Terdengar
suara serentak. "Assalamualaikum."Bangkitlah aku dari menonton Tv. Di
teras rumah, sekelompok orang berseragam jas almamater sebuah universitas
sedang berdiri. Mereka terdiri dari lima gadis yang aduhai, manis-manis sekali.
Mereka semua memakai jilbab berwarna hitam.
"Waalaikumsalam,"
jawabku seraya menuju pintu. Saat kulihat senyuman-senyuman manis itu di teras
rumah, aku merasa kikuk. Aku baru sadar jika aku hanya memakai sarung. Pakaian
kebanggaanku saat santai di rumah.
"Apa ini rumah Haji Hartono?" tanya salah satu di antara
mereka. Dia tersenyum. Anggun sekali. Sesaat aku bergeming di tempat aku
berdiri. Wajah gadis itu bulat, baby face. Matanya sipit dengan bulu
mata yang panjang lentik. Bibirnya tipis nan merah. Semerah cerry. Manis
sekali, sungguh.
"Halo Mas?"
Aku tersadar. Pipiku bersemu merah menahan malu. Gadis berwajah baby
face itu masih tersenyum. Membuat paru-paruku kembang-kempis.
"Iya, ini rumah Haji Hartono. Ada apa ya, Mbak?" tanyaku.
"Kami dari Unisnu (Universitas Nahdlotul Ulama’), Mas. Kemarin sudah
bicara sama beliau Bapak Hartono untuk KKN di desa ini. Beberapa dari kami ditempatkan
di rumah warga. Kebetulan kami berlima ditempatkan di rumah beliau," jelas
gadis berwajah baby face itu masih dengan senyum mengembang.
"Oooo," aku ber O panjang. Pintar sekali Bapak memilih. Gadis-gadis
cantik yang tersenyum di teras rumah ini akan menginap di rumahku. Bapak lupa
apa kalau ia punya joko yang masih
jomblo di usia mendekati pantas untuk kawin. Bagaimana kalau aku khilaf
menggoda mereka coba?
"Silahkan masuk Mbak-mbak. Bapaknya sedang ke kebun. Paling bentar
lagi pulang," kataku mempersilahkan tamu-tamu cantikku.
"Terima kasih, Mas," ucap mereka. Maka mereka duduk di sofa.
Aku menawarkan diri membuatkan minum.
"Pengen minum apa, Mbak-mbak?"
“Nggak usah repot-repot, Mas," ucap si baby face. Dari tadi dia yang paling vocal. Mungkin dia ketuanya.
“Nggak repot kok. Sebentar saya buatkankan minum dulu," kataku
sesopan mungkin.
"Nggak usah repot-repot Mas, beneran."
Aku hanya tersenyum sembari beranjak ke dapur. Bapak sedang pergi ke
kebun. Ibu sedang ada pengajian rutinan di musala. Otomatis aku di rumah
sendirian. Aku bukannya anak semata wayang. Hanya saja, kakak-kakakku sudah
menikah semua dan mempunyai rumah sendiri. Rumah ini hanya dihuni Bapak, Ibu
dan aku. Jadi tampak sepi sekali.
Di dapur, aku mengambil teko lalu kumasuki air panas dari dispenser.
Kumasukan juga teh gantung. Sambil menunggu teh itu menyebar ke seluruh volume air, aku menelpon bapak.
"Assalamualaikum. Ini Pak ada tamu, anak-anak KKN dari Unisnu. Iya, sudah
aku persilahkan duduk. Iya. Assalamualaikum." Klik.
---0---
Semenjak Mas Purnomo dan Mbak Erna punya rumah sendiri, otomatis dua
kamar peninggalan mereka kosong. Gadis-gadis KKN itu menempati kamar-kamar
kosong itu. Tiga gadis di kamar bekas Mas Purnono, gadis baby face dan satu temannya menempati bekas kamar Mbak Erna.
Aku tahu nama gadis berwajah imut itu. Nadia namanya. Ia berperan sebagai
ketua dalam kelompoknya. Senyumnya itu lho yang selalu membuatku
terbayang-bayang. Sejak melihat senyum pertamanya di teras rumah, aku selalu
kepikiran terus sama dia.
Nadia dan gadis-gadis KKN yang lain mempunyai jadwal yang padat. Biasanya
jam delapan pagi mereka sudah pergi. Lalu pulang jam empat sore. Habis magrib
mereka pergi lagi. Jam sembilan malam balik. Aku pun mafhum karena aku pernah
mengalaminya saat KKN di desa terpencil di kota Tegal.
