Search This Blog

Saturday, October 21, 2017

Pulang






Semua mendadak tampak agamis. Yang tadinya jarang ngaji, jadi rajin bawa Al-qur'an kemana-mana. Orang-orang kaya yang pelit jadi dermawan. Status di media sosial ramai mengutip pesan kebajikan dari ayat suci dan hadits Nabi. Masjid-masjid ramai memutar lantunan ayat suci Al-qur'an, suaranya membahana dari TOA. Tempat karaoke buka hanya sampai jam sepuluh malam. Dan yang paling kentara, iklan sirup berjaya di televisi.
Bulan Ramadan tiba. Pas di pertengaan bulan Mei. Pas di panas-panasnya musim kemarau.
            Euforia menyebar pada diri kaum muslim. Bulan penuh kebaikan. Bulah penuh ampunan. Bulan penuh berkah. Mari berbondong-bondong beribadah. Mari banyak beristigfar. Mari panen pahala.
Mungkin hanya aku yang menanggapi biasa saja datangnya bulan suci ini. Barangkali lantaran hatiku yang sudah beku. Beku karena banyaknya dosa yang telah aku perbuat. Tak terhitung maksiat yang pernah aku lakukan. Lima waktu juga jarang. Baca Al-qur'an apalagi. Puasa tak pernah.
Aku membayangkan setelah mati diriku dicincang malaikat di samudra api neraka. Tubuhku ditusuk besi panas. Kepalaku digantung. Kelaminku dibakar oleh api membara. Dikasih makan belatung busuk. Minum air mendidih. Ngeri! Tak ayal aku ingin bertaubat. Tapi tetap saja kujalankan maksiat. Iblis membawaku pada jalan yang sesat. Atau malah aku sendiri adalah iblis itu. Gelap. Kelam. Berdosa. Tersesat.
Aku adalah penikmat malam yang gemerlap. Pecandu tubuh wanita yang molek, indah dan menggairahkan. Hamba nafsu yang yang taat. Pemburu dosa yang bersemangat. Anak yang durhaka pada ibunya.
Akulah sang pendosa.
***
"Jadi, kamu pulang atau tidak?" tanya Mbak Erna di seberang sana.
"Entahlah. Mungkin tidak, Mbak," jawabku.
"Pulanglah. Sudah lama kamu tidak mengunjungi Ibumu. Mau sampai kapan kucing-kucingan dengan Ibu?"
"Iya, Mbak. Aku pikirkan lagi."
Klik. Aku menutup secara sepihak telepon dari Mbak Erna. Ini sudah kelima kali Mbak Erna menelpon dalam kurun waktu tiga hari. Aku tidak tahu dari mana ia mendapatkan nomor teleponku. Ia menanyakan apa aku akan pulang pada lebaran nanti. Lebih tepatnya, ia memintaku untuk pulang.
Aku tidak tahu. Sebenarnya aku malas untuk pulang. Di desa, aku seperti tak punya kehidupan. Aku tidak suka hidup di desa. Desa selalu mengingatkanku pada kenangan buruk itu. Aku suka hidup di hiruk pikuk kota. Dengan segala tawaran kemegahannya. Malamnya menggairahkan. Bir-bir di bar-bar menggiurkan. Wanita-wanita penggoda membuatku mampu melupakan rasa marah (walau pada akhirnya teringat lagi).
Sudah tiga tahun aku lari dari desa, tempat di mana aku menghabiskan masa kanak-kanak yang ceria. Sudah selama itu pula aku lari dari Ibu. Juga lari dari kenangan akan wanita itu. Wanita yang menjadi alasanku harus perang dingin dengan Ibu.
Aku masih ingat ketika pertama kali melihat sepasang alis yang indah. Seketika itu juga aku langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada sepasang alis milik wanita bernama Maharani Callista. Aku jatuh cinta dari alis, hingga turun ke hati. Menohok hingga ke dasarnya.
***
Ia sedang jongkok di antara gerombolan mahasiswa-mahasiswi baru. Pakai kemeja putih, celana hitam. Pakai topi kerucut mirip topi nenek sihir. Dia berkalung selembar kertas bertuliskan Maharani Callista.
Semua itu tidak menarik hingga kutemukan alis yang begitu indah. Alis asli. Bukan alis pakai pensil. Aku tertarik. Aku dekati. Diam-diam menyimpan alibi. Aku ketua ospek kali ini. Jaga intregitas. Intregitas? Aku tertawa.
Saat situasi, kondisi, aman terkendali.
"Kamu," sapaku. Sepertinya ia kaget.
"Iya, Kak. Ada apa, Kak?"
"Nama kamu Maharani?"
"Iya."
"Boleh pinjem bolpen, Rani?"
Sesaat ia memandangku aneh. Tahu ia aku beralibi.
