Search This Blog

Monday, August 27, 2018

Cemas


"Semua jadi semakin buruk. Anjing! Bangsat! Tai!"
"Ada apa? Kenapa kau marah-marah?"
"Aku cemas. Sangat cemas."
"Apa yang kau cemaskan?"
"Masa depan."
"Maksudmu? Aku tidak tahu apa maksudmu."
"Masa depanku sungguh terlihat buruk. Apa yang kau lakukan jika kau tahu hal yang terburuk akan terjadi?"
"Membuatnya lebih baik."
"Membuatnya lebih baik? Yeah, tapi jika itu ada pilihan. Sementara aku tidak punya pilihan. Aku hanya punya satu pilihan. Satu jalan. Jalan yang mau tidak mau harus aku tempuh dan itu menuju masa depan yang sungguh buram."
"Selalu ada pilihan, Bung!"
"Omong kosong. Manusia selalu bisa memilih. Itu omong kosong paling busuk. Kata-kata yang selalu diucapkan para motivator itu tidak lebih dari ucapan bohong. Manusia selalu bisa memilih? Yeah, itu terjadi jika ada pilihan. Dan hidup ini tak selalu punya pilihan. Kau kadang hanya disuruh untuk menjalaninya."
"Pelan-pelan, nggak perlu nge-gass. Slow, Brow. Sekarang tarik napasmu dalam-dalam. Betul begitu. Kendalikan emosimu. Yap. Sekarang ceritakan padaku, kenapa kau begitu cemas dengan masa depanmu. Cemas dengan sesuatu yang bahkan belum terjadi."
"Aku pengangguran, salah satunya."
"Hah? Banyak pengangguran di era sekarang. Manusia semakin banyak. Cari pekerjaan susahnya minta ampun. Dan tenaga kerja asing semakin menggila di negeri ini. Tak usah secemas itu kau."
"Umurku sudah hampir kepala tiga dan aku pengangguran, bagaimana aku tidak secemas ini. Seharusnya di umur ini aku sudah kawin. Kawan-kawan seumuranku sudah pada kawin. Bahkan ada yang sudah punya tiga anak. Sementara aku bahkan pacar pun tak punya. Tak berani aku mendekati wanita sementara aku masih pengangguran!"
"Kalau begitu, mulai sekarang, kau harus cari wanita untuk kau jadikan calon istri."
"Kau tidak mendenga omonganku, ya!"
"Haduh, slow... Jangan nge-gas terus. Dengerin dulu. Kau tahu, kata banyak orang kalau seeorang sudah menikah rizki akan datang. Lebih besar dari pada jika seseorang itu sendiri."
"Aku menyangsikan hal itu."
"Apa kau tidak lihat beberapa orang yang tadinya tampak miskin menjadi lebih tampak kaya setelah menikah?"
"Yeah, dan beberapa yang lain rumah tangganya jadi rusuh dan harus berakhir tragis karena masalah ekonomi yang membelit, seperti seekor ular yang membelit mangsanya sampai mampus. Aku tidak mau ekonomi membelitku setelah menikah."
"Hei... Kenapa kau tidak cari kerja saja? Dengan begitu kau akan punya penghasilan dan tentu akan berani mendekati wanita yang kau impikan.”
“Kau pikir aku tidak mencobanya? Cari kerja sulitnya minta ampun jika kau hanya punya selembar ijazah SMA dan umurmu sudah lebih dari maksimal. Sekarang yang dicari oleh perusahaan mana pun maksimal yang berumur 25 tahun. Itu pun bagi yang sudah berumur segitu kemungkinan diterimanya hanya 10%. Aku sudah mencari kesana kemari tapi tidak mendapatkan pekerjaan. Buruk nian nasibku. Ungtungnya, aku masih bisa membeli kopi dan rokok dari santunan orang tuaku karena membantunya jualan di pasar. Aku tak akan bisa membayar bill di kafe untuk sebuah kencan dengan wanita jika berpendapatan segitu."
"Percayalah, mungkin sekarang kau berada di titik paling rendah. Tapi suatu hari kau akan berada di puncak. Kehidupan selalu berputar. Tak selamanya di bawah. Optimislah."
"Aku tidak bisa seoptimis itu jika melihat realita sekarang."
Percakapan-percakapan di dalam kepalaku itu semakin membuatku frustasi. Gairah hidup seolah menguap bersama kepulan asap kopi di atas meja yang belum aku sentuh sama sekali. Memikirkan semua kegetiran hidupku membuatku kehilangan semangat. Sempat aku berpikir untuk bunuh diri saja, tapi aku merasa takut, bukan takut mati tentu saja, melainkan takut akan proses mati itu sendiri. Sepertinya itu sakit sekali. Menyayat nadi kedengarannya sangat buruk, -kemasukan jarum suntik saja membuatku bergidik-. Atau menggantung leher, -itu juga sepertinya menyiksa-. Atau meminum racun tikus. Sepertinya cara-cara itu menyakitkan. Maka kubuang jauh-jauh pikiran untuk bunuh diri. Toh, nanti aku juga mati sendiri.
Kecemasanku akan masa depan yang buram tidak sesederhana percakapan dalam kepalaku tadi. Kecemasanku lebih kompleks. Lebih ada cerita di dalamnya. Lebih banyak lika-liku perjalanan yang berakhir putus asa. Semua yang aku usahakan sia-sia belaka. Seperti menanam padi namun tak pernah panen karena rusak di makan hama, atau bersapu banjir bandang.