Desa tempat tinggalku memang bukan desa elit, tapi juga bukan desa yang
ketinggalan zaman. Anak-anak desaku ini juga sudah banyak yang kuliah di kota
atau pun luar kota. Mungkin seringnya desa ini di jadikan tempat KKN karena
letaknya yang jauh dari pusat kota. Menempuhnya, harus melewati hutan pohon
sono (Angsono/sonokembang: Pterocarpus indicus) yang lebat, sawah-sawah yang
menghampar hijau royo-royo kalau musim penghujan dan jalan berkerikil yang
kalau dilewati mobil berasa ada manis-manisnya gitu gelombang.
---0---
"Gus, bangun." Suara bapak terdengar dari balik pintu kamarku. Perlahan,
aku membuka mata. Menguap.
Hari ini Minggu. Aku yang bekerja di balai desa tentu dapat jatah libur.
Karena hari ini tidak ada acara apa-apa, setelah nyuci motor aku tidur siang. Baru setengah jam, suara bapak
membangunkanku.
"Ada apa Pak?" kataku setelah membuka pintu kamar.
"Nak Nadia dapat kabar kalau adiknya lagi sakit. Kamu bisa nganterin
dia pulang? Tadinya dia ngeyel mau naik angkot. Bapak cegah. Kalau naik angkot
lama nyampainya," kata bapak.
Dalam hati aku melonjak girang, Alhamdulillah
banget.
Memang akses jalan desaku dengan pusat kota agak sulit. Apalagi sudah jam
tiga sore begini, angkot banyak yang malas narik. Sementara anak-anak KKN ini
datangnya pakai mobil kampus yang otomatis meninggalkan mereka di sini sampai
waktu KKN berakhir. Atau jika ada keperluan lain.
"Iya pak," kataku dengan wajah datar biar bapak tidak curiga.
"Ya udah, kamu siap-siap. Orangnya udah di sofa."
Aku mengangguk.
Puncuk di cinta, ulam tiba.
---0---
"Maaf ya Mas Bagus, aku jadi ngerepotin gini," kata Nadia dengan
wajah menyesal.
"Udah, nggakpapa. Bener apa kata bapak, jam segini angkot susah.
Bisa-bisa nyampai rumahmu udah kemalaman," ujarku dengan suara yang ku
macho-machokan. Kemudian aku menyerahkan helm ke Nadia. Lalu aku mulai
menstater motorku. Kuda besiku meraung-raung, siap mengantarkan tuan putri.
Sambil mengendalikan motor melaju, aku memberanikan memulai percakapan-percakapan
kecil sekadar basa-basi. Tak ingin aku biarkan perempuan semanis Nadia jenuh
selama perjalan. Aku menanyakan apa pun yang ingin kuketahui darinya. Ia, walau
sebenarnya sedang tidak ingin bicara karena mengkhawatirkan kondisi adiknya di
rumah sakit, menanggapiku dengan baik.
"Udah punya pacar nggak nih?" dengan nada bercanda aku
bertanya. Padahal aku memang sangat ingin tahu. Siapa tahu masih ada lowongan. Hehe.
Namun, pada bagian ini Nadia tidak langsung menjawab. Ada jeda panjang
yang membuatku tak enak hati jika ternyata aku menyinggung di ranah paling
pribadinya. Mungkin petanyaan 'siapa pacarmu?' bagiku hal yang wajar tapi bagi
dia, tidak. Bagiku, pertanyaan itu lebih sangat wajar daripada pertanyaan
'kapan kawin?'. Ingin langsung kuajak minum kopi (kopi ala Jesicca) bagi yang
bertanya itu padaku.
"Kalau nggak enak jawabnya Nggak usah jawab, Nad," ujarku di
antara desing angin saat melewati pohon-pohon sono.
"Nggakpapa kok, Mas. Cuma aku Nggak ngerti hubunganku sama dia masih
bisa disebut pacar atau nggak," ujar Nadia. Dari caranya ngomong aku mulai
paham kalau ia tak ingin membahas ini.
"Udaranya sejuk ya."
Ia mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja aku bisa melihat senyumnya
dari kaca spion. Senyum yang manis sekali. Namun senyumnya kali ini tidak
semanis dengan senyum yang pertama kali kulihat di teras rumah. Ada seberkas
cerita pahit di senyumnya kali ini.
Akhirnya perjalanan yang kami tempuh selama hampir dua jam ini. Sampai.
Rumah Nadia megah dengan taman yang luas. Nadia mengajakku masuk. Aku bilang,
aku akan langsung pulang saja. Ia merajuk supaya aku singgah sebentar sekadar
minum kopi. Tak enak hati, aku meng-iya-kan.
Di rumah hanya ada seorang pembantu wanita yang sudah paruh baya. Ia mempersilahkanku
dengan baik. Ia membawakan kopi dan beberapa cemilan. Sementara papa-mama Nadia
ada di rumah sakit menemani adiknya.
