Search This Blog

Monday, October 23, 2017

Opera Kulit Kacang



"Malam minggu lo ada acara nggak?"
"Nggak. Kenapa Mey?"
"Nonton lagi yuk."
"Lagi?'
Kamu mengangguk mantap. "Jemput gue ya. Jam biasa."
"Ya, oke."
Lalu aku tak bisa mencegahmu keluar dari apartemenku secepat kamu tadi datang. Cuma kamu yang bisa membuatku kayak gini, takluk pada setiap tingkahmu yang kusebut abnormal. Tak pernah satupun cewek yang pernah aku izinkan keluar-masuk apartemenku kecuali kamu, yang dengan senang hati kuberi kunci pintu gandanya. Tak pernah ada cewek sebelumnya yang bisa meruntuhkan dinding dingin yang sudah mengerak lama di sudut hatiku. Tak pernah sebelumnya ada cewek yang bisa seenak udel mempora-porandakan siklus 24 jam yang sudah kususun sesuai jadwal dari senin hingga senin lagi, dari bangun tidur hingga tidur lagi. Dan belum pernah ada cewek yang kuajak nonton opera hingga kecanduan.
Hari itu kamu resmi putus dengan Maxime. Tak kusangka, untuk ukuran cewek yang sering gonta ganti pacar, putus dengan dia membuatmu menjadi makhluk yang berbeda. Segala tingkahmu yang konyol menguap. Senyummu yang ceria untuk siapa saja menghilang. Berganti kegalauan yang membuat pipimu basah. Di ajak bicara jarang tak nyambung. Bagiku keanehan itu abnormal untuk ukuran cewek super cuek seperti kamu. Padahal dari 21 pacarmu sebelumnya, 21 yang ku tahu, kamu yang putusin mereka. Dan tak ada sedikit pun ada rasa galau tampak di wajah manismu.
Lalu iseng aku mengajak kamu. "Mau nggak lo ikut nonton?"
        "Filmnya apa?"
"Nggak film kok, tapi opera."
"Dimana?"
"Mall."
"Yaudah gue ikut."
Opera Kulit Kacang show setiap malam minggu jam tujuh sampai sembilan malam. Ceritanya simpel saja, tentang kulit kacang yang merana ditinggal pergi isi kacang setelah semua yang disebut perjuangan cinta telah ia lakukan. Opera itu hadir dalam sekuel-sekuel dengan cerita berbeda setiap minggunya namun tetap dengan tema yang sama, patah hati karena ditinggalkan.
Aku tidak sengaja menoton opera itu. Awalnya aku hanya pergi seperti di malam-malam minggu sebelumnya. Membeli satu tiket di pojok, sekotak pop corn rasa karamel dan menikmati film dari awal hingga selesai. Namun malam itu aku kehabisan tiket. Sebagai gantinya aku terusik oleh keramaian yang ada di tengah-tengah mall. Iseng saja, aku ikut duduk pada kursi yang disediakan. Dan ternyata, meski simpel, namun pertunjukan itu membuatku betah menyaksikan sampai akhir. Opera itu mempertontonkan cara membalut patah hati dengan humor. Mengobati luka dengan tawa.
Lalu aku mengajak Meylsa ikut nonton saat ia sedang benar-benar lagi patah hati karena putus dari pacarnya yang ke 22 itu. Tak pernah kulihat Meylsa serapuh itu.
"Apa sih hebatnya cowok itu sampai bikin lo melankonis gini?"
"Gue baru ngerasain benar-benar jatuh cinta waktu sama dia, Sam."
"Cowok itu harusnya dapat rekor muri bisa naklukin lo, Mey."
Dan aku menyesal telah bilang begitu. Meylsa tak lagi mau menangis di pundakku. Padahal, aku tahu ia sedang berada pada titik terendahnya. Dan pundakku selalu menjadi tempat yang nyaman untuknya.
