Bagi
Luna, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding bisa melihat Lutfi.
Senyumnya yang manis selalu membuat hati Luna bergetar. Bagai embun pagi yang
menyejukkan jiwa. Laksana senja yang
menghangatkan rasa. Jika dalam sehari Luna tidak melihat sosok cowok penggemar
MU itu, seharian ia akan gelisah. Sosok itu selalu menari-nari dalam benaknya.
Pagi, siang, malam hanya terisi nama Lutfi. Seperti oksigen yang setiap saat dihirup.
Seperti itulah Luna mencintai Lutfi.
Cinta? Cinta itu apa?
Pernah
bertanya Luna pada sahabatnya, Keyla, tentang hal itu.
Ketika
itu mereka masih kelas satu SMA. Luna, gadis cantik berkulit putih dan bermata
sipit dengan semangat memasuki kelasnya yang berada paling ujung koridor.
Langkahnya ringan seperti biasa. Sambil melangkah ia bernyanyi pelan,
BUUUKK!!!.
Saat
sedang asik begitu, sesosok badan menabraknya. Luna terhuyun, terjatuh dan
mengeluh kesakitan. Ia sudah siap-siap mengomel.
“Maaf
maaf,” kata cowok yang menabrak Luna. Cowok dengan tubuh kurus, berkulit
cokelat dan berwajah tampan.
“Hati-hati
dong!” omel Luna. Cowok itu hanya nyengir lalu berlari meninggalkan Luna
secepat yang ia bisa.
Luna
memandang cowok itu menjauh sambil ngedumel. Itu pertemuan pertama Luna dengan
Lutfi. Lalu dua, tiga, empat kali pertemuan-pertemuan itu datang tak
tersengaja. Seperti hujan yang kadang turun tak terduga. Luna mulai merasa ada
yang berbeda setiap kali ia melihat Lutfi. Entah dorongan itu datang dari mana,
Luna mulai mencari informasi tentang Lutfi.
Muhammad
Lutfi. Tinggal di perumahan Permai. Anak kedua dari tiga bersaudara. Penggila Manchester United. Hobi sepak bola. Suka
tidur di kelas. Suka bolos. Nilai akademik biasa-biasa saja. Cowok super cuek
meski banyak yang naksir karena memang wajahnya yang tampan dan manis. Dan
sederet informasi lainnya yang berhasil Luna kumpulkan selama tiga bulan secara
diam-diam.
Sadarlah
Luna bahwa telah jatuh cinta. Cinta pertamanya.
“Key,
apa itu cinta?” tanya Luna pada Keyla, sahabatnya, teman sebangkunya, saat mereka
menikmati waktu istirahat di bawah pohon beringin.
Untuk
anak yang baru melewatkan satu semester di kelas satu SMA, membahas cinta
ternyata tidak serumit membahas rumus aljabar.
“Cinta
itu aku sayang kamu, kamu sayang aku. Kalau aku sayang kamu, kamu sayang dia
itu namanya bukan cinta. Tapi derita. Hehehe…” kata Keyla.
“Masak
kayak gitu sih,” ucap Luna tak puas.
“Gak
tahu deh. Lagian kita kan masih kecil. Kata orang, seumuran kita kalau jatuh
cinta namanya cinta monyet.”
“Kamu
monyetnya.” Luna terkikik. Keyla ngejitak kepalanya.
Apa itu cinta? Luna masih penasaran tentang itu. Apakah
perasaannya pada Lutfi bisa disebut cinta? Belum sempat Luna menemukan jawaban
itu, waktu berlalu begitu saja. Hingga dia lulus SMA. Dan perasaannya pada
Lutfi semakin membuncah.
Dalam
diam Luna mengamati Lutfi. Saat ia kelas satu SMA dan Lutfi kelas dua, Luna
selalu mencari apa saja yang berhubungan dengan Lutfi. Tentang tipe cewek yang
Lutfi suka. Luna akan melakukannya agar bisa menjadi tipe cewek itu.
Merebonding rambutnya, karena menurut informasi Lutfi suka cewek yang berambut
lurus. Belajar berhumor, karena Lutfi suka nonton Opera Van Java dan membaca
webtoon humor macam Tahi Lalat. Menonton acara yang berhubungan dengan sepak
bola, karena Lutfi maniak bola.
Saat
kelas dua SMA dan Lutfi kelas tiga, Luna mulai mencari-cari perhatian Lutfi. Ia
akan sering mondar-mandir di depan kelas Lutfi. Menunggu Lutfi pulang sekolah
dan akan menguntit di belakangnya sampai di depan gerbang perumahan. Luna akan
selalu nge-like status yang di buat
Lutfi di facebook. Kadangkala ikut komentar. Luna akan duduk paling depan untuk
menonton setiap pertandingan sepak bola yang Lutfi ikuti. Luna akan buru-buru
nge-save foto Lutfi jika update di
Instagram. Memori HP Luna penuh dengan foto Lutfi berbagai pose. Setiap malam
sebelum tidur Luna selalu menatap foto itu satu persatu.