"Apa sekalian aku anterin ke rumah sakit, Nad?".
"Nggak usah Mas. Aku udah ngrepotin kamu banget. Nanti kamu
pulangnya kemaleman malah aku tambah nggak enak."
"Nggakpapa. Aku sama sekali nggak ngerasa kerepotan."
Nadia menggeleng. Aku mengalah. Setelah minum dan makan secukupnya aku
mohon diri untuk pulang. Nadia beberapa kali bilang terima kasih. Hatiku semakin
jedak-jeduk dibuatnya. Ia gadis yang bukan hanya manis, tapi ia juga baik. Cocok
sekali di jadikan istri.
Aku pulang dengan hati gembira. Berharaplah aku, semoga Nadia cepat
kembali ke rumahku meneruskan KKN-nya. Itu berarti setiap hari aku bisa melihat
senyumnya. Tapi ada satu yang mengganjal gembiranya hatiku ini. Tentang
pertanyaan siapa pacarmu itu. Jawabannya masih menggantung. Hatiku pun ikut
menggantung.
Beberapa hari ke
depan tidurku tak nyenyak. Menggantung hatiku, mengambang rasaku.
Melayang-layang sebuah senyum indah yang aku lihat di teras rumah. Duh, Nadia,
kali ini engkau menghantui detik demi detik hidupku.
---0---
"Mas, wajar nggak kalau cewek minta sebuah kepastian sama
cowoknya?" curhat Nadia suatu waktu di sore yang adem saat aku lagi ngasih makan ayam-ayam milik ibu di
belakang rumah.
Ehem, pada tahap ini aku dan Nadia memang sudah lebih
dekat. Semenjak ia kembali dari rumahnya entah kenapa dia berusaha mencuri
waktu untuk sekadar nyamperin aku.
Aku pun melakukan hal yang sama. Sepertinya kita ada koneksi. Entah hanya
perasaanku saja (Ngarep).
"Sangat wajarlah. Kenapa emang Nad?"
Ia merunduk seolah menimbang kata-kata yang ingin ia lontarkan.
"Cowokku, Mas. Nggak tahu sebenarnya ia serius atau nggak. Saat aku tanya apakah
hubungan kita mau di bawa serius? ia seolah menghindar. Aku Nggak yakin sama
dia, Mas."
Aku diam sejenak. "Kalau nggak yakin kenapa diteruskan?"
"Banyak pertimbangan, Mas. Hubungan kami yang lama. Keluarga yang
udah dekat. Semua itu nggak bisa di putuskan begitu saja."
"Lha kamu cinta nggak?" pertanyaan ini meluncur begitu saja.
Demi mendengar jawaban itu aku rela menunggu lama. Nadia dengan wajah
gelisah akhirnya menjawab. "Entahlah, Mas. Sekarang aku nggak tahu. Semua
berbeda. Nggak kayak dulu."
---0---
Sekarang aku punya pekerjaan tambahan baru : melototin Hp. Bukan, sama
sekali bukan melihat sesuatu yang 'anu' di situs-situs terlarang. Sama sekali
bukan!
Aku rajin melototin Hp karena menunggu lanjutan curhatan Nadia.
Yap, sekarang hubunganku dan Nadia sangat dengat bahkan
sampai pada tahap ia mulai terbuka menceritakan masalahnya (curhat). Dari
pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi, besar kemungkinan perempuan mau
curhat dengan seorang lelaki karena ia nyaman. Apalagi curhatnya tentang
ricuhnya hubungannya dengan sang pacar. Kalau menurut kisah-kisah Ftv, biasanya
akhir dari fenomena ini adalah putusnya hubungan si perempuan lalu beralih suka
pada teman curhat lelakinya itu. (Haha, aku tertawa jahat. Maafkan aku Ya
Allah)
"Makasih, Mas Bagus udah mau jadi pendengar ocehanku. Aku tidur dulu,
Mas. ngantuk sekali. Good nigt Mas,"
ucap Nadia dalam pesan BBM-nya.
Tersenyum-senyumlah aku membacanya. Ini seperti ABG saja. Padahal, aku
dan Nadia sekarang dalam satu atap rumah tapi sudah seperti orang lagi LDR-an
saja. "Nigth to, Nad. Nice dream." Aku mengetiknya sambil
senyam-senyum.