Setelah dilanda pikiran yang kusut, kopi yang mulai dingin di atas meja terlihat menggiurkan, maka segera kuseruput. Namun baru sekali seruput aku langsung tersedak karena melihat pemandangan yang langsung membuat ubun-ubunku panas.
Terlihat pemandangan yang membuat dadaku sesak. Seorang wanita dengan senyum mengambang dibonceng motor oleh seorang lelaki yang kutahu seorang juragan kayu yang juga sama, sedang tersenyum riang. Romantis benar mereka dan itu membuatku mengumpet di bawah meja. Antara marah, cemburu, malu, perasaanku tak karuan, aku tak ingin mereka melihatku.
Dia, Eny Khumairah, perempuan yang seharusnya menjadi kekasihku. Dia adik temanku. Aku sering ke rumahnya untuk bermain dengan Bambang, kakaknya. Lambat laun benih-benih perasaan itu muncul. Kami sering mencuri pandang. Saling malu-malu. Saat itu aku masih bekerja sebagai  penjaga counter Hp.  
Pada akhirnya aku berani mengajak Eny jalan dengan uang yang sangat pas-pasan. Itu terjadi sebulan sekali setelah aku menerima gajiku. Tak ada kata cinta dalam hubungan kami dan aku rasa itu tak perlu, -setidaknya begitu menurutku-. Yang terpenting dan jelas adalah bahwa kami saling menyukai. Hingga waktu berlalu dan keadaan berubah.
"Kapan kau akan mengawiniku?" ucap Eny, meski itu sebuah kalimat pertanyaan tapi lebih terdengar sebagai kalimat pernyataan bertanda seru. Kawin? Sementara waktu itu aku sudah resmi menganggur. Itu pertanyaan yang simpel tapi jawabannya sangat sulit. Lebih sulit dari jawaban soal fisika kurasa.
Mau aku kasih makan apa dia? Batu? Kerikil? Pakai apa beli bedak dan eyeliner-nya? Daun? Akhirnya aku bilang padanya, "beri aku waktu."
"Berapa lama?"
"Setahun."
"Baiklah. Setahun."
Setahun? Omong kosong. Pada bulan kelima dia akhirnya memutuskan hubungan kami karena keadaanku bukannya membaik malah semakin buruk. Ternyata dia tidak benar-benar cinta padaku. Atau mungkin aku yang terlalu pengecut. Mungkin baginya menunggu sesuatu yang tidak pasti hanya akan membuat lelah. Hubungan kami kandas. Dia berpaling pada Obed, juragan kayu itu.
***
Bukannya aku tidak bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan, tapi aku benar-benas cemas memikirkan masa depanku. Sesuram mendung di musin penghujan. Segelap malam tanpa rembulan dan bintang. Semakin hari semakin kelam. Segalanya tampak semakin buruk dengan berbagai masalah yang datang.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Orang-orang disekitarku juga tak banyak membantu. Aku seakan sendiri di dunia. Tidak ada teman yang benar-benar jadi teman. Kau tentu tahu maksudku. Mereka yang mengaku teman hanya ada ketika kita senang dan ketika kita dalam kesusahan mereka seolah menghilang. Seolah tidak pernah mengenal kita. Raib. Aku muak segalanya. Dunia ini seperti memusuhiku.
"Mungkin nasibku nanti akan seperti kakek itu. Tua dijalankan, meminta-minta, mengais-ngais apa pun yang bisa dimakan. Hidup keras tanpa bisa memilih apa yang aku ingin dan aku akan susah sekali mati. Kau tahu, seperti penjahat, orang-orang malang juga amat susah mati."
Kembali, percakapan-percakapan dalam pikiranku berceloteh.
"Masih saja kau cemas. Masa depan, tak seorang pun tahu. Yah, kecuali orang-orang terpilih macam nabi atau cenayang. Tapi kau cuma orang biasa. Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi? Bung, Kecemasan datang karena ketidaktahuan."
"Aku akan jadi pecundang."
"Menolak sesuatu yang tidak bisa ditolak lebih menyakitkan dari apapun. Sudahlah, jalani saja. Berpikirlah yang positif."
"Mungkin kau benar, ketakutanku kurang beralasan. Aku akan mencoba berpikir positif kepada takdir."
***
Jika tidak berhasil di kota sendiri, kenapa tida coba ke kota lain? Ide itu mendadak datang. Ya mungkin memang rizkiku tidak di kota ini. Merantau. Itulah jawabannya. Yah, aku harus merantau. Tapi bukannya aku tidak pernah merantau. Pernah dulu ke Kalimantan, juga Bali, tapi tak menghasilkan uang. Maksudku gajiku habis. Saat balik ke rumah sudah tak tersisa.
    Merantau juga bukan hanya soal mencari kerja namun juga inginku memulai sesuatu yang berbeda. Siapa tahu dengan merantau nasibku berubah? Siapa tahu. Maka segera kukemasi barang-barangku yang tidak seberapa ke dalam tas butut hingga penuh.
"Merantau seperti menebak angka dadu berapa yang akan keluar."
"Setidaknya masih tampak ada harapan."

