Aku terkejut. Kemudian lelaki ini
menjabat tanganku sambil tersenyum. Aku berusaha langsung merubah raut wajahku
setenang mungkin. Jantungku berdegup tak karuan. Kulirik istriku, wanita yang
baru kunikahi empat bulan yang lalu. Lalu kulirik juga Nadia, adik semata
wayang yang sangat aku sayangi. Lalu lelaki di depanku ini. Tanpa Nadia
perkenalkan pun aku sudah tahu namanya. Indra Bagus Nugraha.
“Silahkan duduk Dek Indra,” istriku mempersilahkan. “Sebentar, ya aku ambilkan
minum dan cemilan dulu”
“Tidak usah repot-repot, Mbak,” kata
Indra, suaranya berdengung di telingaku. Membuatku gelisah. Suaranya serak,
berat, namun merdu, itu memang saelalu
membuatku gelisah.
“Tidak repot kok. Anggap saja rumah
sendiri. Sebentar lagi kan juga jadi keluarga di sini,” kata istriku lalu pergi
ke dapur.
Indra tersenyum manis. Aku tersenyum
pahit.
“Bang Dika. Bang Dika sakit?” kata
Nadia tiba-tiba.
“Eh, Tidak kok,” aku gelagapan
sendiri.
“Kok dari tadi diem melulu.”
Aku tersenyum getir “Iya , lagi
kurang enak badan ini. Tapi tidak apa-apa.” Akhirnya aku berbohong juga.
“Emm.. jadi ini calon suamimu ?”
kataku akhirnya.
Nadia menjawab dengan malu-malu “Iya,
Bang. Ini Indra yang aku ceritakan pada abang tempo hari. Kami sudah serius kok
untuk menikah”
Kulirik Indra, dia tersenyum simpul.
Aku mengutuk dalam hati.
“Prakk… “ Aku tersentak kaget.
Terdengar suara dari dapur. “Piring jatuh, tidak apa-apa,” teriak istriku seketika. Aku menyuruh Nadia untuk ke dapur membantu istriku.
Setelah Nadia sudah tidak ada, aku menatap indra penuh kebencian.
“Apa rencanamu? Menghancurkan adikku
?”
Indra tampak tenang. “Aku tidak tahu kalau Nadia
adikmu”
“Jangan bohong!”
“Aku tidak bohong.”
“Dengarkan aku. Aku tidak rela
adikku menikah denganmu.”
“Kami saling mencintai.”
“Tidak mungkin!”
“ Aku mencintai Nadia sama besarnya
ketika dulu aku mencintaimu. Bahkan jauh lebih besar.”
Ingin aku langsung menghajar Indra tapi istriku dan
Nadia sudah datang membawa nampan berisi minuman dan makanan-makanan kecil. Aku
berusaha rileks. Begitu pula dengan Indra. Kami saling pandang dengan penuh
amarah. Lalu percakapan tentang rencana pernikahan Indra dan Nadia mengalir
alot. Aku bilang aku sedang tidak enak badan. Setelah itu Indra pamit pulang.
Aku menyuruh Nadia membantu istriku untuk membereskan meja sementara aku
mengantar Indra sampai ke depan pintu. “Besok jam tujuh di ...”
“Ya, aku tahu.”
***
Caffe
latte yang sepuluh menit tadi aku pesan sudah tinggal separuh. Aku menunggu
dengan tidak sabar. Aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Datang ke kafe ini
sama saja membuka kenangan yang tidak ingin aku ingat-ingat lagi. Walaupun
dalam hati kecilku kenangan-kenangan itu sangat indah. Namun aku harus
menepisnya. Aku harus melihat kenyataannya sekarang seperti apa.
Akhirnya Indra datang juga. Seperti
biasa dandanannya kasual, celana jins, kaos santai, jaket dan sepatu kets. Dia
duduk d depanku. Sejenak dia menatapku kemudian memanggil waiters untuk memesan secangkir cappuccino.
“Aku ingin kamu menjaui Nadia,”
kataku to the poin.
“Apa alasannya ?” kata Indra tetap
tenang.
Aku tidak tahu alasan apa yang harus
aku ungkapkan. Aku mendesah berat. Hal ini membuatku bingung.
“Apa karena aku pernah pacaran
dengan kakaknya ?” kata Indra mendahuluiku “Dengarkan aku wahai Tio ramadlan,
dulu kamu meninggalkanku saat aku benar-benar mencintaimu dan sekarang kamu
menginginkan aku untuk meninggalkannya di saat aku benar-benar mencintainya.
Kamu tidak hanya menyakitiku untuk yang kesekian kalinya tapi kamu juga
menyakiti adikmu satu-satunya.”
“Yang kita lakukan salah.”
“Benar. Tapi yang aku lalukan
sekarang bukan sebuah kesalahan.”
Aku terdiam.
