Search This Blog

Sunday, September 17, 2017

Rupa Gadis Itu



Sumber Gambar dari Google
Rupa wajah itu kembali membuat Thoifur tersentak. Gadis manis berlesung pipit, berkulit sawo dan berambut panjang yang selalu dikucir kuda kembali membelenggu isi kepalanya. Gerakan tangannya terhenti di keyboard. Dia menatap layar laptop sambil mengeluh. Ini tulisan ketiga yang gagal dia selesaikan sampai klimaks. Jika wajah itu terus mengganggu, tulisan-tulisannya akan selalu macet tak terselesaikan.
Thoifur memutuskan untuk mematikan laptopnya. Percuma saja menulis dengan pikiran kacau seperti ini. Ide-ide di kepalanya buntu. Imajinasi-imajinasi liarnya menguap entah kemana.
"Siapa Milea?"
Thoifur teringat pertanyaan yang dilontarkan Desi. Dua minggu ini Thoifur telah membuat Desi gundah. Kali pertama mendengar nama Milea, saat Thoifur kembali dari Jogja, dalam rangka bedah buku novel terbarunya. Ketika itu Thoifur dengan begitu jelas cerita tentang pertemuannya dengan Milea.
"Gadis itu suka dengan buku-bukuku. Dia benar-benar mengapresiasi tulisan-tulisanku. Aku sangat tersanjung."
Thoifur mengatakan itu dengan binar wajah senang.
Desi hanya tertawa. Menjadi pacar penulis yang banyak penggemarnya memang harus bisa menempatkan hati secara bijak.
"Jangan-jangan dia kagum kamu. Bukan tulisanmu," ucap Desi dengan nada meledek.
"Hahaha, kamu cemburu?"
"Kamu juga tertarik pada Milea itu? Ngaku ajaaaa!"
Waktu itu mereka hanya menganggap Milea sebagai cerita saja. Mereka masih bisa melempar canda. Desi bukan termasuk gadis yang gampang cemburu. Tapi waktu berlalu, Thoifur kerap menyebut nama Milea lebih sering dari buang kentut. Desi mulai terusik. Hatinya mulai panas. Tapi Thoifur selalu mengelak. Milea hanya pengagum saja. Tidak lebih.

***

"Siapa Milea?" tanya Desi pagi ini.
Thoifur telah sukses membuat Desi menjadi gadis cemburu. Thoifur entah sadar atau tidak telah sering menggumamkan nama Milea. Dalam tulisan-tulisannya yang tak kunjung selesai, tokoh utama wanita selalu bernama Milea.
"Siapa Milea?" ulang Desi. Pagi ini Desi sengaja mendatangi Heru di kantornya. Jika dia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Thoifur, dia harus menemukan sesuatu dari Heru. Thoifur dan Heru bersahabat lama. Thoifur biasanya sangat terbuka dengan sahabatnya itu.
Heru meneguk kopinya. "Milea siapa?"
"Jangan pura-pura nggak tahu," ketus Desi. "Dasar laki-laki!"
Heru menampakkan wajah heran. "Aku hanya dengar sekali nama itu disebut. Saat dia pulang dari Jogja."
"Ya, aku juga dengar nama itu setelah dia pulang dari Jogja. Tahu siapa?"
"Gadis pengagum novel-novelnya."
"Cuma itu?" Desi mendesak.
Heru mengangguk. "Dan gadis itu... Cantik."
Desi melotot.

***

Thoifur membuka album foto di ponselnya. Dia melihat lekat-lekat foto seorang gadis yang akhir-akhir ini menghantui pikirannya. Foto itu diambil ketika dia di Jogja saat seminar bedah buku.
Perkenalan waktu itu begitu lancar. Gadis itu mendatangi Thoifur untuk meminta foto dan tanda tangan.
"Saya sangat menyukai tulisan-tulisan, Mas. Terutama novel Kupu-kupu Bersayap Pelangi. Saya terinspirasi sekali dengan novel itu," kata gadis itu sungguh-sungguh.
Thoifur merasa sangat tersanjung. Saat dia melihat sosok gadis itu secara keseluruan, dalam sekejap dia merasa sangat tertarik.
"Siapa namamu?" tanya Thoifur sambil tersenyum.
"Milea," jawab gadis itu.
"Tahu siapa saya?"
"Thoifur Adji Pamungkas."
"Kamu tahu nama asliku?"
"Hehehe, iya."
"Hehehe. Aku kasih tahu kamu sesuatu boleh?"
"Apa, Mas? Boleh."
"Aku punya kekuatan super. Bisa ngilangin benda."
"Beneran, Mas?"
"Iya. Tinggal merem. Hilang.”
"Hehehe."
“Hehehe.”
Perkenalan itu terjadi begitu lancar. Esoknya Milea kembali datang di acara Thoifur. Mereka seperti sahabat lama. Mereka cepat akrab. Entah bagaimana hari itu Thoifur ingin mengajak Milea menikmati kopi di salah satu kafe. Milea mau.
"Bagaimana kamu bisa pandai menulis begitu, Mas?" tanya Milea setelah menyesap nescafenya.
"Rajin-rajin baca. Rajin-rajin nulis. Rajin-rajin makan."
"Kok makan?"
"Iya, kalau laper malas nulis."
"Hehehe."
Thoifur terperangah oleh kilas kenangan itu. Ditutupnya album foto di ponsel. Thoifur berusaha menepis bayangan gadis itu. Tapi tak pergi-pergi. Wajah Milea telah menghipnotis hingga dia tak bisa lupa.

