Search This Blog

Friday, January 12, 2018

Menjawab Pertanyaan Fundamental Umat Manusia. Dari Mana Asal Kita? Kemana Kita Akan Pergi? Dikutip dari Origin_Dan Brown (Bag. Satu)

Manusia purba punya hubungan ketakjuban dengan jagad raya mereka, terutama dengan fenomena-fenomena yang tidak bisa mereka pahami secara rasional. Untuk memecahkan misteri-misteri ini, mereka meciptakan banyak dewa dan dewi untuk menjelaskan segala sesuatu yang berada di luar pemahaman mereka. Seperti petir, gempa bumi, air pasang, gunung berapi, ketidaksuburan, wabah, bahkan cinta.
Bagi orang Yunani kuno, pasang surut lautan disebabkan oleh pergeseran suasana hati Poseidon. Lalu perubahan musim dingin disebabkan oleh kesedihan dunia oleh penculikan tahunan Persephone ke dunia bawah.
Dan bagi orang Romawi, gunung berapi diyakini sebagai rumah Vulcan –pandai besi para dewa- yang bekerja di bengkel raksasa di perut gunung, menyebabkan api menyembur dari cerobongnya.
Orang kuno menciptakan dewa yang begitu banyaknya untuk menjelaskan tidak hanya misteri-misteri planet mereka, tetapi juga misteri-misteri tubuh mereka sendiri. Ketidaksuburan disebabkan oleh hukum Dewi Juno. Cinta adalah akibat dijadikan sasaran Eros. Epidemik dijelaskan sebagai hukuman yang dikirim oleh Apollo.
Dengan kata lain, ketika orang kuno mengalami kesenjangan dalam pemahaman mengenai dunia di sekeliling mereka, mereka mengisi kesenjangan itu dengan dewa. Tak terhitung banyaknya dewa yang mengisi kesenjangan yang tak terhitung banyaknya itu. Namun, selama berabad-abad, pengetahuan ilmiah meningkat. Ketika kesenjangan dalam pemahaman kita mengenai dunia alam perlahan-lahan menghilang, jumlah dewa kita mulai menciut.
Sebagai contoh, ketika kita tahu bahwa air pasang disebabkan oleh siklus bulan, Poiseidon tak lagi diperlukan, dan kita membuangnya sebagai mitos konyol dari masa yang belum tercerahkan.
Seperti yang kita ketahui, nasib yang sama menimpa semua dewa –mati satu persatu- ketika mereka tak lagi relavan dengan kecerdasan kita yang ber-revolusi.
Tapi jangan keliru soal ini, Dewa-dewa ini bukannya ‘mati tanpa perlawanan’. Meninggalkan Dewa-dewa adalah proses yang tidak menyenangkan bagi sebuah kebudayaan. Keyakinan spiritual ditorehkan kuat-kuat dalam jiwa kita sejak kecil oleh mereka yang paling kita cintai dan percayai –orang tua, guru, pemimpin agama-. Oleh karena itu, pergeseran agama selalu berlangsung selama bergenerasi-bergenerasi, dan bukannya tanpa kengerian luar biasa, serta sering kali pertumpahan darah.
Zeus, dewa dari segala dewa. Yang paling ditakuti dan dihormati di antara semua dewa pagan. Zeus, melebihi semua dewa lainnya, bertahan dari kepunahan, berjuang keras melawan kematian cahayanya sendiri, persis seperti dewa-dewa purba yang digantikan olehnya.
Para pengikut Zeus bersikukuh tidak mau meninggalkan dewa mereka, sehingga keyakinan Kristen yang saat itu berkuasa tidak punya pilihan kecuali menggunakan wajah Zeus sebagai wajah Dewa baru mereka.
Saat ini kita tidak lagi memercayai kisah-kisah mengenai Zeus –bocah laki-laki yang dibesarkan oleh kambing dan diberi kekuatan oleh makhluk-makhluk bermata satu yang disebut Cyclopes-. Bagi kita yang memanfaatkan pemikiran modern, semua kisah ini telah diklarifikasikan sebagai miologi –kisah fiksi kuno yang menghibur dan memberi kita sekilas pandangan ke masa lalu yang dipenuhi takhayul-.
Kini segalanya berbeda. Kita adalah orang modern.
Kita adalah makhluk yang ber-evolusi secara intelektual dan berkeahliah teknologi. Kita tidak memercayai pandai-besi yang bekerja di perut gunung berapi atau dewa-dewa yang mengendalikan air pasang atau musim. Kita sama sekali tidak seperti nenek moyang kuno kita.
Atau benarkah itu?
Kita menganggap diri kita adalah individu rasional modern, tetapi agama spesies kita yang paling tersebar luas menyertakan segala macam pernyataan ajaib –manusia yang bangkit dari kematian, perawan yang melahirkan, dewa-dewa pendendam yang mengirimkan wabah dan banjir, janji mengenai kehidupan setelah kematian di dalam surga di atas awan atau neraka yang berkobar-kobar.
Jadi, sejenak saja, marilah kita bayangkan reaksi sejarahwan dan antropolog umat manusia di masa depan. Dengan memanfaatkan perspektif, akankah mereka menengok keyakinan agama kita dan menggolongkannya sebagai mitologi dari masa yang belum tercerahkan? Akankah mereka mengumpulkan kitab-kitab suci kita dan membuangnya ke rak buku sejarah yang berdebu itu?
Mungkinkah generasi-generasi di masa depan akan bertanya kepada diri mereka sendiri, bagaimana mungkin spesies yang maju secara teknologi seperti kita memercayai sebagai mana yang diajarkan agama-agama modern kepada kita?
Mungkinkah generasi di masa depan akan memandang tradisi-tradisi kita saat ini dan menyimpulkan bahwa kita hidup pada masa yang belum tercerahkan?