"Gue minta maaf, Mey. Lo boleh kok nangis di pundak gue. Di dada gue. Gue nggak bakal ngeledek lo lagi. Gue akan ngertiin lo, Mey."
"Lo gak akan ngerti, Sam. Lo gak pernah ngerasain rasa kayak gini."
Glekkk. Aku menelan ludah. Mungkin selama ini kamu mengira aku tak pernah merasakan essensi cinta karena sampai sekarang aku tampak singgle alias jomblo. Kemana-mana sendiri. Bahkan cuma kamu satu-satunya teman wanita paling dekat. Kamu tak mengerti kalau selama ini aku sayang sekali sama kamu. Sayang yang telah bertransformasi menjadi cinta yang menggebu. Rindu yang hanya kutautkan pada ritual hari-hariku yang berjalan sesuai jadwal.
"Gue akan berusaha ngerti lo, Mey. Jangan lagi kita kayak orang asing. Gue pengen jadi sahabat yang terbaik buat lo."
Dan aku bahagia saat kamu kembali menangis di pundakku. Dan aku selalu ada saat kamu hubungi. Namun, di satu sisi aku sedih juga melihat kamu menghamburkan air mata untuk cowok lain.
"Tahu nggak, Sam? Kenapa gue jadi seneng banget ikut lo nonton opera kulit kacang?"
Karena lucu? Tapi aku lebih milih diam dan mendengarkan.
"Soalnya saat nonton opera itu gue punya waktu dua jam untuk tertawa. Pikiran gue cuma terfokus sama lelucon opera. Gue nggak kepikiran apa pun. Gue bisa bebas dari dia selama dua jam."
Aku juga suka nonton opera itu, Mey. Karena selama dua jam kamu ada di sampingku dengan sosokmu yang seperti dulu, yang tak dirundung pilu seperti sekarang. Yang menggenapiku dari bilangan ganjilku. Yang mewarnai hari-hariku yang buram.
***
Aku hanya seorang lelaki biasa yang bekerja di sebuah perusahaan konsultasi keuangan. Aku tinggal di sebuah apartemen yang jauh dari kampung halaman. Kehidupanku berjalan normal. Bekerja sampai magrib, kadang sampai larut malam. Setelah kerja, aku biasanya hanya istirahat di apartemen dengan menonton film atau membaca buku sampai tidur. Kadang aku ikut ke club malam sekedar untuk menghormati rekan-rekan kerjaku yang notabenenya masih berjiwa muda dan suka hura-hura. Dengan gaji yang lebih dari cukup ini, aku bisa saja membiayai kehidupan hedon seperti rekan-rekanku. Entah kenapa aku tak tertarik. Aku lebih suka menyendiri. Aku lebih suka nonton film di bioskop, duduk paling pojok sambil ngemil pop corn rasa karamel kalau weekend tiba.
Memang kehidupanku tampak datar. Aku pun menjalaninya dengan datar.
Sampai Meylsa Putri Wibowo datang dengan beribu pesonanya. Bagiku, ia abnormal untuk ukuran cewek yang bekerja di perusahaanku. Kebayakan rekan-rekan wanitaku heboh dengan dandanan mereka, bedak, lipstik, eyeliner, bulu mata badai topan (entah lesu, entah beliung) dan menghamburkan uang mereka dengan shopping barang-barang bermerk yang harganya bisa bikin kejang-kejang. Meylsa abnormal. Ia tak suka dandan namun tetap saja tampak manis menawan. Ia tak suka shopping. Kalau pun jalan-jalan ke mall yang dituju bukan toko tas ber-branded melainkan food court tempat memanjakan perutnya. Toh, ia tak jadi gendut. Ia tetap langsing, tinggi dan sekali lagi, menawan!
