Search This Blog

Monday, August 27, 2018

Cemas


"Semua jadi semakin buruk. Anjing! Bangsat! Tai!"
"Ada apa? Kenapa kau marah-marah?"
"Aku cemas. Sangat cemas."
"Apa yang kau cemaskan?"
"Masa depan."
"Maksudmu? Aku tidak tahu apa maksudmu."
"Masa depanku sungguh terlihat buruk. Apa yang kau lakukan jika kau tahu hal yang terburuk akan terjadi?"
"Membuatnya lebih baik."
"Membuatnya lebih baik? Yeah, tapi jika itu ada pilihan. Sementara aku tidak punya pilihan. Aku hanya punya satu pilihan. Satu jalan. Jalan yang mau tidak mau harus aku tempuh dan itu menuju masa depan yang sungguh buram."
"Selalu ada pilihan, Bung!"
"Omong kosong. Manusia selalu bisa memilih. Itu omong kosong paling busuk. Kata-kata yang selalu diucapkan para motivator itu tidak lebih dari ucapan bohong. Manusia selalu bisa memilih? Yeah, itu terjadi jika ada pilihan. Dan hidup ini tak selalu punya pilihan. Kau kadang hanya disuruh untuk menjalaninya."
"Pelan-pelan, nggak perlu nge-gass. Slow, Brow. Sekarang tarik napasmu dalam-dalam. Betul begitu. Kendalikan emosimu. Yap. Sekarang ceritakan padaku, kenapa kau begitu cemas dengan masa depanmu. Cemas dengan sesuatu yang bahkan belum terjadi."
"Aku pengangguran, salah satunya."
"Hah? Banyak pengangguran di era sekarang. Manusia semakin banyak. Cari pekerjaan susahnya minta ampun. Dan tenaga kerja asing semakin menggila di negeri ini. Tak usah secemas itu kau."
"Umurku sudah hampir kepala tiga dan aku pengangguran, bagaimana aku tidak secemas ini. Seharusnya di umur ini aku sudah kawin. Kawan-kawan seumuranku sudah pada kawin. Bahkan ada yang sudah punya tiga anak. Sementara aku bahkan pacar pun tak punya. Tak berani aku mendekati wanita sementara aku masih pengangguran!"
"Kalau begitu, mulai sekarang, kau harus cari wanita untuk kau jadikan calon istri."
"Kau tidak mendenga omonganku, ya!"
"Haduh, slow... Jangan nge-gas terus. Dengerin dulu. Kau tahu, kata banyak orang kalau seeorang sudah menikah rizki akan datang. Lebih besar dari pada jika seseorang itu sendiri."
"Aku menyangsikan hal itu."
"Apa kau tidak lihat beberapa orang yang tadinya tampak miskin menjadi lebih tampak kaya setelah menikah?"
"Yeah, dan beberapa yang lain rumah tangganya jadi rusuh dan harus berakhir tragis karena masalah ekonomi yang membelit, seperti seekor ular yang membelit mangsanya sampai mampus. Aku tidak mau ekonomi membelitku setelah menikah."
"Hei... Kenapa kau tidak cari kerja saja? Dengan begitu kau akan punya penghasilan dan tentu akan berani mendekati wanita yang kau impikan.”
“Kau pikir aku tidak mencobanya? Cari kerja sulitnya minta ampun jika kau hanya punya selembar ijazah SMA dan umurmu sudah lebih dari maksimal. Sekarang yang dicari oleh perusahaan mana pun maksimal yang berumur 25 tahun. Itu pun bagi yang sudah berumur segitu kemungkinan diterimanya hanya 10%. Aku sudah mencari kesana kemari tapi tidak mendapatkan pekerjaan. Buruk nian nasibku. Ungtungnya, aku masih bisa membeli kopi dan rokok dari santunan orang tuaku karena membantunya jualan di pasar. Aku tak akan bisa membayar bill di kafe untuk sebuah kencan dengan wanita jika berpendapatan segitu."
"Percayalah, mungkin sekarang kau berada di titik paling rendah. Tapi suatu hari kau akan berada di puncak. Kehidupan selalu berputar. Tak selamanya di bawah. Optimislah."
"Aku tidak bisa seoptimis itu jika melihat realita sekarang."
Percakapan-percakapan di dalam kepalaku itu semakin membuatku frustasi. Gairah hidup seolah menguap bersama kepulan asap kopi di atas meja yang belum aku sentuh sama sekali. Memikirkan semua kegetiran hidupku membuatku kehilangan semangat. Sempat aku berpikir untuk bunuh diri saja, tapi aku merasa takut, bukan takut mati tentu saja, melainkan takut akan proses mati itu sendiri. Sepertinya itu sakit sekali. Menyayat nadi kedengarannya sangat buruk, -kemasukan jarum suntik saja membuatku bergidik-. Atau menggantung leher, -itu juga sepertinya menyiksa-. Atau meminum racun tikus. Sepertinya cara-cara itu menyakitkan. Maka kubuang jauh-jauh pikiran untuk bunuh diri. Toh, nanti aku juga mati sendiri.
Kecemasanku akan masa depan yang buram tidak sesederhana percakapan dalam kepalaku tadi. Kecemasanku lebih kompleks. Lebih ada cerita di dalamnya. Lebih banyak lika-liku perjalanan yang berakhir putus asa. Semua yang aku usahakan sia-sia belaka. Seperti menanam padi namun tak pernah panen karena rusak di makan hama, atau bersapu banjir bandang.