Wednesday, January 10, 2018

Resensi Novel Sirkus Pohon Karya Andrea Hirata

Judul Buku: Sirkus Pohon
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Penerbit Bentang
Tahun Terbit: 2017

            Ada dua alur penting dan dua tokoh utama dalam novel ini. Pertama tentang kisah penantian cinta Tegar dan Tara yang selalu tidak pernah bertemu hingga sampai pada akhir-akhir cerita. Kedua tentang sosok Hob dengan berbagai kisahnya, tentang cintanya yang rumit, tentang pekerjaannya sebagai badut sirkus dan tentang pohon delima yang menjadi aikonik di alur novel ini.
            Pertama tentang Tegar dan Tara. Kedua anak manusia ini dipertemukan di Pengadilan Agama saat kedua orang tua mereka sedang melakukan proses perceraian. Mereka masih sangat kecil. Pertemuan mereka dimulai ketika Tara ingin main perosotan namun selalu diserobot anak lain. Berulang kali melihat Tara begitu, Tegar yang sedang main gelantungan di palang besi beranjak membantu Tara agar bisa bermain perosotan. Jangan takut aku akan menjagamu, kata Tegar. Dan pertemuan singkat itu terbayang-bayang dalam benak Tegar dan Tara. Hingga membuat keduanya saling mencari hingga mereka dewasa.
Tokoh utama selanjutnya adalah Hob sebagai tokoh aku dalam novel ini. Hob memiliki jalan cerita yang unik. Hob digambarkan sebagai orang yang sulit mendapatkan pekerjaan hingga suatu saat diterima bekerja sebagai badut sirkus. Hob juga memiliki jalan cerita asmara yang cukup tragis. Dinda, wanita yang akan dilamarnya mendadak mengalami gangguan jiwa. Namun Hob tetap setia kepada Dinda. Lalu pohon delima yang tumbuh di pekarangan rumahnya, menjadi inti dari terjalinnya alur-alur konflik yang pelik sekaligus lucu menggemaskan.
Secara keseluruan, Sirkus Pohon merupakan novel yang sangat bagus dan recommended untuk dibaca. Membaca sirkus pohon seperti membaca fairy tale modern. Pak Cik Andrea sekali lagi mampu menyuguhkan sebuah karya yang indah, dimana sastra, keunikan budaya, joke dan eksplosion-eksplosion yang tidak terduga membaur menjadi kompleksitas yang keren.
Salah satu kekuatan Pak Cik Andrea adalah kejeniusannya dalam meramu joke yang segar dan brilliant. Hal itu membuat Sirkus Pohon sangat enak untuk dinikmati. Perpaduan antara suguhan realitas dan dongeng dalam satu kompleks juga memanjakan pembaca. Dan semua itu di-klimaks-kan dengan ending yang tidak terduga.
Namun begitu, ada sedikit cela dalam buku ini. Salah satunya adalah seringnya pengulangan diksi yang itu-itu saja, sehingga tidak lagi mencengangkan dan segar. Jika kita melihat novel sebelumnya, yakni Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas, hal serupa pun terjadi. Pula dengan kemegahan semesta pengetahuan seperti yang ada dalam Laskar Pelangi tidak tampak.
Terakhir, saya tetap akan merekomendasikan buku ini untuk dikoleksi.

