Search This Blog

Monday, November 13, 2017

Satu Menit Untuk Luna



Bagi Luna, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding bisa melihat Lutfi. Senyumnya yang manis selalu membuat hati Luna bergetar. Bagai embun pagi yang menyejukkan  jiwa. Laksana senja yang menghangatkan rasa. Jika dalam sehari Luna tidak melihat sosok cowok penggemar MU itu, seharian ia akan gelisah. Sosok itu selalu menari-nari dalam benaknya. Pagi, siang, malam hanya terisi nama Lutfi. Seperti oksigen yang setiap saat dihirup. Seperti itulah Luna mencintai Lutfi.
Cinta? Cinta itu apa?
Pernah bertanya Luna pada sahabatnya, Keyla, tentang hal itu.
Ketika itu mereka masih kelas satu SMA. Luna, gadis cantik berkulit putih dan bermata sipit dengan semangat memasuki kelasnya yang berada paling ujung koridor. Langkahnya ringan seperti biasa. Sambil melangkah ia bernyanyi pelan,
BUUUKK!!!.
Saat sedang asik begitu, sesosok badan menabraknya. Luna terhuyun, terjatuh dan mengeluh kesakitan. Ia sudah siap-siap mengomel.
“Maaf maaf,” kata cowok yang menabrak Luna. Cowok dengan tubuh kurus, berkulit cokelat dan berwajah tampan.
“Hati-hati dong!” omel Luna. Cowok itu hanya nyengir lalu berlari meninggalkan Luna secepat yang ia bisa.
Luna memandang cowok itu menjauh sambil ngedumel. Itu pertemuan pertama Luna dengan Lutfi. Lalu dua, tiga, empat kali pertemuan-pertemuan itu datang tak tersengaja. Seperti hujan yang kadang turun tak terduga. Luna mulai merasa ada yang berbeda setiap kali ia melihat Lutfi. Entah dorongan itu datang dari mana, Luna mulai mencari informasi tentang Lutfi.
Muhammad Lutfi. Tinggal di perumahan Permai. Anak kedua dari tiga bersaudara. Penggila Manchester United. Hobi sepak bola. Suka tidur di kelas. Suka bolos. Nilai akademik biasa-biasa saja. Cowok super cuek meski banyak yang naksir karena memang wajahnya yang tampan dan manis. Dan sederet informasi lainnya yang berhasil Luna kumpulkan selama tiga bulan secara diam-diam.
Sadarlah Luna bahwa telah jatuh cinta. Cinta pertamanya.
“Key, apa itu cinta?” tanya Luna pada Keyla, sahabatnya, teman sebangkunya, saat mereka menikmati waktu istirahat di bawah pohon beringin.
Untuk anak yang baru melewatkan satu semester di kelas satu SMA, membahas cinta ternyata tidak serumit membahas rumus aljabar.
“Cinta itu aku sayang kamu, kamu sayang aku. Kalau aku sayang kamu, kamu sayang dia itu namanya bukan cinta. Tapi derita. Hehehe…” kata Keyla.
“Masak kayak gitu sih,” ucap Luna tak puas.
“Gak tahu deh. Lagian kita kan masih kecil. Kata orang, seumuran kita kalau jatuh cinta namanya cinta monyet.”
“Kamu monyetnya.” Luna terkikik. Keyla ngejitak kepalanya.
Apa itu cinta? Luna masih penasaran tentang itu. Apakah perasaannya pada Lutfi bisa disebut cinta? Belum sempat Luna menemukan jawaban itu, waktu berlalu begitu saja. Hingga dia lulus SMA. Dan perasaannya pada Lutfi semakin membuncah.
Dalam diam Luna mengamati Lutfi. Saat ia kelas satu SMA dan Lutfi kelas dua, Luna selalu mencari apa saja yang berhubungan dengan Lutfi. Tentang tipe cewek yang Lutfi suka. Luna akan melakukannya agar bisa menjadi tipe cewek itu. Merebonding rambutnya, karena menurut informasi Lutfi suka cewek yang berambut lurus. Belajar berhumor, karena Lutfi suka nonton Opera Van Java dan membaca webtoon humor macam Tahi Lalat. Menonton acara yang berhubungan dengan sepak bola, karena Lutfi maniak bola.