“Indra, ini rumit sekali tolong
mengertilah.”
“Nengerti tentang apa ?” Indra mulai
tak sabar.
“Maaf ini cappucinonya.” Kami berdua tersentak. Waiters itu sekilas tampak memandang kami dengan
curiga sebelum akhirnya meninggalkan kami.
“Aku tidak bisa membiarkan adikku…”
Kalimatku menggantung. Aku sungguh tak bisa mengungkapkan apa yang aku rasa
dengan kata-kata “Seandainya kamu punya adik.”
“Apa? Karena aku pernah homo?”Kata-kata
Indra menohok ulu hatiku.
“Kamu menganggapku seperti kotoran
Yo’?” kata Indra mencibir. “Bahkan yang paling bajingan, pun bisa berubah.”
“Aku tidak bermaksud begitu.” Akhirnya
aku harus mengatakannya juga. Aku harus tegas “Tapi. Aku memang tidak bisa
membiarkan adikku menikah dengan lelaki yang menyukai lelaki!”
“Lalu apa bedanya dengan kamu?”
semprot Indra dengan nada tinggi. Beberapa orang melirik ke arah kami.
Hatiku pilu. Indra tampak mengatur
napas, meredam amarahnya.
“Maafkan aku Indra. Jujur sampai
sekarang aku masih belum bisa melupakan yang dulu. Tapi kita harus sadar. Kita
tidak hidup di belanda. Dan aku harus mengambil langkah. Ada seorang wanita
yang mencintaiku dan aku ingin berubah. Maaf dulu telah meninggalkanmu “
“ dan kamu pikir sampai sekarang
bagaimana perasaanku terhadapmu? Aku masih mencintaimu dan satu-satunya yang
bisa melepaskanku dari bayangmu adalah Nadia. Dan aku tidak menyangka jika
Nadia adalah adikmu “
Ya Tuhan ini sangat sulit. Ingin aku
memeluk Indra sekarang juga namun aku ingin juga memukulnya hingga dia mau
pergi dari kehidupan Nadia.
“ tidakkah kau ingat bagaimana kita
bisa bersama dulu ?” kata indra.
***
Aku melihat lelaki itu yang kemudian
aku mengenalinya dengan nama Indra. Saat itu aku membutuhkan seorang fotografer
untuk membuat catalog dan temanku
menyarankan memakai jasa Indra. Pertemuan kami diawali dengan saling bertukar
kartu nama. Aku menjelaskan apa saja yang harus di kerjakan indra dan dia
menyanggupinya dengan santai. Dia memang tipe orang yang santai, supel namun
professional. Pertemuan demi pertemuan kami lalui dengan biasa saja. Dalam 3
hari pekerjaannya selesai. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya dan dia
tiba-tiba mengajakku makan malam.
“ Kurasa lusa aku ada waktu. Akan
aku kabari lagi “ kataku.
“ Ya, aku menunggu kabarmu “
Akhirnya malam itu aku menjemput
Indra di kostnya lalu kami pergi ke sebuah restoran seafood. “ Berdua saja ?” tanyaku sekedar meyakinkan diriku sendiri
jika kami cuma berdua.
“ Memang kenapa ?” dia malah balik
bertanya.
“Tidak apa-apa “ jawabku
biasa-biasa saja walaupun sebenarnya aku menggerutu dalam hati. Dua lelaki pergi dinner, seperti sepasang
kekasih saja..
Dan Malam itu kami bercakap-cakap
banyak sekali. Dia mencemoohku yang sudah berumur 27 tahun namun belum menikah.
Dan aku mencemoohnya karena dia mengajak lelaki berumur 27 tahun pergi dinner.
Dan ternyata dia sangat menyenangkan. Aku merasa nyaman di dekatnya. Dia
humoris, cerdas dan up date info-info terbaru dunia.
Dan tidak hanya mengajakku dinner,
dia juga mengajakku ke sebuah diskotik. Well, tidak terlalu buruk. Malam itu
aku merasa bebas. Menjadi kakak sekaligus orang tua bukanlah hal mudah. Kadang
itu membuatku frustasi. Apalagi jika adikmu itu gadis remaja. Aku rasa indra
telah memberiku sedikit rasa nyaman dari beban berat itu.
Semalaman aku benar-benar merasa
bebas. Dan tak kusangka sudah jam 3 pagi dan aku mabuk. Jika aku pulang maka
itu akan menjadi contoh yang buruk bagi adik perempuanku. Baiklah, aku akan
mengatakan bahwa aku tiba-tiba ada pekerjaan mendadak yang mengharuskan ke luar
kota dan tidak sempat memberi kabar pada Nadia. Indra juga dengan senang hati
mempersilahkanku menginap di kostnya.
