Awal perjumpaan kami sangat sederhana. Aku begitu
lelah setelah seharian sibuk mengurusi ini-itu. Lalu aku menyuruh pembantu
memanggil Mbak Retno, tukang pijat langganan. Tak lama setelah itu, pembantuku malah
membawa seorang pemuda yang cukup gagah nan tampan. Kata pembantuku, Mbak Retno
sedang pulang ke kampung dan pemuda ini menawarkan jasa pijat atas rekomendasinya.
Ia bernama Dharma. Setelah perjumpaan awal itu, seminggu
sekali di hari Jum'at, Dharma datang kerumah untuk memijat. Menjadi teraphis
pijat langgananku.
"Berapa umurmu?" tanyaku saat pertama kali
Dharma memijatku.
"Dua puluh lima tahun, Bu."
"Jangan panggil, Bu. Kamu membuatku jadi tampak
sangat tua."
"Maaf, tante."
Aku tertawa mendengar ucapan polosnya. Bu? Tante?
Baiklah, aku memang tidak bisa melawan waktu. Tapi aku bisa melawan
kerutan-kerutan di wajah dengan treatment
di salon dan sesekali suntik botox. Dan untuk menjaga tubuh agar tetap
bugar, aku punya jadwal senam dan ritual yoga di Sabtu dan Minggu pagi.
"Panggil saja, Mbak Susi."
Anak muda itu mengangguk. Lalu ia membuka tas
sandangnya dan mengeluarkan sebuah botol minyak zaitun.
"Minyak zaitun bagus untuk terapi pijat, Mbak.
Juga sangat bagus untuk kelembaban kulit." Dharma menjelaskan.
Aku tengkurap di atas ranjangku yang nyaman dengan
hanya memakai celana dalam dan seutas BH. Dharma mulai memijat dari bagian
kaki. Lalu paha. Naik lagi ke punggung. Ia pintar benar memijat. Setiap pijatannya
bertenaga, penuh sensasi, pas banget. Aku menikmatinya. Sentuhan-sentuhannya
memberiku gairah. Juga mengingatkanku bahwa sudah lama aku tidak dijamah.
"Minggu depan datanglah. Jangan khawatir, aku
akan membayarmu dua kali lipat." kataku setelah Dharma memijat seluruh
bagian tubuh. Termasuk bagian yang itu. Aku sengaja memintanya menyentuh bagian
rawan itu. Aku ingin lihat reaksinya. Awalnya ia sedikit ragu walau tak bisa
disangkal bahwa ada gairah di ekspresi wajahnya. Dua puluh lima tahun, tentu
masih sangat muda, polos dan sedang meletup-meletupnya gairah seks.
"Baiklah, Mbak." ucap Dharma sembari
memasukan kembali botol minyak zaitun lalu keluar dari kamar.
***
Sudah lima belas tahun aku bercerai. Selama itu pula
aku menyandang status sebagai janda kaya beranak satu yang cantik. Aku memang
memutuskan untuk tetap menjanda. Bukan karena aku tidak laku, malah sangat
laku. Sangat banyak lamaran yang aku tolak. Dan mereka yang melamarku juga
tidak bisa dikatakan sebagai orang-orang biasa. Malah terang-terangan seorang
anggota DPR yang sudah beristri tetap mau mengawiniku. Aku tolak
lamaran-lamaran itu. Aku ingin fokus membesarkan Rio.
Rio, putra semata wayangku, kini sudah besar. Ia
memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Amerika. Setelah ia pergi, hariku-hariku
hanya dipenuhi urusan pekerjaan. Mengurusi butik, minimarket kerajinan tangan dan
sesekali berkumpul dengan teman-teman di bar atau restoran sekadar untuk
ngrumpi atau arisan.
Sebagai seorang single
parent dan manusia biasa aku tidak bisa menafikan adanya hasrat seksual
yang seringkali meletup. Ketika hasrat itu muncul, biasanya aku menghubungi
seorang lelaki sewaan untuk bercinta semalaman di hotel. Aku akan bilang pada
Rio sedang ada kerjaan di luar kota.
Lalu Dharma, si tukang pijat yang masih brondong itu
membuatku tak lagi memanggil para lelaki sewaan itu. Brondong muda itu
membuatku merindukan pijatannya.