Saat kelas dua SMA dan Lutfi kelas tiga, Luna mulai mencari-cari perhatian Lutfi. Ia akan sering mondar-mandir di depan kelas Lutfi. Menunggu Lutfi pulang sekolah dan akan menguntit di belakangnya sampai di depan gerbang perumahan. Luna akan selalu nge-like status yang di buat Lutfi di facebook. Kadangkala ikut komentar. Luna akan duduk paling depan untuk menonton setiap pertandingan sepak bola yang Lutfi ikuti. Luna akan buru-buru nge-save foto Lutfi jika update di Instagram. Memori HP Luna penuh dengan foto Lutfi berbagai pose. Setiap malam sebelum tidur Luna selalu menatap foto itu satu persatu.
Meet tidur, Lutfi...
Saat kelas tiga dan Lutfi masuk kuliah, tidak banyak yang bisa Luna lakukan. Luna hanya bisa mengamati Lutfi di sosial media. Kadangkala ia mengamati rumah Lutfi dari kejauhan, berjam-jam, hanya untuk bisa melihat Lutfi sekilas. Luna juga belajar keras supaya bisa lulus mendapatkan nilai bagus hingga bisa kuliah di tempat yang sama dengan Lutfi.
Luna tidak tahu yang ia lakukan ini cinta atau obsesi. Yang ia tahu, ia bahagia jika bisa melihat Lutfi. Itu sudah cukup baginya.
--0--
Luna pun berdoa. Doa yang sama setiap malamnya. Luna yakin Tuhan tidak akan bosan. Malah semakin tahu bahwa ia benar-benar tulus dengan doa itu. Ia ingin bisa bersama Lutfi.
Dengan kerja keras, akhirnya Luna bisa satu Universitas dengan Lutfi.
Lutfi, semakin bertambah umur, bertambah pula ketampanannya. Tubuhnya tak lagi kurus. Tubuhnya mulai terpahat kokoh hasil nge-gym rutin. Luna ketar-ketir. Semakin banyak yang naksir Lutfi. Semakin sedikit kesempatan doanya bisa terkabul. Lutfi bagai bulan yang sulit ia gapai.
Suatu hari Luna memberanikan diri untuk menyapa Lutfi. Seluruh keberanian ia kerahkan. Semalaman ia berdoa.
“Kak Lutfi,” kata Luna hati-hati.
“Ya.” Lutfi mendongak. Dada Luna terasa mau meledak.
Seluruh naskah percakapan yang sudah Luna hafalkan mendadak musnah.
“Ada apa ya?” kata Lutfi memandang aneh Luna yang sekarang malah kayak orang mendadak kena stroke.
Luna tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin kabur saja. Tapi, ide itu muncul begitu saja di benak Luna.
“Boleh saya wawancara kakak?”
Lutfi memandang Luna penuh tanda tanya. Semakin membuat Luna ingin kejang-kejang.
“Saya Luna dari jurusan Sastra Indonesia. Saya sedang mengerjakan riset untuk essai saya, Kak. Emm…. Tentang mahasiswa-mahasiswa populer dan berpengaruh di kampus.”
Mendengar penjelasan Luna, meledak tawa Lutfi.
“Aku pupuler dan berpengaruh? Hahaha… ada-ada saja.”
Luna menghela nafas lega, ia terselamatkan. Selanghkah lebih maju.
--0--
Kedekatan Luna dan Lutfi perlahan terkoneksi. Luna berusaha keras terlihat biasa di depan Lutfi. Jika menjadi teman bisa membuatnya selalu dekat dengan Lutfi, ia ingin menjadi teman terbaik Lutfi. Jika dengan menyatakan perasaannya membuat Lutfi menjauh, Luna memilih diam. Ia tak mau mengambil resiko.
Namun, bagai godam Zeus menghantam, hati Luna porak-poranda. Suatu sore saat ia sedang akan menonton pertandingan futsal yang Lutfi ikuti, kenyataan pahit itu tertelan. Lutfi mengandeng pacarnya. Namanya Anita.
Luna terjatuh, tak kuat menahan tubuhnya yang syok. Orang-orang mengerubunginya.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Lutfi khawatir. Di sampingnya, Anita. Cantik nan menawan.
Luna hanya menggeleng. Sedikit melirik Anita, ada kecemburuan di matanya.
"Kurasa kamu harus pulang. Biar diantar Adam," kata Lutfi.
"Aku baik-baik saja. Aku masih bisa pulang sendiri kok, Kak," kata Luna. Namun saat ia mencoba berdiri, tubuhnya limbung.
"Lutfi benar. Biar kuantar kamu. Tenang aja, aku nggak gigit kok," kata Adam sambil tersenyum. Adam salah satu teman Lutfi.
Akhirnya pasrahlah Luna saat Adam membantunya berdiri. Ia pergi meninggalkan lapangan futsal dengan hati sedih. Ternyata Lutfi pacaran dengan Anita sudah sebulan. Mengapa selama ini ia tidak tahu, Luna bertanya-tanya dalam hati. Saking sibuknya Luna dengan hatinya yang terluka, ia tidak menyadari Hp-nya tadi terjatuh.