Hanya satu yang tak aku suka dari ia. Mey suka gonta-ganti pacar. Seperti calon pembeli mobil yang mencoba satu persatu demi mendapatkan mobil yang pas untuknya. Dan mobil itu berhenti pada cowok bule bernama Maxime. Jujur, aku cemburu.
Aku dan Mey dengan mudah menjadi akrab. Mungkin kita yang sama-sama ganjil saling menggenapi. Aku yang suka menunggu cinta datang. Mey yang suka mencari cinta terbaiknya. Kami menjadi sahabat dekat. Jika Mey ada masalah tentang cowoknya, atau masalah apa pun, aku selalu ada sekadar menjadi pendengar atau pemberi solusi. Aku yang selalu sedia menjadi tembok untuk ia bersandar. Aku yang rela menjadi perahu untuk ia gunakan menemukan kebahagiannya.
***
"Mey, boleh jujur?" suatu hari akhirnya aku memberanikan diri untuk berkata. Balon jika diisi angin terus menerus pun meledak. Hati yang berlayar terbawa samudra pun ingin bermuara. Dan pulau yang aku ingin tuju ternyata ada pada Mey.
"Apa? Ngomong aja?"
"Gue sayang sama lo. Gue siap gantiin dia. Gue nggak bisa janji untuk jadi cowok yang terbaik buat lo, tapi gue akan berusaha," kata-kata itu akhirnya meluncur keluar.
Meylsa bungkam. Aku bungkam. Menunggu.Terkutuklah keadaan yang seperti ini, namun aku memilih untuk maju.
"Pengharapan apa lagi yang lo ingin dari dia? Kekuatan macam apa yang sanggup menahan lo begitu lama? Buat apa lo pelihara luka hati yang bikin mata berair? Kapan lo akan bangun, Mey?"
Meylsa mundur, menjauh.
"Lo tahu perasaan gue, Sam. Gue nggak mau bahas ini lagi. Sorry, gue balik dulu."
"Mey... Jang... an."
Pintu apartemenku sudah terbuka, lalu tertutup lagi.
***
Sudah genap tiga bulan tidak ada Meylsa dalam hidupku. Tidak ada lagi warna dalam hari-hariku yang buram. Tidak ada lagi yang keluar-masuk apartemenku sesuka hati untuk menggangu hibernasiku di hari minggu. Seolah semua kembali sesuai teks. Aku bekerja sampai malam. Jika weekend, aku membeli tiket bioskop paling pojok dan menikmati film sambil makan pop corn rasa karamel dari awal pemutaran hingga selesai.
Opera kulit kacang sudah lama berakhir. Kabarnya mereka sudah pindah ke mall lain di provinsi lain. Sudah tidak ada lagi acara menghumorkan sebuah luka hati. Kadang aku berpikir untuk terbang dan pergi mencari mall yang disinggahi opera kulit kacang. Namun ternyata toh bukan sekedar terbang. Menontonnya sama saja membuka ruang kenangan tentang Meylsa.
"Tok.. Tok... Tok..."
Pagi-pagi benar pintu apartemenku berteriak. Ini hari minggu, jadwalku tidur sampai jam sepuluh siang. Dengan malas aku beranjak untuk membukakan pintu. Seketika kantukku hilang saat mengetahui siapa di balik pintu.
"Mey..."
"Gue rindu lo, Sam."
Kata pertama yang muncul dari mulutnya seketika membuatku ingin memeluknya. Aku menahan.
"Lo nggak rindu gue?" kata-katanya itu menyadarkanku.
Betapa aku sangat merindukanmu, Mey. Betapa aku berusaha menafikan rinduku padamu. Itu sangat sulit, Mey. Bahkan untuk ukuran cowok seperti diriku.
Aku berkata lirih. "Tanpa lo hidup gue kayak tv jadul, buram gak berwarna. Tapi gue gak bisa apa-apa, gue gak bisa maksa lo, Mey. Gue tetep Sam yang datar, yang nggak suka keramaian, yang realistis, yang kalkulatif, yang lebih suka menunggu..."