"Kenapa kamu pilih pekerjaan ini? Apa
keluargamu tahu kamu menjadi tukang pijat?"
Dharma menggeleng keras. "Nggak, Mbak. Jangan
sampai keluarga di kampung tahu. Dan jangan sampai teman-temanku tahu. Bisa
malu aku. Aku jadi tukang pijat hanya sebagai selingan saja kok, Mbak."
"Jadi apa pekerjaanmu selain ini?"
"Sales motor, Mbak. Tahu sendiri berapa
gajinya. Buat bayar uang kost, makan, kuliah dan kebutuhan yang lain kurang
sekali, Mbak. Keluarga di kampung tidak bisa bantu sejak bapak
sakit-sakitan."
"Jadi kamu juga kuliah?"
"Iya, semester akhir."
Aku mengangguk mengerti.
"Mau kerja sama aku? Kamu mau jadi kasir di
minimarket atau jadi supir pribadi?"
Dharma tampak antusias mendengar tawaranku. "Jadi
supir, Mbak. Aku bisa nyetir. Sekarang cari kerja susah. Temanku yang sudah
lulus kuliah duluan juga masih banyak yang nganggur. Terima kasih atas
tawarannya, Mbak."
***
Entah mengapa, sejak kehadiran Dharma, hidupku
sedikit lebih menggairahkan. Ia pemuda tampan yang ulet, patuh dan tangguh di
atas ranjang. Sejak pagi ia sudah bangun, menyapu halaman, mencuci mobil bahkan
membantu Mbak Ijah memasak di dapur. Di rumah ini ada dua pembantu. Mbak Ijah
yang mengurus rumah dan Pak Surno yang mengurus kebun. Dharma segera bisa dekat
dengan mereka.
Aku memberi perhatian khusus pada sopir gantengku
ini. Tak lupa aku membelikannya beberapa set pakaian. Jam tangan. Sepatu. Makin
tampan ia saat mengenakan jas hitam. Aku mengajak pula Dharma pada arisan di
rumah salah satu temanku.
"Siapa itu yang Jeng Susi bawa?"
"Supir baru, Jeng."
"Duh, masih brondong tampan pula. Jeng ini
pintar cari supir deh."
Aku tersenyum, sedikit bangga. Kulirik Dharma, ia
sedang membantu menyiapkan cemilan bersama pembantu temanku.
"Coba deh Jeng cariin aku pembantu brondong
kayak sopir jeng."
"Nanti aku coba tanya sama sopirku itu, Jeng.
Siapa tahu ada temannya yang kayak dia."
Lalu kami para ibu-ibu mulai menggosip. Cerita
ini-itu. Mulai dari barang-barang mewah yang lagi nge-hits hingga duda-duda
keren yang tak kalah nge-hits pula. Sembari mencomot cemilan-cemilan diet dan
anggur merah, kami para ibu-ibu single
parent menikmati hidup.
***
Suatu ketika usai memijatku dan tentu saja,
bercinta, Dharma mengatakan sesuatu.
"Mbak, bulan depan saya akan wisuda."
"Wah, selamat ya," ucapku tulus dan
bangga. Tak lupa kukecup bibirnya.
"Mbak datang ya. Nanti keluargaku dari kampung
juga datang."
Aku diam sesaat sebelum memutuskan.
"Iya, aku akan datang. Keluarga dari kampung
berangkat naik apa?"
"Kereta, Mbak"
"Bagaimana kalau kamu jemput saja pakai mobil.
Muat kan?"
"Muat, Mbak. Hanya bapak, emak, kedua adikku
dan seorang teman perempuan."
"Teman perempuan? Apa ia pacarmu?"
Dharma menggeleng dengan ekspresi terkejut.
"Nggak, Mbak. Hanya temen sejak kecil," katanya. Aku mendengar
kegelisahan pada suaranya. Aku tahu ia tak jujur. Ketidak jujuran pertama.
***
Ketika remaja, aku tidak punya mimpi muluk-muluk.
Mimpiku sederhana : menikah dengan seorang lelaki yang mencintaiku sepenuhnya,
mempunyai anak dan bahagia hingga raga ini masuk tanah. Namun, mimpi yang
sesederhana itu pun seperti kepulan asap teko panas di atas perapian, menguap.