Meet tidur, Lutfi...
Saat
kelas tiga dan Lutfi masuk kuliah, tidak banyak yang bisa Luna lakukan. Luna
hanya bisa mengamati Lutfi di sosial media. Kadangkala ia mengamati rumah Lutfi
dari kejauhan, berjam-jam, hanya untuk bisa melihat Lutfi sekilas. Luna juga
belajar keras supaya bisa lulus mendapatkan nilai bagus hingga bisa kuliah di
tempat yang sama dengan Lutfi.
Luna
tidak tahu yang ia lakukan ini cinta atau obsesi. Yang ia tahu, ia bahagia jika
bisa melihat Lutfi. Itu sudah cukup baginya.
--0--
Luna
pun berdoa. Doa yang sama setiap malamnya. Luna yakin Tuhan tidak akan bosan.
Malah semakin tahu bahwa ia benar-benar tulus dengan doa itu. Ia ingin bisa
bersama Lutfi.
Dengan
kerja keras, akhirnya Luna bisa satu Universitas dengan Lutfi.
Lutfi,
semakin bertambah umur, bertambah pula ketampanannya. Tubuhnya tak lagi kurus.
Tubuhnya mulai terpahat kokoh hasil nge-gym
rutin. Luna ketar-ketir. Semakin banyak yang naksir Lutfi. Semakin sedikit
kesempatan doanya bisa terkabul. Lutfi bagai bulan yang sulit ia gapai.
Suatu
hari Luna memberanikan diri untuk menyapa Lutfi. Seluruh keberanian ia
kerahkan. Semalaman ia berdoa.
“Kak
Lutfi,” kata Luna hati-hati.
“Ya.”
Lutfi mendongak. Dada Luna terasa mau meledak.
Seluruh
naskah percakapan yang sudah Luna hafalkan mendadak musnah.
“Ada
apa ya?” kata Lutfi memandang aneh Luna yang sekarang malah kayak orang
mendadak kena stroke.
Luna
tidak tahu harus bagaimana. Ia ingin kabur saja. Tapi, ide itu muncul begitu
saja di benak Luna.
“Boleh
saya wawancara kakak?”
Lutfi
memandang Luna penuh tanda tanya. Semakin membuat Luna ingin kejang-kejang.
“Saya
Luna dari jurusan Sastra Indonesia. Saya sedang mengerjakan riset untuk essai
saya, Kak. Emm…. Tentang mahasiswa-mahasiswa populer dan berpengaruh di
kampus.”
Mendengar
penjelasan Luna, meledak tawa Lutfi.
“Aku
pupuler dan berpengaruh? Hahaha… ada-ada saja.”
Luna
menghela nafas lega, ia terselamatkan. Selanghkah lebih maju.
--0--
Kedekatan
Luna dan Lutfi perlahan terkoneksi. Luna berusaha keras terlihat biasa di depan
Lutfi. Jika menjadi teman bisa membuatnya selalu dekat dengan Lutfi, ia ingin
menjadi teman terbaik Lutfi. Jika dengan menyatakan perasaannya membuat Lutfi
menjauh, Luna memilih diam. Ia tak mau mengambil resiko.
Namun,
bagai godam Zeus menghantam, hati Luna porak-poranda. Suatu sore saat ia sedang
akan menonton pertandingan futsal yang Lutfi ikuti, kenyataan pahit itu
tertelan. Lutfi mengandeng pacarnya. Namanya Anita.
Luna
terjatuh, tak kuat menahan tubuhnya yang syok. Orang-orang mengerubunginya.
“Kamu
baik-baik saja?” tanya Lutfi khawatir. Di sampingnya, Anita. Cantik nan
menawan.
Luna
hanya menggeleng. Sedikit melirik Anita, ada kecemburuan di matanya.
"Kurasa
kamu harus pulang. Biar diantar Adam," kata Lutfi.
"Aku
baik-baik saja. Aku masih bisa pulang sendiri kok, Kak," kata Luna. Namun
saat ia mencoba berdiri, tubuhnya limbung.
"Lutfi
benar. Biar kuantar kamu. Tenang aja, aku nggak gigit kok," kata Adam
sambil tersenyum. Adam salah satu teman Lutfi.
Akhirnya
pasrahlah Luna saat Adam membantunya berdiri. Ia pergi meninggalkan lapangan
futsal dengan hati sedih. Ternyata Lutfi pacaran dengan Anita sudah sebulan.
Mengapa selama ini ia tidak tahu, Luna bertanya-tanya dalam hati. Saking
sibuknya Luna dengan hatinya yang terluka, ia tidak menyadari Hp-nya tadi
terjatuh.