Saturday, August 25, 2018

Tindihan



Sudah hampir sembilan tahun berlalu, tapi aku tidak pernah lupa sebuah peristiwa yang bagiku sangat misterius dan menakutkan. Sebuah kejadian aneh pada masa kecilku yang masih melekat erat di memori kepalaku.
Saat itu menjelang bulan Ramadan. Aku yang kala itu masih duduk di bangku madrasah aliah kelas tiga, sedang asik tidur-tiduran sendiri di musala tua di kampungku. Musala itu berada tidak jauh dari rumahku. Awalnya aku memang hanya tidur-tiduran tapi malah berakhir dengan tidur beneran.
Biasanya, aku memang sering berada di musala tua tersebut menemani Ayah yang rajin melaksanakan tirakat. Apalagi ketika menjelang bulan ramadan, Ayah akan semakin rajin berada di musala, baik untuk tirakatan atau sekadar bersih-bersih untuk menyambut ramadan. Aku tak jarang menemaninya.
Tetapi, malam itu aku mengunjungi musala sendirian saja karena saat itu Ayah sedang diundang berceramah di sebuah pengajian di luar kota. Dan malam itulah sebuah peristiwa aneh menghampiriku. Saat itu aku begitu kelelahan hingga yang awalnya tidur-tiduran malah tertidur beneran di musala dengan posisi miring meringkuk menghadap kiblat serta badan terbalut sarung butut yang tersedia di musala.
Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun karena samar-samar aku mendengar ada suara yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-qur'an dengan sangat merdu dan fasih sekali.
Aku mengucek-ngucek mataku yang terasa berat karena masih mengantuk banget. Setelah itu aku baru benar-benar bisa membuka mataku dengan kesadaran penuh.
Lalu aku melihat sesuatu.
Sebuah pemandangan ganjil membuatku tertegun
Hanya berjarak dua meter di hadapanku terlihat seorang lelaki seperti sedang melaksanakan salat. Anehnya, lelaki itu mengenakan sorban putih dengan tutup kepala seperti pakaian yang lazim dipakai oleh orang arab. Di kampungku tidak ada orang yang berpakaian seperti itu. Dan selama ini tidak ada orang salat berpakaian begitu di musala ini.
Aku merasa itu absurd dan tidak wajar. Tak sengaja mataku lalu melirik ke pintu musala. Ternyata pintu itu masih tertutup rapat. Lantas bagaimana lelaki itu bisa masuk ke musala? Biasanya jika ada yang masuk ke musala, pintunya dibiarkan terbuka.
Berbagai pertanyaan mulai bermunculan di pikiranku. Hatiku mulai merasa tidak nyaman. Tapi aku berusaha untuk berpikiran positif. Dan tanpa kusadari, salat lelaki itu sudah memasuki tahap terakhir. Tak lama kemudian lelaki itu mengucapkan salam sebagai penutup shalat.
"As-salamu alaikum wa rrahmatullahi wa barakatuh."
Aku yang kebetulan berada di sisi sebelah kanan lelaki tersebut, otomatis bisa melihat wajah lelaki berjubah dan bersorban putih itu.
Mataku bembelalak dengan mulut menganga.
"Ya Allah!"
Dia tidak memiliki wajah!
Apa aku salah lihat? Tidak! Aku sungguh melihatnya.
Dia tidak punya wajah. Maksudku, dia  sungguh tidak punya mulut, alis atau pun hidung. Mukanya terlihat datar dan polos, putih bercahaya persis lampu Led di pos ronda.