***

"Desi mulai emosi," ujar Heru, duduk di hadapan Thoifur yang sedang tekun di depan layar laptop. Mereka sedang di tempat favorit, sebuah kafe kecil yang punya menu kopi yang khas.
"Kenapa dia?"
“Jangan pura-pura bego. Gue tahu lo dari belum baligh.”
Thoifur menghela napas.
"Apa yang mesti dicemburuin?"
"Menurutmu?"
Thoifur menutup laptopnya lalu memandang wajah sahabatnya itu. "Dia berlebihan."
"Lo pasti nyimpen sesuatu. Milea, seberapa jauh hubungan kalian?" tanya Heru.
Thoifur mendengus. "Tak ada hubungan apa-apa. Sekadar pengagum lalu jadi temen. Hanya saja, lo kalau jadi gue pasti ngerasain hal yang sama."
"Ngerasain gimana maksudmu?"
"Dia itu gadis yang menarik. Entah gimana, gue jadi inget dia terus. Semacam rindu yang aneh."
"Itu namanya lo jatuh cinta."
Thoifur menggeleng. "Gue gak ngerti. Tapi gue inget dia terus."
Heru menarik napas panjang. "Inget, lo punya Desi. Hubungan kalian juga nggak bisa dibilang sebentar."
Thoifur senyum. "Terima kasih sudah diingatkan."

***

Desi cemberut. Berkali-kali dia menelpon Thoifur tapi tak ada jawaban. Di kostnya juga tidak ada orangnya. Kemudian dia memutuskan untuk ke rumah Heru.
"Thoifur berubah," ujar Desi sesampainya bertemu Heru.
Lewat sudut matanya, Heru melihat kemurungan di wajah Desi. Dulu Heru menduga hal seperti ini akan sering terjadi. Desi akan cepat lelah menghadapi Thoifur, laki-laki cuek yang apatis dan tak romantis sama sekali. Tapi ternyata mereka bisa menjalani hubungan itu hingga dua tahun.
"Aku sebenarnya tak mau ikut campur. Tapi dia mengabaikanmu," kata Heru tenang.
"Aku tak akan kalah dengan gadis itu," ucap Desi meski dengan mata berkaca-kaca.
"Kekuatan macam apa sampai kamu bisa bertahan seperti itu?" tanya Heru dengan nada sarkatis.
"Karena aku cinta."
"Cinta selalu buat orang jadi bodoh," cibir Heru dengan nada pelan.
Desi tak memedulikan omongan Heru. Dia malah meminta supaya Heru menelpon Thoifur agar tahu apakah Thoifur memang sengaja tidak menjawab teleponnya atau tidak.

***

Di lain tempat, Thoifur merasa perlu menenangkan diri dengan secangkir kopi, atau malah beberapa cangkir. Dia terpekur, lalu menggeleng, lalu meremas rambutnya seperti orang stress.
Belakangan dia diganduli ingatan yang begitu lekat pada gadis Jogja itu. Dan perasaan bersalah pada Desi yang tengah uring-uringan. Dia paham, pantas jika Desi bersikap seperti itu. Meskipun Thoifur tak bermaksud menyisihkan Desi demi gadis lain.
Tapi perasaan tentang Milea tak bisa dinafikan. Bahkan terbawa sampai ke alam mimpi. Mimpi itu menjelma seperti bahasa rindu yang harus dituntaskan. Milea merentangkan tangannya seolah mau memeluknya. Wajah cantiknya menyeret Thoifur semakin jauh. Senyumnya menggemuruhkan dadanya.
Thoifur perlu menenangkan diri. Entah sudah berapa panggilan tak terjawab dan SMS yang memenuhi ponselnya.
Tiba-tiba sebuah ide terbesit di pikirannya. Tanpa ragu dia memutuskan. Dia ingin ke Jogja. Dia ingin menuntaskan perasaan aneh yang menggelayuti hari-harinya.
Thoifur menarik napas dalam-dalam. Menit berikutnya dia sudah bergegas pergi meninggalkan Jakarta.
Hari sudah malam ketika Thoifur tiba di Adisucipto International Airport. Thoifur segera menyetop taksi. Dia sebutkan sebuah alamat di daerah Sleman pada sopir taksi. Lalu taksi berwarna biru muda itu melaju. Di dalam taksi Thoifur tercenung. Entah apa yang ada dalam benaknya tapi dia tahu, dia melakukan ini karena sesuatu. Sesuatu yang sangat mengganggu dan akhirnya menggerakkan seluruh kesadarannya bahwa dia harus datang kesini.
            Milea pernah menyebutkan sebuah alamat di daerah Sleman. Alamat tempat dia tinggal. Thoifur ingin ke sana. Tapi ini sudah malam. Tidak mungkin bertamu malam-malam begini apalagi ke rumah seorang perempuan. Thoifur memutuskan untuk mencari penginapan di daerah sekitar situ. Besok pagi dia akan mendatangi tempat tinggal Milea.