Kuliah belum usai, aku bunting. Pacarku itu bahkan
lebih muda. Ia anak konglomerat, sama sepertiku. Mau tak mau kami harus kawin.
Lalu, Aku memutuskan berhenti kuliah. Sementara Ia tetap lanjut hingga lulus.
Membina rumah tangga di usia muda bukanlah hal muda.
Meskipun untuk finansial sudah disokong orang tua kami sekali pun. Baik aku
maupun suami masih mementingkan ego. Dan seperti bisa ditebak, kami bercerai. Ketika
itu Rio baru berumur dua tahun. Hak asuh Rio berada di tanganku sepenuhnya.
Aku memutuskan untuk tidak menikah lagi. Buat apa?
Kebutuhan biologis? Jika aku butuh, tinggal hubungi lelaki bayaran. Beres.
Puas.
***
Dharma memperkenalkan mereka. Ayah, ibunya, dua anak
laki-laki dan seorang gadis manis. Mereka tampak lugu dengan dandanan ala
kadarnya. Aku menyalami mereka satu persatu dengan ramah. Kujamu mereka dengan
hidangan makan malam yang melimpah hasil olahan tangan Mbak Ijah.
Mereka akan bermalam di sini sebab besok pagi-pagi
akan menghadiri acara wisuda Dharma. Rumah ini punya banyak kamar kosong yang
bisa mereka tempati.
Perhatianku tak lepas pada gadis manis yang duduk di
samping Dharma sekarang. Dari cara Dharma memerhatikannya, sudah pasrti mereka
ada hubungan spesial.
Apakah aku cemburu?
Aku menertawakan diri sendiri.
"Teima kasih Mbak Susi atas semuanya,"
ucap Dharma ketika acara makan malam usai dan keluarganya sudah menempati kamar
masing-masing.
"Tak masalah. Maukah kau menemaniku sebentar
sebelum pergi tidur?"
Aku bisa melihat guratan bimbang di wajahnya. Tapi
seperti yang kuduga, ia tidak bisa menolak ajakanku. Aku tersenyum untuk diriku
sendiri. Tak perlu aku cemburu pada gadis itu jika ketika aku menginginkannya,
brondongku ini siap melayaniku.
Kamar pun tertutup rapat.
Di bawah selimut, berdua saling mendesah.
***
Anak semata wayangku pulang. Kuliahnya libur. Aku
memperkenalkan Dharma sebagai tukang supir. Tidak lebih. Tidak sebagai tukang
pijat atau pun brondong kesayangan.
Aku lihat Dharma memang mempunyai kelebihan cepat
akrab dengan siapa pun.
"Ma, aku mau ke mall. Biar dianterin Dharma, Ya."
Mereka jadi sering bersama. Mungkin karena seumuran.
Dari dulu Rio yang anak tunggal memang merindukan teman bermain di rumah ini.
Aku sadar betul jika aku tidak punya banyak waktu menemani Rio bermain.
Pekerjaanku yang banyak sekali menyita hampir semua waktu, dari pagi hingga
malam. Tapi, yang aku lakukan ini juga demi kehidupan layak untuk Rio. Supaya
ia tak mengalami hidup susah.
"Ma, aku mau ngajak Dharma pergi ke acara ultahnya
temen."
Aku bersyukur, Rio lebih bersemangat sejak ada Dharma.
Mereka begitu akrab. Rio memperlakukan Dharrma sebagai sahabatnya. Bahkan
seringkali Rio mengajak Dharma tidur di kamarnya, main playstasion, nonton bola, hang
out, ke bioskop. Meski begitu, Dharma tetap menyadari posisinya di rumah
ini. Ia tetap bangun pagi-pagi, menyirami tanaman, mencuci mobil dan jika Rio
tak ada, memijatku.
Tapi aku melihat ada sedikit perubahan dari sopir
brondongku itu. Semenjak kelulusan, ia jadi pendiam. Raut mukanya tak secerah
dulu. Seperti ada yang ia sembunyikan. Saat kutanya, ia hanya menggeleng, bahwa
semuanya baik-baik saja. Atau hanya perasaanku saja.