Hening.
"Ada banyak hal yang nggak bisa di paksakan namun layak di beri kesempatan. Dan harusnya gue dan lo bisa saling memberi kesempatan. Sam, selama ini gue selalu sibuk mencari sampai buta. Gue nggak sadar kalau di depan gue ada yang menunggu. Tiga bulan ini gue jauh dari lo, gue merasa ganjil. Bisakah kita saling memberi kesempatan untuk saling menggenapi?  kita coba jalani pelan-pelan."
Seakan aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Aku mengangguk. Dua bilangan ganjil akan mencoba saling menggenapi. Meylsa merapatkan tubuhnya padaku. Aku merengkuhnya, memeluknya. Ia membenamkan kepalanya di dadaku.
"Mau nemenin gue nggak?" tanyanya lirih.
"Sudah gak ada opera itu, Mey."
"Kata siapa mau nonton opera?"
"Terus?"
"Kita beli dua tiket paling pojok, nonton film sambil ngemil pop corn rasa karamel."
Aku tersenyum lebar. "Kalau gitu gue mandi dulu, ya."

Jepara, 10 Januari 2017.
Havidz Antonio

Saturday, October 21, 2017

Pulang






Semua mendadak tampak agamis. Yang tadinya jarang ngaji, jadi rajin bawa Al-qur'an kemana-mana. Orang-orang kaya yang pelit jadi dermawan. Status di media sosial ramai mengutip pesan kebajikan dari ayat suci dan hadits Nabi. Masjid-masjid ramai memutar lantunan ayat suci Al-qur'an, suaranya membahana dari TOA. Tempat karaoke buka hanya sampai jam sepuluh malam. Dan yang paling kentara, iklan sirup berjaya di televisi.
Bulan Ramadan tiba. Pas di pertengaan bulan Mei. Pas di panas-panasnya musim kemarau.
            Euforia menyebar pada diri kaum muslim. Bulan penuh kebaikan. Bulah penuh ampunan. Bulan penuh berkah. Mari berbondong-bondong beribadah. Mari banyak beristigfar. Mari panen pahala.
Mungkin hanya aku yang menanggapi biasa saja datangnya bulan suci ini. Barangkali lantaran hatiku yang sudah beku. Beku karena banyaknya dosa yang telah aku perbuat. Tak terhitung maksiat yang pernah aku lakukan. Lima waktu juga jarang. Baca Al-qur'an apalagi. Puasa tak pernah.
Aku membayangkan setelah mati diriku dicincang malaikat di samudra api neraka. Tubuhku ditusuk besi panas. Kepalaku digantung. Kelaminku dibakar oleh api membara. Dikasih makan belatung busuk. Minum air mendidih. Ngeri! Tak ayal aku ingin bertaubat. Tapi tetap saja kujalankan maksiat. Iblis membawaku pada jalan yang sesat. Atau malah aku sendiri adalah iblis itu. Gelap. Kelam. Berdosa. Tersesat.
Aku adalah penikmat malam yang gemerlap. Pecandu tubuh wanita yang molek, indah dan menggairahkan. Hamba nafsu yang yang taat. Pemburu dosa yang bersemangat. Anak yang durhaka pada ibunya.
Akulah sang pendosa.
***
"Jadi, kamu pulang atau tidak?" tanya Mbak Erna di seberang sana.
"Entahlah. Mungkin tidak, Mbak," jawabku.
"Pulanglah. Sudah lama kamu tidak mengunjungi Ibumu. Mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Ibu?"
"Iya, Mbak. Aku pikirkan lagi."
Klik. Aku menutup secara sepihak telepon dari Mbak Erna. Ini sudah kelima kali Mbak Erna menelpon dalam kurun waktu tiga hari. Aku tidak tahu dari mana ia mendapatkan nomor teleponku. Ia menanyakan apa aku akan pulang pada lebaran nanti. Lebih tepatnya, ia memintaku untuk pulang.