***

            “Mbak Lia? Ng…” Nia menjawab pertanyaan itu dengan nada mengambang.
            Tadi saat Thoifur mengetuk pintu rumahnya sambil mengucapkan salam, Nia sempat heran seorang lelaki ganteng yang tidak dia kenal bertamu ke rumahnya. Lalu Thoifur mengenalkan dirinya dan tujuannya bertamu, yaitu mencari kakaknya.
Kemudian Nia bercerita jika kakaknya telah meninggal. Kontan saja hal itu membuat Thoifur terkaget. Thoifur katakan yang sebenarnya pada Nia. Tentang pertemuannya dengan Milea beberapa minggu yang lalu. Tentang perasaannya yang selalu dihantui rupa Milea bahkan terbawa sampai mimpi.
“Mbak Lia sangat mengagumimu, Mas. Di hari pertama kunjungannya ke seminar bukumu kemarin, saat bisa foto dan kenalan sama kamu, berkali-kali dia menyebut namamu sesampainya di rumah. Apalagi saat kamu ngajak dia ke kafe. Dia seneng banget. Dia nggak henti-hentinya cerita itu.”
Thoifur hanya menyimak penuturan Nia sambil diam. Dia seperti belum siap dihantam kenyataan jika Milea telah tiada.
Setelah dia kembali ke Jakarta, sehari kemudian Milea mengalami kecelakaan. Sebuah mobil menabrak Milea dan membuatnya mengalami pendarahan di kepala. Saat dilarikan ke rumah sakit, Milea sudah tak tertolong.
Thoifur kini mengerti apa yang sebenanya terjadi. Yang terjadi akhir-akhir ini adalah sebuh bahasa rindu yang harus dituntaskan. Dan Thoifur kini telah menuntaskannya.
Thoifur meminta untuk dikasih tahu di mana Milea dimakamkan. Nia dengan senang hati kasih tahu, bahkan bersedia mengantarkan Thoifur kesana. Lalu mereka ke makam yang letaknya tak jauh dari rumah Nia. Di sana Thoifur berdoa dengan khusuk. Semoga kamu bisa lebih tenang di sana sekarang.
Setelah dari makam Thoifur mohon diri untuk pulang. Nia mengucapkan terima kasih atas kedatangannya. Lalu mereka berpisah. Thoifur memutuskan untuk langsung kembali ke Jakarta.

***
           
Thoifur menaiki anak-anak tangga pesawat. Sebelum benar-benar tenggelam di perut pesawat, Thoifur melemparkan pandangannya ke lapang luas Bandara Adisucipto. Langit Jogja di sore yang temaram, bentar lagi gelap. Langit yang pernah mempertemukannya dengan gadis yang dengan luar biasa membuat hari-harinya jadi berbeda dalam sebulan ini.
            Diraih ponselnya dalam saku. Tak ada panggilan atau pesan dari Desi sejak pagi. Dia tahu, Desi terluka.

***
           
“Maafkan aku,” ucap Thoifur sungguh-sungguh.
            Desi hanya menatapnya tanpa berkata. Sisa air mata masih tampak di pipi mulusnya.
            “Aku akan ceritakan yang sebenarnya. Tapi setelah itu tolong percayalah jika aku tidak ada niatan sama sekali untuk menggantimu dengan gadis mana pun,” kata Thoifur.
            “Apa yang ingin kamu ceritakan? Sudah ketemu gadis itu? Sudah puas? Tahu nggak sih kamu, aku mengkhawatirkanmu. Kamu tahu semalaman aku nangisin kamu. Kepalaku penuh prasangka yang nggak-nggak. Sekarang kamu mau ngomong apa?” cerca Desi.
            Gantian Thoifur yang diam. Dia sadar telah begitu salah.
            “Maaf.”
             Mereka berdua terdiam. Setelah keadaan agak membaik, Thoifur menceritakan apa yang dia dapat di Jogja. Thoifur bercerita dengan apa adanya.
            “Aku sungguh tidak berniat berpaling dari kamu.”
            Akhirnya Desi bisa memahami. Desi melihat mata Thoifur yang memandangnya sungguh-sungguh. Mata yang kembali bersinar seperti dulu. Hanya saja tampak sedikit lelah. Tadi sesampainya di Jakarta, Thoifur langsung menuju ke rumah Desi. Dia kelelahan.
            “Kamu butuh istirahat. Aku sayang kamu,” kata Desi akhirnya. Dia memberi kecupan di pipi Thoifur.
            Thoifur lalu memeluk Desi hangat sebelum pamit pulang.



Kota Jepara, Rabu, 19 Juli 2017

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...