Aku ketakutan setengah hidup!
"Mahkluk apa ini?" aku berteriak dalam hati.
Kedua tanganku reflek menutupi wajahku. Aku benar-benar ketakutan. Apalagi di dalam musala ini hanya ada aku dan makhluk entah apa ini.
Begitu takutnya, tubuhku sampai menggigil seperti orang yang sedang terkena demam tinggi. Beberapa saat kemudian aku merasa hilang kendali. Semua menjadi gelap. Aku pingsan. Tak sadarkan diri.
Mendekati waktu subuh, beberapa orang mulai berdatangan ke musala. Mereka terkejut mendapati seorang remaja sedang tertidur dengan posisi yang tidak wajar. Terlihat anak remaja itu meringkuk, tapi kepalanya terkesan memandang dengan mata terbelalak.  Kedua tangannya sedang berusaha menutupi wajahnya. Tubuhnya kaku seperti robot kehabisan baterai. Remaja itu tentu saja aku.
Orang-orang itu berusaha membangunkanku yang masih terbaring absurd, namun tak seorang pun berhasil menyadarkanku.  Aku tetap terbujur kaku.  Tidak bergerak sama sekali kecuali detak jantungku yang terdengar agak cepat dan napasku ngos-ngosan.
Tak lama kemudian masuklah pria tua yang berjalan dengan bantuan tongkat, yang tidak lain adalah Pak haji Jum, alias Jumaidi. Pak Jum menyuruh orang lain untuk mengambilkan air disertai bunga mawar dan melati. Setelah itu dibacakannya beberapa doa dari ayat Al-qur'an. Air tersebut kemudian diusapkan ke wajahku.
Hanya dalam beberapa detik tubuhku mulai melemas, tidak kaku lagi. Aku perlahan kembali sadar.
Aku membuka mata. Aku pun terheran-heran melihat begitu banyak orang mengelilingiku. Setelah menyadari apa yang telah terjadi, aku lalu menceritakan semua kejadian yang baru saja aku alami. Beberapa orang yang ada di situ hanya mengatakan bahwa itu hanya mimpi buruk belaka, beberapa orang yang lain mengatakan bahwa itu adalah tindihan.
"Apa itu tindihan?
Pak Wardjono yang kebetulan juga sedang berada di situ menjelaskan,
"Tindihan kui keadaan nek ono wong turu tapi koyok ora turu, teros berhalusinanasi lan pengen tangi tapi ora iso, koyok dipaku neng panggon, roh e terbangun tapi awake ngelawan soale banget sayahe (tindihan adalah keadaan dimana ketika seseorang sedang sangat kelelahan lalu tertidur, tapi tidak sepenuhnya bisa tertidur lelap, bersamaan dengan itu dia berhalusinasi dan ingin bangun dari tidurnya namun tidak bisa, rasanya jadi seperti dipaku ditempat, karena rohnya ingin terbangun tetapi badannya melawan karena sangat lelah dan ingin beristrirahat)"
Aku manggut-manggut mendengar penjelasan Pak War walaupun aku tidak sepenuhnya paham akan maksud dari tindihan.
Aku yang sekarang ini sudah lebih dewasa dan sudah mulai paham penjelasan dari Pak War waktu itu. Yang jelas, aku tidak berani lagi tidur sendirian di musala tua itu lagi. Dan aku tidak akan lupa untuk berdoa setiap mau tidur. Aku tidak mau malihat makhluk tanpa wajah lagi, atau yang lebih mengerikan makhluk tanpa kepala. Amit-amit.