--0--
Malam hari di dalam kamarnya, Lutfi termangu dengan Hp milik Luna di tangannya. Lutfi menduga, jika selama ini Luna telah menyimpan rasa padanya. Walpaper foto dirinya terpampang gagah di layar Hp Luna. Tadinya Lutfi tidak ingin menyalahi privasi Luna. Namun sesuatu menggelitik agar membuka isi Hp itu. Di galeri gambar, ia menemukan foto dirinya. Semua isi galeri foto di Hp itu adalah foto dirinya, dan hanya segelintir foto lain. Selebihnya foto dirinya dari berbagai pose dan dari zaman ia masih berbadan kurus hingga sekarang.
Keesokan harinya Lutfi memutuskan untuk pergi ke rumah Luna karena ia tahu Luna tidak ada jadwal kuliah hari ini. Ia ingin menanyakan tentang semua yang diduganya.
"Kak Lutfi?" kata Luna tak percaya.
"Gimana keadaanmu?" tanya Lutfi.
"Baik-baik saja, Kak," jawab Luna.
"Sepertinya kamu nggak sedang dalam keadaan baik," kata Lutfi. Wajah Luna memang terlihat payah. Matanya bengkak karena semalaman ia menangis di bawah bantal. Kulitnya pucat.
"Silahkan masuk, Kak," ujar Luna tak mengindahkan pertanyaaan Lutfi.
Lutfi menurut. Rumah Luna tampak sederhana. Perabot-perabot tertata rapi. Bersih. Luna pamit mengambil minuman dan cemilan.
"Tak usalah, Lun. Aku nggak lama kok. Ngomong-ngomong sepi benar rumahmu."
"Ayah ada dinas ke luar kota. Ibu di rumah eyang di jogja. Aku sendiri di rumah kak."
"Oh," ucap Lutfi. "Aku hanya ingin mengembalikan ini."
Lutfi menyerahkan Hp berlayar lebar itu ke tangan Luna. Seketika itu pula wajah Luna tampak pias. Bertambah pucat. Tubuhnya gemetar.
"Maaf aku telah melihat isi Hpmu."
Luna merutuk betapa bodohnya ia tak mengunci Hpnya.
"Katakan semuanya, Lun,"pinta Lutfi.
--0--
Bagai luapan sungai saat penghujan, air mata membajir. Tersengal-sengal Luna membendung.
“Beri waktu satu menit, untuk mengganti seluruh waktu yang aku lalui untuk mencintaimu,” kata Luna memohon.
Lutfi hanya diam ketika Luna merengkuhnya, memeluknya, menenggelamkan kepalanya pada dadanya yang bidang. Perlahan Lutfi membalas pelukan itu. Luna telah mengatakan semuanya. Bahkan Luna menunjukkan sebuah album yang hanya ada foto Lutfi yang ia ambil secara diam-diam selama ini. Serta puisi-puisi di album itu, puisi-puisi cinta untuk Lutfi yang hanya ia nikmati sendiri.
Namun Lutfi dengan hati yang amat berat mengatakannya, jika ia telah bertunangan dengan Anita, anak dari teman ayahnya. Lutfi selama ini sudah berpacaran dengan Anita. Karena Anita kuliah di Paris jadi seolah Lutfi tampak masih jomblo. Lutfi tidak tahu jika selama ini Luna mencintainya. Lutfi tak mungkin membatalkan pertunangan itu. Hubungan kedua keluarga akan retak dan Lutfi tak ingin membuat ayahnya bersedih. Lagipula, hatinya kini telah di miliki Anita.
“Terima kasih selama ini telah mencintaiku,” bisik Lutfi tulus.
“Tak perlu mengatakan itu. Saya mempunyai hak untuk mencintaimu dan kamu punya hak untuk menerima atau menolaknya. Setelah ini aku akan berhenti. Semoga kamu bahagia dengannya, Kak Lutfi.”
“Maafkan aku.”
Luna hanya diam. Dia menikmati satu menit terindahnya dengan diam. Dia menangis dalam diam. Dia merintih dalam diam. Dia tak ingin berlari. Dia hanya ingin diam merasakan semua. Seperti selama ini dia mencinta dalam diam.
Karena sebenarnya kekuatan terbesar manusia bisa terlihat bukan pada berlari, tapi pada diam.
--0--
“Beri aku semenit, untuk mengganti seluruh waktu yang telah aku lalui untuk mencintaimu.”
Lutfi masih terngiang kata-kata itu.
Lutfi melihatnya, raganya yang kini tak bernyawa, terbalut kain kafan putih, Luna diam tak bernapas. Semalam ia mendapat kabar, Luna kecelakaan.

 Penulis,
Havidz Antono

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...