Aku tidak tahu. Sebenarnya aku malas untuk pulang. Di desa, aku seperti tak punya kehidupan. Aku tidak suka hidup di desa. Desa selalu mengingatkanku pada kenangan buruk itu. Aku suka hidup di hiruk pikuk kota. Dengan segala tawaran kemegahannya. Malamnya menggairahkan. Bir-bir di bar-bar menggiurkan. Wanita-wanita penggoda membuatku mampu melupakan rasa marah (walau pada akhirnya teringat lagi).
Sudah tiga tahun aku lari dari desa, tempat di mana aku menghabiskan masa kanak-kanak yang ceria. Sudah selama itu pula aku lari dari Ibu. Juga lari dari kenangan akan wanita itu. Wanita yang menjadi alasanku harus perang dingin dengan Ibu.
Aku masih ingat ketika pertama kali melihat sepasang alis yang indah. Seketika itu juga aku langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada sepasang alis milik wanita bernama Maharani Callista. Aku jatuh cinta dari alis, hingga turun ke hati. Menohok hingga ke dasarnya.
***
Ia sedang jongkok di antara gerombolan mahasiswa-mahasiswi baru. Pakai kemeja putih, celana hitam. Pakai topi kerucut mirip topi nenek sihir. Dia berkalung selembar kertas bertuliskan Maharani Callista.
Semua itu tidak menarik hingga kutemukan alis yang begitu indah. Alis asli. Bukan alis pakai pensil. Aku tertarik. Aku dekati. Diam-diam menyimpan alibi. Aku ketua ospek kali ini. Jaga intregitas. Intregitas? Aku tertawa.
Saat situasi, kondisi, aman terkendali.
"Kamu," sapaku. Sepertinya ia kaget.
"Iya, Kak. Ada apa, Kak?"
"Nama kamu Maharani?"
"Iya."
"Boleh pinjem bolpen, Rani?"
Sesaat ia memandangku aneh. Tahu ia aku beralibi.
"Ini. Besok balikin, bolpen kesayanganku." katanya sambil senyum. Aku senyum juga.
Besoknya aku balikin bolpen-nya. Besoknya lagi aku tanya rumahnya di mana (walau dari informasi aku sudah tahu). Besoknya lagi aku antar ia pulang. Besoknya lagi kita ngobrol di perpustakaan. Besoknya lagi kita dinner. Besoknya lagi kita nonton bioskop. Besoknya lagi bilang rindu. Besoknya lagi bilang sayang. Besoknya lagi jadian.
Sehari, seminggu, sebulan, setahun, dua tahun, aku semakin sayang. Ia pun begitu.
"Kapan kamu akan memperkenalkan aku pada keluargamu?" kata Rani suatu ketika.
Aku terdiam cukup lama. Aku mulai gelisah. Kegelisahan yamg sebenarnya sudah aku simpan cukup lama
Aku terdiam memikirkan banyak hal. Tentang ketakutanku selama ini. Apa aku siap menerima kabar paling buruk? Kabar jika keluargaku tak setuju atas hubunganku dengan Rani karena tak seiman. Aku sangat tahu bagaimana lingkungan keluargaku. Sangat religius. Sangat menjunjung hukum-hukum agama islam. Apakah ibu akan setuju aku meneruskan hubunganku dengan Rani hingga ke jenjang pernikahan?
Tapi, demi cintaku pada Rani, aku pun mengajakanya menemui keluargaku. Menemui ibu.
Ibu, ayah, Mbak Erna serta suaminya menyambut kedatanganku dan Rani dengan ramah. Hingga aku memperkenalkan bahwa Rani adalah pacarku. Bahwa ia seorang kristiani. Bahwa aku serius dengan hubungan kami.
Ibu hanya diam lalu pergi ke kamarnya dengan alasan tidak enak badan.