--0--
Malam
hari di dalam kamarnya, Lutfi termangu dengan Hp milik Luna di tangannya. Lutfi
menduga, jika selama ini Luna telah menyimpan rasa padanya. Walpaper foto dirinya
terpampang gagah di layar Hp Luna. Tadinya Lutfi tidak ingin menyalahi privasi
Luna. Namun sesuatu menggelitik agar membuka isi Hp itu. Di galeri gambar, ia
menemukan foto dirinya. Semua isi galeri foto di Hp itu adalah foto dirinya,
dan hanya segelintir foto lain. Selebihnya foto dirinya dari berbagai pose dan
dari zaman ia masih berbadan kurus hingga sekarang.
Keesokan
harinya Lutfi memutuskan untuk pergi ke rumah Luna karena ia tahu Luna tidak
ada jadwal kuliah hari ini. Ia ingin menanyakan tentang semua yang diduganya.
"Kak
Lutfi?" kata Luna tak percaya.
"Gimana
keadaanmu?" tanya Lutfi.
"Baik-baik
saja, Kak," jawab Luna.
"Sepertinya
kamu nggak sedang dalam keadaan baik," kata Lutfi. Wajah Luna memang
terlihat payah. Matanya bengkak karena semalaman ia menangis di bawah bantal.
Kulitnya pucat.
"Silahkan
masuk, Kak," ujar Luna tak mengindahkan pertanyaaan Lutfi.
Lutfi
menurut. Rumah Luna tampak sederhana. Perabot-perabot tertata rapi. Bersih.
Luna pamit mengambil minuman dan cemilan.
"Tak
usalah, Lun. Aku nggak lama kok. Ngomong-ngomong sepi benar rumahmu."
"Ayah
ada dinas ke luar kota. Ibu di rumah eyang di jogja. Aku sendiri di rumah
kak."
"Oh,"
ucap Lutfi. "Aku hanya ingin mengembalikan ini."
Lutfi
menyerahkan Hp berlayar lebar itu ke tangan Luna. Seketika itu pula wajah Luna
tampak pias. Bertambah pucat. Tubuhnya gemetar.
"Maaf
aku telah melihat isi Hpmu."
Luna
merutuk betapa bodohnya ia tak mengunci Hpnya.
"Katakan
semuanya, Lun,"pinta Lutfi.
--0--
Bagai
luapan sungai saat penghujan, air mata membajir. Tersengal-sengal Luna
membendung.
“Beri
waktu satu menit, untuk mengganti seluruh waktu yang aku lalui untuk
mencintaimu,” kata Luna memohon.
Lutfi
hanya diam ketika Luna merengkuhnya, memeluknya, menenggelamkan kepalanya pada
dadanya yang bidang. Perlahan Lutfi membalas pelukan itu. Luna telah mengatakan
semuanya. Bahkan Luna menunjukkan sebuah album yang hanya ada foto Lutfi yang
ia ambil secara diam-diam selama ini. Serta puisi-puisi di album itu,
puisi-puisi cinta untuk Lutfi yang hanya ia nikmati sendiri.
Namun
Lutfi dengan hati yang amat berat mengatakannya, jika ia telah bertunangan
dengan Anita, anak dari teman ayahnya. Lutfi selama ini sudah berpacaran dengan
Anita. Karena Anita kuliah di Paris jadi seolah Lutfi tampak masih jomblo.
Lutfi tidak tahu jika selama ini Luna mencintainya. Lutfi tak mungkin
membatalkan pertunangan itu. Hubungan kedua keluarga akan retak dan Lutfi tak
ingin membuat ayahnya bersedih. Lagipula, hatinya kini telah di miliki Anita.
“Terima
kasih selama ini telah mencintaiku,” bisik Lutfi tulus.
“Tak
perlu mengatakan itu. Saya mempunyai hak untuk mencintaimu dan kamu punya hak
untuk menerima atau menolaknya. Setelah ini aku akan berhenti. Semoga kamu
bahagia dengannya, Kak Lutfi.”
“Maafkan
aku.”
Luna
hanya diam. Dia menikmati satu menit terindahnya dengan diam. Dia menangis
dalam diam. Dia merintih dalam diam. Dia tak ingin berlari. Dia hanya ingin
diam merasakan semua. Seperti selama ini dia mencinta dalam diam.
Karena
sebenarnya kekuatan terbesar manusia bisa terlihat bukan pada berlari, tapi
pada diam.
--0--
“Beri
aku semenit, untuk mengganti seluruh waktu yang telah aku lalui untuk
mencintaimu.”
Lutfi
masih terngiang kata-kata itu.
Lutfi
melihatnya, raganya yang kini tak bernyawa, terbalut kain kafan putih, Luna diam
tak bernapas. Semalam ia mendapat kabar, Luna kecelakaan.
Penulis,
Havidz Antono
No comments:
Post a Comment