***
Aku tidak tahu apakah itu karena aku
mabuk atau karena aku memang menginginkannya. Aku rasa dua-duanya. Aku
melakukan hal yang tidak layak. Aku tidur di kostnya indra. Lelaki itu tidur di
sampingku. Aku lelah sekali namun aku belum bisa tidur. Aku mengingau terus dan
Indra mndengarkanku dengan baik. Aku meluapkan apa yang ada di kepalaku,
tentang susahnya jadi kakak sekaligus orang tua bagi Nadia, tentang bagaimana
seharusnya orang tuaku tidak meninggalkanku saat aku berumur 17 tahun. Indra
membelai-belai rambutku dan aku merasa ingin di peluk. Maka indra memelukku.
Kehangatan Indra membuatku merasa
nyaman. Belaiannya lembut, tubuhnya hangat dan nafasnya menyihirku untuk
mendekat, mendekat sekali lagi, semakin dekat dan kami berciuman sangat
dahsyat. Tak perlu aku uraikan bagaimana, intinya adalah malam itu kami
berciuman sampai pagi. Lekaki dan lelaki.
Esok harinya ketika aku bangun dan
mendapati diriku dalam pelukan Indra, aku langsung mendorongnya keras-keras “
kau menjebakku. Kau sudah merencanakan ini. Sialan kau ! “
“Tidak seperti yang kamu pikirkan
Yo’. Aku tidak menjebakmu. Aku rasa tadi malam kita melakukannya atas dasar
suka sama suka “
“Setan!!! “ semprotku.
“Yo’. Aku tidak bermaksud seperti
itu” Indra mencoba menahanku pergi.
“Pergi kau bajingan. Jangan
menyentuhku “
Setelah kejadian itu aku tidak
bertemu Indra –lebih tepatnya tak mau menemuinya- beberapa hari. Dia
meneleponku namun tak pernah ku angkat. Setiap menit sms menyatakan
penyesalannya namun tak pernah ku gubris. Hingga pada akhirnya aku merasa ada
yang aneh dari dalam diriku. Aku merasa tidak seharusnya begitu pada Indra.
Lagipula waktu kita melakukannya aku sedikit sadar walaupun agak mabuk. Dan
sialnya aku merindukan Indra. Saat aku mencoba sekedar miscall nomor hapenya tidak aktif. Itu membuatku gelisah. Dan mau
tak mau aku harus pergi ke kostnya.
Yang kudapati adalah pemandangan
yang buruk. Satu bulan aku tidak bertemu dengannya kini dia jauh berbeda dari
terakhir yang kita bertemu. Dia jadi sangat kurus dan pucat.
“ Kapan terakhir kali kamu makan ? “
“ Aku lupa. Tapi aku senang sekali
kamu ada di sini. Akan aku jelaskan se..”
Aku idak dapat menahannya, aku
langsung memeluk indra. Aku merasa menjadi manusia paling bejat. Tidak
seharusnya aku membuat Indra seperti ini.
“Jangan bicara lagi. Maafkan aku.
Kamu harus makan. Ayo kita cari makan “
Indra menggeleng “ aku tidak ingin
makan. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu bahwa aku mencintaimu. Saat pertama
kali aku melihatmu aku sudah merasakan perasaan itu. Namun sungguh waktu malam
itu aku tidak merencanakannnya. Itu mengalir begitu saja. Aku berusaha
menahannya namun aku tidak bisa. Aku mengira kamu juga menginginkannya “
“Aku benar-benar minta maaf” kataku penuh penyesalan “ dan aku juga mau
mengatakannya bahwa aku mencintaimu juga. Namun sekarang yang terpenting adalah
kamu harus makan”
Indra tersenyum bahagia, begitupula
aku.
Dan hari-hari selanjutnya kami lalui
bersama seperti sepasang kekasih.
Sampai pada akhirnya aku harus meninggalkan Indra karena aku harus menikah dengan seorang wanita yang juga sangat mencintaiku.
Sampai pada akhirnya aku harus meninggalkan Indra karena aku harus menikah dengan seorang wanita yang juga sangat mencintaiku.
***
“Tak mudah untuk dimengerti. Dan memang
tak perlu untuk di mengerti. Kita seperti sepasang sepatu. Bersama namun tak
kan bisa bersatu. “ kata-kata itu muncul dari mulut Indra.
“Ya. Aku harap kamu menjadi suami yang
baik bagi adikku. Dan jika kamu mengecewakannya aku akan memukulmu, tidak
peduli kamu adik iparku dan tidak peduli aku mencintaimu “ kataku.
“ Terima kasih banyak telah
mengijinkanku menikahi Nadia “
Hari itu hari di mana Indra dan nadia
mengucapkan janji setia untuk hidup selalu bersama dalam sehat atau sakit,
dalam kaya atau miskin, dalam susah atau senang, selamanya sampai maut
memisahkan mereka.
Penulis,
Havidz Antonio
No comments:
Post a Comment