Ayah juga diam. Untung ada Mbak Erna dan suaminya yang bisa mencairkan suasana.
"Aku tahu Ibu dan Ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita," kata Rani di jalan saat aku mengantarkannya pulang.
"Tenanglah. Aku yakin tidak begitu. Aku hanya perlu bicara dengan mereka," kataku menenangkan Rani. Walaupun aku sendiri tahu bahwa Rani benar.
"Aku tidak mau melanjutkan hubungan ini jika tidak mendapat restu. Hubungi aku jika sudah mendapatkan kepastiannya, Syif. Sebelum itu jangan menemuiku," kata Rani meng-ultimatum.
***
"Ibu tidak setuju, Nak," kata ibu jelas.
"Tapi Asyif mencintainya, Bu."
"Carilah wanita yang seiman denganmu. Yang baik agamanya. Seperti Mafa."
"Aku tidak mencintai Mafa, Bu. Meskipun ia wanita baik-baik. Anak kiai pula. Aku cuma cinta sama Rani."
Ibu menggeleng tegas, "Ibu tidak merestui."
Aku meneteskan air mata. "Tolonglah, Bu. Ini permintaanku satu-satunya."
Ibu tetap teguh menggeleng. "Mintalah yang lain. Mobil? Uang? Rumah ini serta perkebunan itu milikmu. Ibu kasih semuanya padamu. Tapi tidak untuk yang satu itu. Ibu tidak ridho."
"Asyif tidak inginkan itu semua. Asyif hanya ingin Rani."
Ibu tetap menggeleng. Lalu, ia meninggalkanku yang masih merengek seperti dulu sewaktu kecil saat minta es krim ketika badanku sedang demam. Bagi ibu, sekali tidak tetap tidak. Ia wanita yang teguh pada pendirian.
"Aku akan tetap menikahi Rani meskipun ibu tidak merestui." teriakku.
Ibu hanya diam di kamarnya. Aku segera pergi dari rumah. Aku pergi ke rumah Rani. Aku menemuinya. Aku katakan aku akan segera menikahinya.
"Jadi, Ibumu setuju?" tanya Rani penuh harap.
Aku terdiam.
"Kita akan tetap menikah." kataku, meyakinkan kekasihku itu.
Rani terpaku di tempatnya. Mukanya sedih.
"Tidak, Syif. Kita tidak akan pernah menikah jika tidak mendapat restu."
"Jika begitu kita tidak akan pernah menikah. Aku tahu bagaimana keras kepalanya Ibuku. Aku ingin menikahimu. Aku mencintaimu, Rani!""
"Aku juga mencintaimu."
"Lalu mengapa kamu tidak mau!"
Tangis Rani pecah. Air matanya membanjiri pipi. "Menikah tidak hanya menikahi satu individu saja, Asyif. Menikah juga berarti menikahi keluarga, lingkungan, serta kebiasan-kebiasan pasangannya. Jika syarat menikah denganmu adalah dengan pindah keyakinan, maaf aku tidak bisa."
Rani menciumku untuk yang terakhir kali lalu pergi meninggalkanku yang terdiam bagai batu. Aku memanggil-manggil namanya tapi ia tidak pernah menoleh.
Sejak saat itu aku benci dengan keadaan. Aku benci dengan Ibu. Aku benci dengan Rani. Aku benci dengan takdir. Aku benci dengan diriku sendiri.
Aku memutuskan pergi dari rumah. Aku pergi ke kota. Aku bekerja, mendapatkan uang, foya-foya, membalas sakit hatiku dengan menikmati tubuh wanita-wanita yang menggoda.
Aku sudah lupa caranya shalat. Aku lupa bagaimana membaca huruf hijaiyyah. Aku lupa bagaima lafal doa qunut. Aku lupa segalanya tentang beribadah. Aku berusaha melupakan Tuhan. Aku tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang.
