Search This Blog

Thursday, August 16, 2018

Puisi di Atas Merah Putih


Allahuakbar. Allahuakbar.
Dar… Dar... Dar...
Allahuakbar. Allahuakbar.
Gemuruh teriakan dan jeritan riuh memekakkan telinga di padang rumput itu.  Padang rumput yang kelabu tertimpa sinar pucat cahaya rembulan yang muram. Muram melihat kejadian di bawahnya. Mayat-mayat bergelimangan seperti botol kecap yang tiarap dan tutupnya terbuka, mengalirkan darah kental di tanah. Darah dari mayat syuhada’ dan para kompeni keparat itu.
Meskipun hanya bersenjata seadanya –parang, celurit, sundu dan bambu kuning yang diruncingi ujung-ujungnya- para pahlawan pertiwi berseragam hijau kacang kapri itu, menggempur para kompeni tanpa rasa takut. Semangat mereka berkobar-kobar. Prajurit-prajurit kompeni kewalahan. Kocar-kacir mereka dihantam semangat para pejuang.
Seorang jejaka pribumi bertempur dengan sangat hebat. Dengan semangat berkobar dia menghunuskan bambu runcing pada setiap musuh di depannya. Kocar-kacir prajurit kompeni dibuatnya. Namun, salah satu kompeni sedang membidiknya. Dan, “Daarr…” Peluru meroket.  Menelusup pas di jantung jejaka itu. “Allahuakbar!” Kata terakhir yang dia ucapkan. Berhenti. Detak jantung merah putih itu berhenti. Mati.
Kemudian semuanya gelap. Semu.
***
Aku terbangun dari tidurku. Napasku terpacu seperti habis maraton di alun-alun kota sebanyak sepuluh putaran tanpa berhenti. Keringat membanjiri tubuhku. Aku mendesah lirih.
“Astagfirullahaladzim.”
Ali, teman sebangkuku memandangku aneh. “Kenapa Bar? Mimpi itu lagi?”
Aku mengangguk lemah. Sungguh aneh, aku selalu memimpikan peristiwa itu. Dan selalu terjadi pada hari-hari mendekati tanggal 10 November. Mulai dari November pertama aku berada di Madrasah Aliyyah ini, hingga November sekarang. November terakhir jika aku lulus dari sekolah.
Kuarahkan pandangan ke penjuru kelas. Suasana ramai. Ada yang ngobrol, bergosib bahkan tidur (seperti aku tadi). Dan aku bertanya-tanya, apakah mereka yang tidur memimpikan hal yang sama sepertiku?
Sementara itu, kepalaku masih terasa pening karena mimpi tadi. Aku memandang jam di dinding. Baru pukul 09:35. Waktu istirahat masih lama. Sementara aku sungguh ingin pergi ke kantin membeli minum. Kemudian, kualihkan pandangan keluar jendela. Kebetulan bangkuku terletak di dekat jendela lantai dua.
Rupanya orang itu belum ada. Orang yang kata teman-temanku sinting. Aku pun beranggapan demikian. Orang yang selalu berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat setiap hari-hari mendekati tanggal 10 November.
“Bar, berhenti melamunnya. Tuh, Bu Ida sudah datang,” kata Ali, menjawilku.
Bu Ida, guru matematika memasuki ruangan.
“Selamat pagi anak-anak. Ibu minta maaf terlambat masuk kelas karena tadi ada yang harus diurus di kantor,” kata Bu Ida. “Sekarang, kita lanjutkan pelajaran. Buka halaman 141. Fungsi limit.
Sebelum membuka buku, sekali lagi aku memandang keluar jendela. Orang yang aku maksud sudah berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat.
***
Para siswa dan guru tiada lagi. Tinggal aku, Ali dan orang gila itu. Aku memang sengaja menunggu keadaan ini. Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan orang gila itu. Mengapa dia rela berpanas-panasan hanya untuk hormat pada tiang bendera seperti orang upacara 17 Agustus? Padahal hari ini bukan tanggal Agustus. Ini November. Dan mimpi itu juga terjadi pada waktu sama. November?