Hari berganti, KKN Nadia pun berakhir. Rasanya sedih akan berpisah
dengannya. Dan seperti ritual KKN pada umumnya, anak-anak dari Unisnu
mengadakan acara perpisahan. Demi itu Ibu dengan senang hati memotong dua
ayamnya, meskipun anak-anak KKN bersih keras membeli semua bahan makanan. Lalu
makan-makanlah kita di rumah. Anak-anak KKN memberi bingkisan hadiah pada Bapak
dan Ibu. Khusus untukku, Nadia memberi sesuatu secara diam-diam.
Sebuah buku berjudul : Sayap-sayap yang Patah (Kumpulan Puisi) oleh Nadia
Asmiranda.
Aku baru tahu jika Nadia seorang penulis. Selama ini ia tak pernah
bercerita. Saat kubaca buku karangannya kala ia sudah berada jauh dari
tempatku, aku menemukan kata-kata puitis nan syahdu. Salah satu yang paling kusuka
: apalah arti memiliki, jika kami sendiri bukanlah milik kami? *
---0---
Sesungguhnya bukannya aku lelaki bodoh yang tidak mau berjuang. Hanya
saja, tak mau aku menjadi lelaki yang tak tahu diri. Saat aku menceritakan
masalah ini pada sahabat karibku tentang apa yang aku rasakan, beginilah
katanya. "Bodoh lo, Nyet (Monyet). Harusnya lo usaha lebih keras biar dia
berpaling dari cowoknya. Cewek dalam keadaan begitu hatinya kayak perahu kena
badai. Terombang-ambing! Pinter-pinternya lo deh gimana ngambil hati dia".
Mendengar ucapan nyelekit itu
dari orang yang pernah berjuang bareng di perantauan saat menjadi mahasiswa,
aku hanya mendesah dan menyampaikan alasanku.
"Aku nggak mau kayak dia, Gor (Gorilla)," kataku teringat masa
lalu.
"Serah lo dah. Kalau kayak gitu, jomblo trus lo, Nyet. Nggak mau
cepet nyusul gue, Nyet? Punya bini enak lho," ucap Gorrilla di seberang
sana. Kita berkomunilasi lewat aplikasi Whats Up. Gorilla tinggal di Jogjakarta
sama istrinya. Mereka sudah punya satu anak berumur lima tahun.
Usai ngobrol bentar dengan Gorilla aku teringat masa lalu. Masa lalu
itulah yang menjadikan alasan mengapa aku tak seagresif lelaki lain jika sudah
menemukan perempuan yang pas di hati. Tentu saja maksdku perempuan yang pas di
hati itu sudah punya pacar.
Dulu waktu kuliah di Jogja aku punya pacar. Hubungan kami lancar-lancar
saja bahkan sampai dua tahun. Lalu konflik-konflik kecil mulai terjadi. Putus
hubungan kami. Lalu nyambung lagi. Putus lagi. Nyambung lagi. Lalu klimaksnya
benar-benar putus. Seminggu kemudiam aku dengar dia sudah menggandeng pacar
baru. Dan pacar barunya itu adalah salah satu temanku paling dekat. Bahkan aku
sudah menganggapnya sahabat karib. Diam-diam mereka intens berkomunikasi. Teman
yang sudah kuanggap sahabat itu ternyata menikungku dari belakang. Benar-benar
aku tnggak nyangka. Ftv banget kan?
Jika Nadia masih punya pacar biarlah ia selesaikan urusannya dulu. Aku
tak mau menjadi orang ketiga yang merusak hubungan. Karena dulu aku pernah
mengalaminya. Sungguh sakit rasanya. Maka tak baik jika aku berbuat hal buruk
seperti itu, menyakiti hati orang lain.
Jika memang urusan Nadia sudah selesai dengan pacarnya itu, aku pasti
dengan semangat akan berjuang mendapatkan hatinya.
---0---
Suatu sore yang adem saat memberi makan ayam Ibu (sekarang sudah jadi
ritual kala sore) Hp-ku berbunyi. Ada telepon masuk. Dari Nadia. Aku
mengangkatnya.
"Assalamualaikum Mas," ujar Nadia. Suara serak.
"Waalaikumsalam, Nad"
"Ganggu nggak, Mas?"
"Nggak. Kamu sakit, Nad? Suaramu serak kayak habis nangis?"
tanyaku khawatir.
"...."
"Halo? Nadia?"
"Aku putus sama Heri Mas" ucap Nadia terbata di ujung sana.
Aku diam. Aku senyum. Senyum diam-diam.
Aku putus sama Heri, satu kalimat yang cukup untuk menjelaskan segalanya.
Termasuk, sudah saatnya kamu berjuang, Bagus. Saatnya kamu mengejar cintamu.
Cinta butuh perjuangan. Demi senyum manis yang pertama kali kamu lihat di teras
rumah, Gus.
* Tere Liye (Rindu)
Penulis,
Havidz Antonio
No comments:
Post a Comment