Setelah dilanda pikiran yang kusut, kopi yang mulai dingin di atas meja terlihat menggiurkan, maka segera kuseruput. Namun baru sekali seruput aku langsung tersedak karena melihat pemandangan yang langsung membuat ubun-ubunku panas.
Terlihat pemandangan yang membuat dadaku sesak. Seorang wanita dengan senyum mengambang dibonceng motor oleh seorang lelaki yang kutahu seorang juragan kayu yang juga sama, sedang tersenyum riang. Romantis benar mereka dan itu membuatku mengumpet di bawah meja. Antara marah, cemburu, malu, perasaanku tak karuan, aku tak ingin mereka melihatku.
Dia, Eny Khumairah, perempuan yang seharusnya menjadi kekasihku. Dia adik temanku. Aku sering ke rumahnya untuk bermain dengan Bambang, kakaknya. Lambat laun benih-benih perasaan itu muncul. Kami sering mencuri pandang. Saling malu-malu. Saat itu aku masih bekerja sebagai  penjaga counter Hp.  
Pada akhirnya aku berani mengajak Eny jalan dengan uang yang sangat pas-pasan. Itu terjadi sebulan sekali setelah aku menerima gajiku. Tak ada kata cinta dalam hubungan kami dan aku rasa itu tak perlu, -setidaknya begitu menurutku-. Yang terpenting dan jelas adalah bahwa kami saling menyukai. Hingga waktu berlalu dan keadaan berubah.
"Kapan kau akan mengawiniku?" ucap Eny, meski itu sebuah kalimat pertanyaan tapi lebih terdengar sebagai kalimat pernyataan bertanda seru. Kawin? Sementara waktu itu aku sudah resmi menganggur. Itu pertanyaan yang simpel tapi jawabannya sangat sulit. Lebih sulit dari jawaban soal fisika kurasa.
Mau aku kasih makan apa dia? Batu? Kerikil? Pakai apa beli bedak dan eyeliner-nya? Daun? Akhirnya aku bilang padanya, "beri aku waktu."
"Berapa lama?"
"Setahun."
"Baiklah. Setahun."
Setahun? Omong kosong. Pada bulan kelima dia akhirnya memutuskan hubungan kami karena keadaanku bukannya membaik malah semakin buruk. Ternyata dia tidak benar-benar cinta padaku. Atau mungkin aku yang terlalu pengecut. Mungkin baginya menunggu sesuatu yang tidak pasti hanya akan membuat lelah. Hubungan kami kandas. Dia berpaling pada Obed, juragan kayu itu.
***
Bukannya aku tidak bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan, tapi aku benar-benas cemas memikirkan masa depanku. Sesuram mendung di musin penghujan. Segelap malam tanpa rembulan dan bintang. Semakin hari semakin kelam. Segalanya tampak semakin buruk dengan berbagai masalah yang datang.
Aku tidak tahu harus bagaimana. Orang-orang disekitarku juga tak banyak membantu. Aku seakan sendiri di dunia. Tidak ada teman yang benar-benar jadi teman. Kau tentu tahu maksudku. Mereka yang mengaku teman hanya ada ketika kita senang dan ketika kita dalam kesusahan mereka seolah menghilang. Seolah tidak pernah mengenal kita. Raib. Aku muak segalanya. Dunia ini seperti memusuhiku.
"Mungkin nasibku nanti akan seperti kakek itu. Tua dijalankan, meminta-minta, mengais-ngais apa pun yang bisa dimakan. Hidup keras tanpa bisa memilih apa yang aku ingin dan aku akan susah sekali mati. Kau tahu, seperti penjahat, orang-orang malang juga amat susah mati."
Kembali, percakapan-percakapan dalam pikiranku berceloteh.
"Masih saja kau cemas. Masa depan, tak seorang pun tahu. Yah, kecuali orang-orang terpilih macam nabi atau cenayang. Tapi kau cuma orang biasa. Kau pikir kau tahu apa yang akan terjadi? Bung, Kecemasan datang karena ketidaktahuan."
"Aku akan jadi pecundang."
"Menolak sesuatu yang tidak bisa ditolak lebih menyakitkan dari apapun. Sudahlah, jalani saja. Berpikirlah yang positif."
"Mungkin kau benar, ketakutanku kurang beralasan. Aku akan mencoba berpikir positif kepada takdir."
***
Jika tidak berhasil di kota sendiri, kenapa tida coba ke kota lain? Ide itu mendadak datang. Ya mungkin memang rizkiku tidak di kota ini. Merantau. Itulah jawabannya. Yah, aku harus merantau. Tapi bukannya aku tidak pernah merantau. Pernah dulu ke Kalimantan, juga Bali, tapi tak menghasilkan uang. Maksudku gajiku habis. Saat balik ke rumah sudah tak tersisa.
    Merantau juga bukan hanya soal mencari kerja namun juga inginku memulai sesuatu yang berbeda. Siapa tahu dengan merantau nasibku berubah? Siapa tahu. Maka segera kukemasi barang-barangku yang tidak seberapa ke dalam tas butut hingga penuh.
"Merantau seperti menebak angka dadu berapa yang akan keluar."
"Setidaknya masih tampak ada harapan."

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...