"Ini. Besok balikin, bolpen kesayanganku." katanya sambil senyum. Aku senyum juga.
Besoknya aku balikin bolpen-nya. Besoknya lagi aku tanya rumahnya di mana (walau dari informasi aku sudah tahu). Besoknya lagi aku antar ia pulang. Besoknya lagi kita ngobrol di perpustakaan. Besoknya lagi kita dinner. Besoknya lagi kita nonton bioskop. Besoknya lagi bilang rindu. Besoknya lagi bilang sayang. Besoknya lagi jadian.
Sehari, seminggu, sebulan, setahun, dua tahun, aku semakin sayang. Ia pun begitu.
"Kapan kamu akan memperkenalkan aku pada keluargamu?" kata Rani suatu ketika.
Aku terdiam cukup lama. Aku mulai gelisah. Kegelisahan yamg sebenarnya sudah aku simpan cukup lama
Aku terdiam memikirkan banyak hal. Tentang ketakutanku selama ini. Apa aku siap menerima kabar paling buruk? Kabar jika keluargaku tak setuju atas hubunganku dengan Rani karena tak seiman. Aku sangat tahu bagaimana lingkungan keluargaku. Sangat religius. Sangat menjunjung hukum-hukum agama islam. Apakah ibu akan setuju aku meneruskan hubunganku dengan Rani hingga ke jenjang pernikahan?
Tapi, demi cintaku pada Rani, aku pun mengajakanya menemui keluargaku. Menemui ibu.
Ibu, ayah, Mbak Erna serta suaminya menyambut kedatanganku dan Rani dengan ramah. Hingga aku memperkenalkan bahwa Rani adalah pacarku. Bahwa ia seorang kristiani. Bahwa aku serius dengan hubungan kami.
Ibu hanya diam lalu pergi ke kamarnya dengan alasan tidak enak badan.
Ayah juga diam. Untung ada Mbak Erna dan suaminya yang bisa mencairkan suasana.
"Aku tahu Ibu dan Ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita," kata Rani di jalan saat aku mengantarkannya pulang.
"Tenanglah. Aku yakin tidak begitu. Aku hanya perlu bicara dengan mereka," kataku menenangkan Rani. Walaupun aku sendiri tahu bahwa Rani benar.
"Aku tidak mau melanjutkan hubungan ini jika tidak mendapat restu. Hubungi aku jika sudah mendapatkan kepastiannya, Syif. Sebelum itu jangan menemuiku," kata Rani meng-ultimatum.
***
"Ibu tidak setuju, Nak," kata ibu jelas.
"Tapi Asyif mencintainya, Bu."
"Carilah wanita yang seiman denganmu. Yang baik agamanya. Seperti Mafa."
"Aku tidak mencintai Mafa, Bu. Meskipun ia wanita baik-baik. Anak kiai pula. Aku cuma cinta sama Rani."
Ibu menggeleng tegas, "Ibu tidak merestui."
Aku meneteskan air mata. "Tolonglah, Bu. Ini permintaanku satu-satunya."
Ibu tetap teguh menggeleng. "Mintalah yang lain. Mobil? Uang? Rumah ini serta perkebunan itu milikmu. Ibu kasih semuanya padamu. Tapi tidak untuk yang satu itu. Ibu tidak ridho."
"Asyif tidak inginkan itu semua. Asyif hanya ingin Rani."
Ibu tetap menggeleng. Lalu, ia meninggalkanku yang masih merengek seperti dulu sewaktu kecil saat minta es krim ketika badanku sedang demam. Bagi ibu, sekali tidak tetap tidak. Ia wanita yang teguh pada pendirian.
"Aku akan tetap menikahi Rani meskipun ibu tidak merestui." teriakku.
Ibu hanya diam di kamarnya. Aku segera pergi dari rumah. Aku pergi ke rumah Rani. Aku menemuinya. Aku katakan aku akan segera menikahinya.
"Jadi, Ibumu setuju?" tanya Rani penuh harap.
Aku terdiam.
"Kita akan tetap menikah." kataku, meyakinkan kekasihku itu.
Rani terpaku di tempatnya. Mukanya sedih.
"Tidak, Syif. Kita tidak akan pernah menikah jika tidak mendapat restu."
"Jika begitu kita tidak akan pernah menikah. Aku tahu bagaimana keras kepalanya Ibuku. Aku ingin menikahimu. Aku mencintaimu, Rani!""
"Aku juga mencintaimu."
"Lalu mengapa kamu tidak mau!"
Tangis Rani pecah. Air matanya membanjiri pipi. "Menikah tidak hanya menikahi satu individu saja, Asyif. Menikah juga berarti menikahi keluarga, lingkungan, serta kebiasan-kebiasan pasangannya. Jika syarat menikah denganmu adalah dengan pindah keyakinan, maaf aku tidak bisa."