Selamat membaca…

Saturday, January 6, 2018

Resensi Novel Origin Karya Dan Brown


Judul buku: Origin
Penulis: Dan Brown
Penerbit: Penerbit Bentang
Tahun terbit: 2017


Cerita dimulai dari seorang miliarder sekaligus ilmuwan komputer, Edmond Krisch, yang menemui ketiga pemuka agama besar dunia untuk mempresentasikan temuannya yang disinyalir akan mengguncang wajah paradigma dunia. Temuan itu membahas tentang pertanyaan dasar umat manusia. Pertanyaan fundamental eksistensi manusia. Dari mana kita berasal? Kemana kita akan pergi?
Lalu cerita dilanjutkan dengan diadakannya sebuah presentasi mega besar dan disiarkan secara langsung melalui internert oleh Edmond Krisch, yang dihadiri orang-orang berpengaruh dari banyak negara, termasuk Prof. Robert Langdon, profesor simbologi Harvard, sekaligus teman dan guru Edmond waktu masih menjadi mahasiswa di Harvard.
Namun, ketika presentasi tersebut berlangsung, terjadi kekacauan, Edmond Krisch terbunuh. Dari terbunuhnya Edmond, mulai timbul konflik-konflik menegangkan lainnya. Robert Langdon bersama Ambra Vidal –Direktur Museum Guggenheim, mitra Edmond dan tunangan calon raja Spanyol- dibantu Winston –sebuah progam kecerdasan artifisial sintesis komputer- berkejaran dengan waktu dan pembunuh Edmond untuk mengungkap apa sebenarnya temuan Krisch yang akan menghancurkan paradigma dunia tersebut.
Tidak sampai disitu, Langdon malah dituduh menculik Ambra, calon ratu spanyol itu, sehingga ia harus diburu polisi-polisi lokal. Lalu tuduhan keterlibatan pihak kerajaan Spanyol atas kematian Edmond. Dan masih banyak kekacauan lagi yang akan lebih seru jika kalian membaca secara langsung novelnya.
Origin, novel ketujuh dari Dan Brown ini, adalah novel yang paling aku tunggu-sunggu selama beberapa waktu. Aku adalah penggemar karya Dan Brown dan berharap bisa terus menikmati karya dari beliau (semoga aku dan dia diberi umur panjang supaya dia bisa terus menulis dan aku bisa menikmati karyanya yang begitu luar biasa). Namun, harus aku akui, dari ketujuh novel Dan Brow, Origin harus mendapatkan nilai paling rendah.
Meskipun Origin mengangkat tema yang begitu penting dan menarik, tapi jalan cerita Origin serta paparan-paparan khas Langdon sangat kurang membangkitkan dahaga. Aku tidak menemukan kecerdasan Langdon seperti di D’vinci Code, Lost Symbol bahkan Inferno yang begitu mencengangkan. Di Origin, Langdon diberi porsi yang sangat sedikit, dan malah Winston, si super komputer yang mendominasi porsi yang seharusnya milik tokoh utama, Robert.
Oke, mungkin sesuai temanya ‘kemana kita akan pergi’, dimana prediksi ke-eksistensian spesies manusia akan tergeser oleh spesies baru, kingdom ke-tujuh, kingdom unorganik, teknologi buatan manusia yang akan menghancurkan eksistensi manusia itu sendiri, sebuah kingdom bernama Technium, sehingga Dan Bron mungkin sengaja menggeser porsi Langdon dan diganti Winston. Tapi, yang dilakukan Dan Brown benar-benar membuat Origin harus mendapat nilai rendah dariku dibanding novel Brown yang lain. Karena aku begitu mencintai Dan Brown dan berharap Langdong menunjukkan taringnya, alih-alih tokoh lain yang mengambilnya.
Origin, juga mudah ditebak siapa dalang dibalik semua konflik yang terjadi. Jika kalian membaca Deception Point hingga Inferno, pasti tidak kesulitan menebak siapa yang harus bertanggung jawab atas semua konflik. Selalu, dan selalu, Dan Brown menempatkan tokoh yang kelihataannya terdzolimi atau kerabat dari yang terdzolimi sebagai dalang dibalik semua konflik yang terjadi. Saat aku membaca seperempat Origin, aku langsung menebak, semua itu ulah Winston.
Saat aku selesai membaca Origin, aku tiba-tiba teringat film yang pernah aku tonton ditahun 2015. Winston mengingatkanku pada Chappie, robot lugu yang memiliki kecerdasan artifisial yang luar biasa sehingga bisa berpikir seperti manusia dan juga memiliki… perasaan! Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Technium cepat atau lambat akan berbaur dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari spesies kita.
Sebelum aku akhiri tulisan ini, izinkan aku menyampaikan ini. Mungkin sains menjawab banyak hal, namun percayalah bahwa ada Kuasa yang lebih besar diluar pemahaman kita yang melebihi ketepatan matematika, keandalan fisika bahkan keseimbangan kosmos.

Bagaimana bisa kau jelasakan dari mana datangnya cinta dengan sains?

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...