Rio tak lama berada di rumah. Akhir Maret ia harus sudah
kembali ke Amerika untuk melanjutkan studi. Raut wajah sedih menghias wajahnya
saat berpisah di bandara. Padahal, dulu-dulu saat pergi, ia tak sesedih itu. Mungkin
karena Dharma. Ia tak pernah menemukan teman dekat sebelumnya.
Lalu aku membekali petuah selayaknya ibu kepada
anak. Rio memelukku. Ia juga memeluk Dharma.
***
Malam itu, gairah kami memuncak. Panas membara
percintaan kami hingga terkulai lemas sampai pagi menyembul bersama embun di
dedaunan. Saat aku membuka mata, Dharma tampak sudah berpakaian rapi.
"Ada hal penting apa yang membuatmu pagi-pagi
sudah serapi ini?" tanyaku masih sedikit ngantuk.
"Aku sudah memutuskan, Mbak. Aku tidak bisa
menunda-nunda lagi. Mulai hari ini aku mengundurkan diri," katanya tegas.
Aku tidak terlalu terkejut. Aku sudah mengira jika waktu seperti ini akan tiba.
"Kenapa? Gaji yang aku kasih kurang?"
Dharma menggeleng.
"Saya mau jujur, Mbak. Gadis yang aku bawa
kemarin sebenarnya pacarku. Kami sudah berencana menikah setelah saya lulus
kuliah," kata Dharma serius.
"Aku sudah tahu. Tak sulit menebaknya. Baiklah
jika itu keputusanmu."
"Tidak hanya itu. Sebenarnya ia tahu."
Pernyataannya ini cukup mengejutkanku.
"Ia tahu. Malam itu ia mendengar kita bercinta.
Suara desahan-desahan itu."
Aku terdiam cukup lama.
"Ia pasti sangat mencintaimu," kataku
sambil membalutkan handuk ke tubuh. Kusulutkan pula rokok sebelum kusedot
dengan sepenuh hati. Kuembuskan asapnya, membumbung tinggi ke udara.
"Lalu bagaimana dengan Rio?" tanyaku
datar.
Dengan wajah salah tingkah Dharma menjawab.
"Maksud, Mbak?"
Kutatap Brongdongku itu tajam. Akhirnya ia paham.
"Maafkan aku, Mbak. Aku nggak pernah kayak gini
sebelumnya. Aku hanya berusaha menghormatinya, dan Mbak. Sebenarnya aku risih.
Aku ingin bercerita pada tapi takut Mbak akan menuduh aku yang mengajarinya. Ia
menyukaiku. Bahkan pernah kami melakukan di dalam mobil. Ia menginginkannya dan
aku tidak bisa menolak.”
Aku mendengarkan pengakuan dosa Dharma sembari tetap
mengembuskan asap rokok dengan sepenuh hati. Aku tahu.
Koleksi foto-foto pria seksi di bawah tumpukan baju
anak semata wajangku. Video blue
sesama kelamin dalam folder hapenya. Sebagai seorang ibu hatiku remuk mendapati
anak laki-lakiku satu-satunya berbeda. Namun aku sadar, ini juga salahku yang
tak mampu memberikan waktu yang layak untuknya. Ia rindu dengan sosok ayah. Ia
rindu dengan sosok laki-laki yang melindunginya. Aku mungkin ibu yang egois.
Tapi bukan ibu yang intolelir.
Kubiarkan dulu anakku hingga suatu saat nanti ia berani mengungkapkannya. Lagipula,
aku juga bukanlah ibu yang bisa dibilang baik untuk dicontoh.
"Sebelum kamu pergi aku ingin minta bantuanmu.
Itu pun jika kamu mau. Aku akan membayar mahal untuk ini."
"Tetaplah bersama Rio. Jika ia pulang, kemarilah.
Perlahan-lahan bantu aku mengubahnya"
Dharma agak terkejut dengan permintaanku. Ia
memikirkan tawaranku cukup lama. Aku menunggu dengan sabar.
Penulis,
Havidz Antonio
Bagus,sepenggal kisah yang dibiarkan mengalir sesuai kenyataan kehidupan disekitar, dari sisi yang berbeda. Cukup berani untuk diungkapkan..
ReplyDeleteTerima kasih atas commentnya. 😊
ReplyDelete