Rani menciumku untuk yang terakhir kali lalu pergi meninggalkanku yang terdiam bagai batu. Aku memanggil-manggil namanya tapi ia tidak pernah menoleh.
Sejak saat itu aku benci dengan keadaan. Aku benci dengan Ibu. Aku benci dengan Rani. Aku benci dengan takdir. Aku benci dengan diriku sendiri.
Aku memutuskan pergi dari rumah. Aku pergi ke kota. Aku bekerja, mendapatkan uang, foya-foya, membalas sakit hatiku dengan menikmati tubuh wanita-wanita yang menggoda.
Aku sudah lupa caranya shalat. Aku lupa bagaimana membaca huruf hijaiyyah. Aku lupa bagaima lafal doa qunut. Aku lupa segalanya tentang beribadah. Aku berusaha melupakan Tuhan. Aku tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang.
***
Rumah ini tidak banyak berubah. Cat temboknya masih berwarna putih. Pohon rambutan masih berdiri nyaman di pekarangan. Tempat pembakaran sampah masih ada. Bunga-bunga masih menghiasi halamaan (dari dulu Ibu hobi memelihara bunga). Hanya saja, sekarang rumah ini tampak sepi.
Aku kembali bimbang. Masuk atau tidak? Atau aku kembali saja ke kota? Lama aku tidak bertemu ibu. Aku tidak tahu harus bagaimana nanti jika aku bertemu ibu. Mendadak aku diliputi perasaan gelisah.
Sejak Mbak Erna tak henti menelpon, memintaku untuk pulang, aku selalu dihantui perasaan gelisah. Apalagi ketika ia bilang Ibu sebenarnya sudah lama sakit-sakitan (walau aku curiga Mbak Erna berbohong supaya aku mau pulang). Rasa bersalah pada Ibu membuncah. Aku tahu jika aku anak yang durhaka. Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku rindu pada Ibu. Aku ingat semua tentang Ibu. Bagaimana dulu ia merawatku, menjagaku dan memarahiku. Aku bahkan ingat bagaimana rasa masakannya.
Namun, egoku masih besar. Aku terlalu malu mengakui jika aku rindu padanya. Tiga tahun aku lari dari rumah. Tiga tahun aku mencari pelampiasan sakit hati. Selama itu aku tidak bertemu dengan Ibu. Selama itu aku perang dingin dengan Ibu.
Lalu, pada akhirnya aku berada di sini. Di depan rumah yang dulunya sangat familiar, sekarang jadi begitu asing, dengan perasaan tak menentu.
Seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh. Mbak Erna senyum. Aku tidak sadar kapan dia datang. Tiba-tiba saja ia sudah ada.
"Masuklah. Ibu merindukanmu."
"Entahlah, Mbak. Ibu pasti marah padaku. Tiga tahun tak menemuinya. Ia pasti menganggapku anak durhaka. Dan memang seperti itu aku."
"Ibu tidak pernah marah padamu. Ibu tidak pernah bilang kamu anak durhaka. Ibu memang tidak secara langsung menanyakan tentang dirimu. Tapi sering ketika tidur ia mengingau memanggil-manggil namamu. Sering aku juga mendengar ibu berdoa untukmu sehabis shalat. Doanya baik-baik."
Aku terharu mendengar penuturan Mbak Erna. Aku jadi semakin merasa bersalah pada Ibu.
"Akhir-akhir ini Ibu mulai sakit-sakitan. Temuilah. Selagi masih ada waktu. Jika sudah tidak ada kesempatan, kamu pasti akan menyesal."
Aku mengangguk gamang.
"Kamu ingin buka puasa dengan apa? Biar aku masakkan. Kamu masih suka ikan bakar sambal trasi. Masakanku tak kalah enak sama masakan Ibu, kok. Ibu sendiri mewariskan rahasia menunya padaku. Kadang aku mendengar ia bergumam bahwa Asyif sangat menyukai sambal trasi bikinannya."
"Aku tidak puasa, Mbak. Tidak pernah sejak lari dari rumah."
"Yaudah, tak apa. Besok puasalah. Tinggal sehari. Besoknya lagi lebaran. Aku akan tetap masak buat buka nanti. Sekarang, ayo masuk. Temui Ibu."
Mbak Erna menggeret tanganku, membawaku memasuki rumah. Jantungku berdetak tak karuan. Langkah demi langkah terasa begitu lama.
Ibu, aku pulang.
Ibu, akankah engkau mengampuni kedurhakaan anakmu ini?
Tanpa sadar air mataku menetes.
***
Sejauh apa pun aku melangkah
Aku akan kembali pada-Mu
Sejauh apa pun aku pergi
Kau akan tetap kembali memelukku

Penulis,
Havidz Antonio

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...