Aku mengajak Ali mendekati orang gila itu. Ali bergeming.
“Ayolah, Al. Aku sangat penasaran,” kataku pada Ali dengan wajah yang kubuat sememelas mungkin.
“Kamu sudah sinting, Bar? kayak nggak ada kerjaan aja.” Ali geleng-geleng kepala seakan melihatku sudah ikutan jadi gila. “Lagian percuma saja. Orang gila itu tak akan memedulikanmu. Pak kepsek, Pak Bambang, Pak Sahal, tukang kebun sekolah, semuanya dicuekin orang gila itu. Mungkin saja orang gila itu bisu.
Namun, rasa ingin tahu telah membuatku keras kepala. “Apa salahnya dicoba?”.
Dan akhirnya, setelah perdebatan yang panjang, sahabatku itu mau juga kugelandang mendekati orang gila itu. Ali mengikutiku setengah hati. Ragu-ragu kami melangkah. Hingga sampai kami berada di belakang orang gila itu.
“Permisi, Mas,” kataku pada orang gila itu.
Tidak di-respeck.
“Permisi, Bang,” kataku lagi.
Aku masih dicuekin. Kujawil pundaknya karena tak sabar. Dia menatapku. Aku terperanjat. Ali kaget mundur ke belakang. Sebelumnya aku tak pernah berada sedekat ini dengang orang gila ini. Orang gila ini terlihat masih muda, mungkin berumur 27 tahun. Terbalut baju compang-camping. Dan wajahnya penuh bekas luka. Seram!
Aku bingung mau berkata apa. Kemudian orang gila itu merogoh ke dalam kantong celananya. Aku was-was, begitu juga Ali. “Eh, apa yang sedang dia rogoh, Bar?” bisik Ali.
“Entahlah, aku juga tidak tahu,” kataku berbisik.
“Kurasa kita harus segera pergi,” usul Ali.
“Sebentar lagi, Al.”.
Aku yakin dalam kantong celananya yang ciut itu tidak ada apa-apa. Namun ajaib! Sungguh aku tidak menyangka dari dalam kantong celananya ada segumpal kain. Bendera merah putih. Hah?  Ya, dia mengeluarkan bendera merah putih. Dan aku heran tak terkira orang gila ini memberikan bendera merah putihnya itu kepadaku.
“Ambillah,” katanya dalam suara berat dan serak. Sebetulnya aku juga merasa ada aura seram.
Aku dan Ali mengamati bendera merah putih yang kini berada di tanganku. Kainnya lusuh, banyak robekan-robekan kecil dan warna merahnya luntur menjadi pink. Bendera ini membuat perasaanku tidak nyaman. Aku tidak bisa menafsirkannya seperti bagaimana. Aku mendongak dan mau bertanya pada orang gila ini mengapa dia memberikan benderanya padaku. Namun, aku termangu dalam tanda tanya besar. Orang gila itu sudah tidak ada. Aku dan Ali saling berpandangan, langsung ngacir ketakutan.
***
Malamnya, kutaruh bendera merah putih menyedihkan itu di atas meja belajar. Kupandangi terus bendera itu. Sementara udara dingin masuk melalui jendela, pikiranku berkecamuk dalam ketidak pahaman. Dan semakin lama aku menatap bendera itu, semakin aku merasakan sesuatu. Entahlah, aku juga tidak tahu seperti apa lebih tepatnya.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Secara misterius kata demi kata terangkai. Kata-kata itu tertoreh di atas bendera merah putih itu. Seharusnya dalam detik ini juga aku sudah menjerit. Aku menyaksikannya, sajak demi sajak tercipta. Dan semua itu tertulis dengan… darah! Bayangkan! Darah!
Aku membaca sajak-sajak itu.