Thursday, August 16, 2018

Puisi di Atas Merah Putih


Allahuakbar. Allahuakbar.
Dar… Dar... Dar...
Allahuakbar. Allahuakbar.
Gemuruh teriakan dan jeritan riuh memekakkan telinga di padang rumput itu.  Padang rumput yang kelabu tertimpa sinar pucat cahaya rembulan yang muram. Muram melihat kejadian di bawahnya. Mayat-mayat bergelimangan seperti botol kecap yang tiarap dan tutupnya terbuka, mengalirkan darah kental di tanah. Darah dari mayat syuhada’ dan para kompeni keparat itu.
Meskipun hanya bersenjata seadanya –parang, celurit, sundu dan bambu kuning yang diruncingi ujung-ujungnya- para pahlawan pertiwi berseragam hijau kacang kapri itu, menggempur para kompeni tanpa rasa takut. Semangat mereka berkobar-kobar. Prajurit-prajurit kompeni kewalahan. Kocar-kacir mereka dihantam semangat para pejuang.
Seorang jejaka pribumi bertempur dengan sangat hebat. Dengan semangat berkobar dia menghunuskan bambu runcing pada setiap musuh di depannya. Kocar-kacir prajurit kompeni dibuatnya. Namun, salah satu kompeni sedang membidiknya. Dan, “Daarr…” Peluru meroket.  Menelusup pas di jantung jejaka itu. “Allahuakbar!” Kata terakhir yang dia ucapkan. Berhenti. Detak jantung merah putih itu berhenti. Mati.
Kemudian semuanya gelap. Semu.
***
Aku terbangun dari tidurku. Napasku terpacu seperti habis maraton di alun-alun kota sebanyak sepuluh putaran tanpa berhenti. Keringat membanjiri tubuhku. Aku mendesah lirih.
“Astagfirullahaladzim.”
Ali, teman sebangkuku memandangku aneh. “Kenapa Bar? Mimpi itu lagi?”
Aku mengangguk lemah. Sungguh aneh, aku selalu memimpikan peristiwa itu. Dan selalu terjadi pada hari-hari mendekati tanggal 10 November. Mulai dari November pertama aku berada di Madrasah Aliyyah ini, hingga November sekarang. November terakhir jika aku lulus dari sekolah.
Kuarahkan pandangan ke penjuru kelas. Suasana ramai. Ada yang ngobrol, bergosib bahkan tidur (seperti aku tadi). Dan aku bertanya-tanya, apakah mereka yang tidur memimpikan hal yang sama sepertiku?
Sementara itu, kepalaku masih terasa pening karena mimpi tadi. Aku memandang jam di dinding. Baru pukul 09:35. Waktu istirahat masih lama. Sementara aku sungguh ingin pergi ke kantin membeli minum. Kemudian, kualihkan pandangan keluar jendela. Kebetulan bangkuku terletak di dekat jendela lantai dua.
Rupanya orang itu belum ada. Orang yang kata teman-temanku sinting. Aku pun beranggapan demikian. Orang yang selalu berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat setiap hari-hari mendekati tanggal 10 November.
“Bar, berhenti melamunnya. Tuh, Bu Ida sudah datang,” kata Ali, menjawilku.
Bu Ida, guru matematika memasuki ruangan.
“Selamat pagi anak-anak. Ibu minta maaf terlambat masuk kelas karena tadi ada yang harus diurus di kantor,” kata Bu Ida. “Sekarang, kita lanjutkan pelajaran. Buka halaman 141. Fungsi limit.
Sebelum membuka buku, sekali lagi aku memandang keluar jendela. Orang yang aku maksud sudah berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat.
***
Para siswa dan guru tiada lagi. Tinggal aku, Ali dan orang gila itu. Aku memang sengaja menunggu keadaan ini. Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan orang gila itu. Mengapa dia rela berpanas-panasan hanya untuk hormat pada tiang bendera seperti orang upacara 17 Agustus? Padahal hari ini bukan tanggal Agustus. Ini November. Dan mimpi itu juga terjadi pada waktu sama. November?