***
Rumah ini tidak banyak berubah. Cat temboknya masih berwarna putih. Pohon rambutan masih berdiri nyaman di pekarangan. Tempat pembakaran sampah masih ada. Bunga-bunga masih menghiasi halamaan (dari dulu Ibu hobi memelihara bunga). Hanya saja, sekarang rumah ini tampak sepi.
Aku kembali bimbang. Masuk atau tidak? Atau aku kembali saja ke kota? Lama aku tidak bertemu ibu. Aku tidak tahu harus bagaimana nanti jika aku bertemu ibu. Mendadak aku diliputi perasaan gelisah.
Sejak Mbak Erna tak henti menelpon, memintaku untuk pulang, aku selalu dihantui perasaan gelisah. Apalagi ketika ia bilang Ibu sebenarnya sudah lama sakit-sakitan (walau aku curiga Mbak Erna berbohong supaya aku mau pulang). Rasa bersalah pada Ibu membuncah. Aku tahu jika aku anak yang durhaka. Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku rindu pada Ibu. Aku ingat semua tentang Ibu. Bagaimana dulu ia merawatku, menjagaku dan memarahiku. Aku bahkan ingat bagaimana rasa masakannya.
Namun, egoku masih besar. Aku terlalu malu mengakui jika aku rindu padanya. Tiga tahun aku lari dari rumah. Tiga tahun aku mencari pelampiasan sakit hati. Selama itu aku tidak bertemu dengan Ibu. Selama itu aku perang dingin dengan Ibu.
Lalu, pada akhirnya aku berada di sini. Di depan rumah yang dulunya sangat familiar, sekarang jadi begitu asing, dengan perasaan tak menentu.
Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. Mbak Erna senyum. Aku tidak sadar kapan dia datang. Tiba-tiba saja ia sudah ada.
"Masuklah. Ibu merindukanmu."
"Entahlah, Mbak. Ibu pasti marah padaku. Tiga tahun tak menemuinya. Ia pasti menganggapku anak durhaka. Dan memang seperti itu aku."
"Ibu tidak pernah marah padamu. Ibu tidak pernah bilang kamu anak durhaka. Ibu memang tidak secara langsung menanyakan tentang dirimu. Tapi sering ketika tidur ia mengingau memanggil-manggil namamu. Sering aku juga mendengar ibu berdoa untukmu sehabis shalat. Doanya baik-baik."
Aku terharu mendengar penuturan Mbak Erna. Aku jadi semakin merasa bersalah pada Ibu.
"Akhir-akhir ini Ibu mulai sakit-sakitan. Temuilah. Selagi masih ada waktu. Jika sudah tidak ada kesempatan, kamu pasti akan menyesal."
Aku mengangguk gamang.
"Kamu ingin buka puasa dengan apa? Biar aku masakkan. Kamu masih suka ikan bakar sambal trasi. Masakanku tak kalah enak sama masakan Ibu, kok. Ibu sendiri mewariskan rahasia menunya padaku. Kadang aku mendengar ia bergumam bahwa Asyif sangat menyukai sambal trasi bikinannya."
"Aku tidak puasa, Mbak. Tidak pernah sejak lari dari rumah."
"Yaudah, tak apa. Besok puasalah. Tinggal sehari. Besoknya lagi lebaran. Aku akan tetap masak buat buka nanti. Sekarang, ayo masuk. Temui Ibu."
Mbak Erna menggeret tanganku, membawaku memasuki rumah. Jantungku berdetak tak karuan. Langkah demi langkah terasa begitu lama.
Ibu, aku pulang.
Ibu, akankah engkau mengampuni kedurhakaan anakmu ini?
Tanpa sadar air mataku menetes.
***
Sejauh apa pun aku melangkah
Aku akan kembali pada-Mu
Sejauh apa pun aku pergi
Kau akan tetap kembali memelukku

Penulis,
Havidz Antonio

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...