Malam itu
Malam itu ramai
Bukan karena kukuk-kukuk burung hantu
Bukan juga karena lolongan serigala
Namun karena perang

Merah putih berkibar-kibar di udara
Orang-orang berteriak,“Negeri kita harus merdeka, ALLAHUAKBAR!
Dan kupenggal leher para penjajah itu

Hingga merdekalah tanah kita
Soekarno-Hatta telah mengungumkannya
Namun aku masih terseok-seok dan tertatih

Hingga kini,
gedung-gedung menjulang tinggi
Hotel-hotel berbintang di sana-sini
Bioskop, stadion, dan jalan-jalan layang beranak,
bersama manipulasi, kolusi, korupsi, monopoli

Aku merintih
Aku menangis

Tak ada yang mengenal lagi
Tak ada yang peduli lagi
Yang kini tiada lagi
Setelah sebutir peluruh itu menjatuhkanku
Dalam medan tempur itu

Aku telah melayang
Dalam sejarah berdebu
Demi dirimu
Kurelakan jiwa ragaku
Agar engkau bebas
Merdeka.
Tanah airku

Hah? Apa ini? Puisi?
Aku mencoba memahami setiap rangkaian kata di atas bendera merah putih. Mencoba menghubungkannya dengan mimpi yang selalu aku alami. Kesimpulnnya mulai jelas di benakku. Mungkin sekolahku dulu adalah bekas medan perang. Dan mungkin orang gila itu?
Sebuah nama tertoreh di atas merah putih.
RAHAYU
Terperanjat. Aku tahu nama siapa yang tertoreh di atas merah putih. Nama nenekku. Ya, nama nenekku. Tanpa buang waktu lagi kuambil bendera menyedihkan ini. Kumasukan benda ini kedalam tas cangklong hitamku. Segera aku pergi ke rumah paman di desa sebelah. Nenek Rahayu tinggal bersama paman. Usianya mau mencapai 70 tahun. Sementara kakek sudah lama meninggal.
***
Kulihat nenek sedang duduk di kursi goyang sambil mendendangkan lagu gambang suling. Nenek memang suka sekali dengan lagu-lagu tradisional.
Aku sebenarnya kurang begitu suka dengan lagu semacam itu. Aku lebih suka musik modern. Namun, jika nenek yang menyanyikannya, maka aku akan terbawa dalam alunan lagu jawa semacam itu seperti aku mendengarkan thinking out loud-nya, Ed Sheeran.
Namun, kedatanganku ke sini bukan untuk meminta dinyanyikan nenek. Segera aku menemui nenek. Kuucapkan salam. Kukecup tangannya. Kuambil bendera merah putih dari dalam tas cangklong. Kuserahkan pada nenek.
Nenek tampak terkejut. Mata di balik kacamata tuanya begitu sendu. Mulutnya tertutup. Yang terjadi kemudian adalah hening. Hingga perlahan-lahan, sebutir air jatuh dari pelupuk mata nenek, membasahi pipi nenek yang keriput. Dipeluknya bendera itu. Seolah bendera itu adalah sesuatu yang dirindukan nenek sepanjang hidupnya. Semakin deras air mata terjatuh.
“Dia berjanji akan menikahiku setelah pulang dari perang tapi dia tidak pernah kembali. Aku bangga padanya yang dengan gagahnya membela tanah air.
Mengalirlah cerita nenek.
***
Besok paginya, aku menggali lubang di depan tiang bendera sekolah. Kupendam bendera merah putih itu.  Kemudian, aku berdoa untuk pemilik bendera merah putih itu. Semoga pengorbanannya untuk tanah air di terima Tuhan. Dan pahlawan yang tak pernah diketahui bangsa itu mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan. Amin.
Aku berjanji tidak akan menyia-nyiakan pengorbanannya. Aku akan lebih giat belajar supaya bisa berguna bagi bangsa tercinta ini.
***
Satu tahun kemudian.
Hari ini tanggal 10 November. Aku sudah lulus. Aku sengaja mengunjungi sekolah ini. Aku bertanya pada adik-adik kelas, kata mereka sudah tidak ada yang pernah melihat orang gila atau pemuda compang camping atau pahlawan itu, yang berdiri di depan tiang bendera sambil hormat setiap bulan November.

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...