Aku mengajak Ali mendekati orang gila itu. Ali bergeming.
“Ayolah, Al. Aku sangat penasaran,” kataku pada Ali dengan wajah yang kubuat sememelas mungkin.
“Kamu sudah sinting, Bar? kayak nggak ada kerjaan aja.” Ali geleng-geleng kepala seakan melihatku sudah ikutan jadi gila. “Lagian percuma saja. Orang gila itu tak akan memedulikanmu. Pak kepsek, Pak Bambang, Pak Sahal, tukang kebun sekolah, semuanya dicuekin orang gila itu. Mungkin saja orang gila itu bisu.
Namun, rasa ingin tahu telah membuatku keras kepala. “Apa salahnya dicoba?”.
Dan akhirnya, setelah perdebatan yang panjang, sahabatku itu mau juga kugelandang mendekati orang gila itu. Ali mengikutiku setengah hati. Ragu-ragu kami melangkah. Hingga sampai kami berada di belakang orang gila itu.
“Permisi, Mas,” kataku pada orang gila itu.
Tidak di-respeck.
“Permisi, Bang,” kataku lagi.
Aku masih dicuekin. Kujawil pundaknya karena tak sabar. Dia menatapku. Aku terperanjat. Ali kaget mundur ke belakang. Sebelumnya aku tak pernah berada sedekat ini dengang orang gila ini. Orang gila ini terlihat masih muda, mungkin berumur 27 tahun. Terbalut baju compang-camping. Dan wajahnya penuh bekas luka. Seram!
Aku bingung mau berkata apa. Kemudian orang gila itu merogoh ke dalam kantong celananya. Aku was-was, begitu juga Ali. “Eh, apa yang sedang dia rogoh, Bar?” bisik Ali.
“Entahlah, aku juga tidak tahu,” kataku berbisik.
“Kurasa kita harus segera pergi,” usul Ali.
“Sebentar lagi, Al.”.
Aku yakin dalam kantong celananya yang ciut itu tidak ada apa-apa. Namun ajaib! Sungguh aku tidak menyangka dari dalam kantong celananya ada segumpal kain. Bendera merah putih. Hah?  Ya, dia mengeluarkan bendera merah putih. Dan aku heran tak terkira orang gila ini memberikan bendera merah putihnya itu kepadaku.
“Ambillah,” katanya dalam suara berat dan serak. Sebetulnya aku juga merasa ada aura seram.
Aku dan Ali mengamati bendera merah putih yang kini berada di tanganku. Kainnya lusuh, banyak robekan-robekan kecil dan warna merahnya luntur menjadi pink. Bendera ini membuat perasaanku tidak nyaman. Aku tidak bisa menafsirkannya seperti bagaimana. Aku mendongak dan mau bertanya pada orang gila ini mengapa dia memberikan benderanya padaku. Namun, aku termangu dalam tanda tanya besar. Orang gila itu sudah tidak ada. Aku dan Ali saling berpandangan, langsung ngacir ketakutan.
***
Malamnya, kutaruh bendera merah putih menyedihkan itu di atas meja belajar. Kupandangi terus bendera itu. Sementara udara dingin masuk melalui jendela, pikiranku berkecamuk dalam ketidak pahaman. Dan semakin lama aku menatap bendera itu, semakin aku merasakan sesuatu. Entahlah, aku juga tidak tahu seperti apa lebih tepatnya.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Secara misterius kata demi kata terangkai. Kata-kata itu tertoreh di atas bendera merah putih itu. Seharusnya dalam detik ini juga aku sudah menjerit. Aku menyaksikannya, sajak demi sajak tercipta. Dan semua itu tertulis dengan… darah! Bayangkan! Darah!
Aku membaca sajak-sajak itu.

