Penulis: Havidz Antonio
Malam ini, kau berpakaian lebih rapi
daripada biasanya.
Biasanya,
kau hanya memakai celana jeans, kali ini kau memakai celana kain. Memakai kemeja,
bukannya kaos prada. Rambutmu disisir rapi. Licin. Tampak sungguh kau habis
cukur rambut. Rambut gondrongmu telah tanggal. Menghilang rambut kebangganmu
itu. Di kakimu juga sudah terpakai pantofel hitam mengkilap. Berharap dengan
semua itu bisa menutupi setiap langkahmu yang getir.
Andaikata
haru dapat dilihat seperti awan, maka setiap jengkal langkahmu menuju kerumunan
orang itu akan menghadirkan gumpalan awan mendung. Seperti tumpukan salju
hitam. Lalu menghujamkan bulir-bulir air sebesar kelereng. Dan dengan cepat
menjadi banjir yang menenggelamkan semua orang di ruang itu. Orang-orang itu
akan kehabisan napas dan tahu-tahu ikut merasakan betapa hatimu telah terluka
berdarah-darah.
Beberapa
orang kini menyapamu. Orang-orang yang mengenalmu. Orang-orang yang mengenal
ceritamu. Orang-orang itu melemparkan senyum. Melemparkan tanya apa kabar. Juga
melemparkan tanya yang tak terucap. Bagaimana perasaanmu kali ini? Begitu kira-kira
tanya yang tak terucap itu. Dan kau pun balas melempar senyum. Melempar jawab
aku baik-baik saja. Dan melempar jawab yang tak terucap pula. Perasaanku melebur.
Begitu kira-kira jawabanmu yang tak terucap.
Dan
di sana, dua orang berdiri anggun. Dua orang yang menjadi bintang kali ini. Seorang
lelaki memakai jas necis dengan senyum mengembang. Dan satunya lagi, perempuan
berbalut gaun putih dengan riasan yang luar biasa indahnya. Membuat paru-parumu
kembang kempis melihatnya.
Terjadi
badai di lautan hatimu.
Kau
masih ingat, malam-malam buta kau mendatangi kediamannya.
“Lima
tahun? Kita akan buang lima tahun itu begitu saja?” Retorikal dan getir, kau
bertanya.
“Jadi,
sekarang kamu mau bagaimana?” dia balas bertanya.
Kau
diam. Tidak bisa menjawab. Ada keanehan yang menyembul keluar dan kini
menguasai pikiranmu ketika pertanyaan itu keluar.
“Memang
ini jalannya,” katanya membuyarkan kebisuanmu.
Mengapa
kata-kata justru hilang pada saat seperti ini? Saat kau merasa butuh
penghiburan untuk sebuah jawaban yang memuaskan. Kemampuanmu berkata-kata
menguap.
Tanganmu
bergerak bimbang seperti ingin meraih tangannya, tapi kau urungkan. Dua manusia
yang sudah bercinta bertahun-tahun dan merasakan setiap jengkal kulit
masing-masing, mendadak enggan untuk bersentuhan.
“Kau
bersamanya. Aku bersamanya. Lalu mau apa? Lalu buat apa?”
Mulutmu refleks ingin membuka, ingin menjawab,
tapi hanya desahan napas yang muncul. Kau tak tahu jawabannya. Kenapa dua
manusia yang saling sayang pada akhirnya harus berjalan sendiri-sendiri?
Dan
pada akhirnya hanya bercinta yang bisa menjawab pertanyaan kalian. Percintaan kalian
untuk terakhir kalinya. Setelah malam
itu, semuanya usai. Kau kembali pada keidupanmu bersama istri dan anakmu. Dan dia
akan mulai menjalani kehidupan barunya dengan orang lain.
Lenganmu
melonggar, melepaskan tubuhnya. Otot-ototmu yang tegang mulai melemas, pasrah
membiarkannya pergi.
Tapi
kini kau menyesalinya. Sejak dia pergi, duniamu tak lagi sama. Hidupmu menjadi
asing. Kau sedih untuk sesuatu yang kau tahu. Kau tahu setelah berlalu. Kau luruh
setelah langkahnya menjauh. Kau tahu, dia sudah pergi. Tubuhnya, hatinya… meski
tampak di depan mata. Di sana dia bersama seseorang yang lain. Seseorang yang
akan segera mengucapkan akad untuknya.
Kau
tetap melangkah mendekatinya. Dia sekilas melirikmu. Dia tahu kau ada. Ada di
depan jangkauan penglihatannya. Entah di hatinya, masih ada atau sudah musnah.
“Selamat.”
Akhirnya kata itu mucul juga dari mulutmu. Kali ini kau tidak mengucapkan itu seperti
perpisahan. Juga tidak seperti perjumpaan. Melainkan kesadaran.
Kau
mengulurkan tangan dan dia menyambutnya. Ada getaran hebat menjalar ke setiap
sel tubuhmu saat kulitmu bersentuhan dengan kulitnya.
“Terima
kasih,” jawabnya singkat.
Hanya
itu. Selamat. Dan terima kasih. Usai.
Jepara, 25 September 2017
No comments:
Post a Comment