Bahkan pernah kami melakukan di dalam mobil. Ia menginginkannya dan aku tidak bisa menolak.”

Aku mendengarkan pengakuan dosa Dharma sembari tetap mengembuskan asap rokok dengan sepenuh hati. Aku tahu. Insting seorang ibu.

Koleksi foto-foto pria seksi di bawah tumpukan baju anak semata wajangku. Video blue sesama kelamin dalam folder hapenya. Sebagai seorang ibu hatiku remuk mendapati anak laki-lakiku satu-satunya berbeda. Namun aku sadar, ini juga salahku yang tak mampu memberikan waktu yang layak untuknya. Ia rindu dengan sosok ayah. Ia rindu dengan sosok laki-laki yang melindunginya.

Aku mungkin ibu yang egois. Tapi bukan ibu yang intolelir. Kubiarkan dulu anakku hingga suatu saat nanti ia berani mengungkapkannya. Lagipula, aku juga bukanlah ibu yang bisa dibilang baik untuk dicontoh.

"Sebelum kamu pergi aku ingin minta bantuanmu. Itu pun jika kamu mau. Aku akan membayar mahal untuk ini."

"Tetaplah bersama Rio. Jika ia pulang, kemarilah. Perlahan-lahan bantu aku mengubahnya"

Dharma agak terkejut dengan permintaanku. Ia memikirkan tawaranku cukup lama. Aku menunggu dengan sabar.

Ia mengangguk.
.
.
.
Tamat

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...