Malam itu
Malam itu ramai
Bukan karena kukuk-kukuk burung hantu
Bukan juga karena lolongan serigala
Namun karena perang

Merah putih berkibar-kibar di udara
Orang-orang berteriak,“Negeri kita harus merdeka, ALLAHUAKBAR!
Dan kupenggal leher para penjajah itu

Hingga merdekalah tanah kita
Soekarno-Hatta telah mengungumkannya
Namun aku masih terseok-seok dan tertatih

Hingga kini,
gedung-gedung menjulang tinggi
Hotel-hotel berbintang di sana-sini
Bioskop, stadion, dan jalan-jalan layang beranak,
bersama manipulasi, kolusi, korupsi, monopoli

Aku merintih
Aku menangis

Tak ada yang mengenal lagi
Tak ada yang peduli lagi
Yang kini tiada lagi
Setelah sebutir peluruh itu menjatuhkanku
Dalam medan tempur itu

Aku telah melayang
Dalam sejarah berdebu
Demi dirimu
Kurelakan jiwa ragaku
Agar engkau bebas
Merdeka.
Tanah airku

Hah? Apa ini? Puisi?
Aku mencoba memahami setiap rangkaian kata di atas bendera merah putih. Mencoba menghubungkannya dengan mimpi yang selalu aku alami. Kesimpulnnya mulai jelas di benakku. Mungkin sekolahku dulu adalah bekas medan perang. Dan mungkin orang gila itu?
Sebuah nama tertoreh di atas merah putih.
RAHAYU
Terperanjat. Aku tahu nama siapa yang tertoreh di atas merah putih. Nama nenekku. Ya, nama nenekku. Tanpa buang waktu lagi kuambil bendera menyedihkan ini. Kumasukan benda ini kedalam tas cangklong hitamku. Segera aku pergi ke rumah paman di desa sebelah. Nenek Rahayu tinggal bersama paman. Usianya mau mencapai 70 tahun. Sementara kakek sudah lama meninggal.
***
Kulihat nenek sedang duduk di kursi goyang sambil mendendangkan lagu gambang suling. Nenek memang suka sekali dengan lagu-lagu tradisional.
Aku sebenarnya kurang begitu suka dengan lagu semacam itu. Aku lebih suka musik modern. Namun, jika nenek yang menyanyikannya, maka aku akan terbawa dalam alunan lagu jawa semacam itu seperti aku mendengarkan thinking out loud-nya, Ed Sheeran.
Namun, kedatanganku ke sini bukan untuk meminta dinyanyikan nenek. Segera aku menemui nenek. Kuucapkan salam. Kukecup tangannya. Kuambil bendera merah putih dari dalam tas cangklong. Kuserahkan pada nenek.
Nenek tampak terkejut. Mata di balik kacamata tuanya begitu sendu. Mulutnya tertutup. Yang terjadi kemudian adalah hening. Hingga perlahan-lahan, sebutir air jatuh dari pelupuk mata nenek, membasahi pipi nenek yang keriput. Dipeluknya bendera itu. Seolah bendera itu adalah sesuatu yang dirindukan nenek sepanjang hidupnya. Semakin deras air mata terjatuh.
“Dia berjanji akan menikahiku setelah pulang dari perang tapi dia tidak pernah kembali. Aku bangga padanya yang dengan gagahnya membela tanah air.
Mengalirlah cerita nenek.
***
Besok paginya, aku menggali lubang di depan tiang bendera sekolah. Kupendam bendera merah putih itu.  Kemudian, aku berdoa untuk pemilik bendera merah putih itu. Semoga pengorbanannya untuk tanah air di terima Tuhan. Dan pahlawan yang tak pernah diketahui bangsa itu mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan. Amin.
Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan pengorbanannya. Aku akan lebih giat belajar supaya bisa berguna bagi bangsa tercinta ini.
***
Satu tahun kemudian.
Hari ini tanggal 10 November. Aku sudah lulus. Aku sengaja mengunjungi sekolah ini. Aku bertanya pada adik-adik kelas, kata mereka sudah tidak ada yang pernah melihat orang gila atau pemuda compang camping atau pahlawan itu, yang berdiri di depan tiang bendera sambil hormat setiap bulan November.

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...