Malaikat itu sedang
terbang mengitari bumi untuk menjalankan tugas ketika dengan tiba-tiba
mendengar suara kecil yang syahdu. Malaikat itu lalu memutuskan untuk berhenti terbang
dan duduk di atas awan. Matanya mencari-cari dari mana asal suara itu. Dia
ingin tahu suara siapa yang sungguh syahdu dan mampu menyayat-nyayat hati.
Banyak versi tentang
bagaimana rupa sosok Malaikat di buku-buku, dongeng-dongeng pengantar tidur maupun
kitab suci yang sudah pasti kebenarannya (bagi yang mengimaninya). Dan Malaikat
yang itu, serupa seorang manusia yang memakai jubah seputih salju. Entah dia
lelaki, entah perempuan, entahlah. Sebab, dia tidak berkelamin. Malaikat itu
juga punya sepasang sayap yang seputih jubahnya. Jika Malaikat itu
sungguh-sungguh merentangkan kedua sayapnya, niscaya sanggup mengungkup bumi
ini tanpa celah secuil pun.
Dengan cepat mata sang
Malaikat menemukan sesosok gadis kecil di dalam sebuah Panti Asuhan. Suara kecil
nan syahdu itu berasal dari dalam diri si gadis kecil. Padahal mulutnya tidak
bergerak. Pita suaranya tidak bergumam pula. Suara-suara yang menggetarkan hati
sang Malaikat adalah doa-doa tak terucap dari si gadis kecil yang tak mampu
dikatakan sebab dia memang bisu.
Doa gadis kecil itu
sederhana.
Tuhan,
berikanlah aku sepasang sayap agar aku bisa terbang. Tuhan, aku Ingin terbang.
Sang Malaikat termangu.
Dia bertanya-tanya, mengapa si gadis kecil berdoa seperti itu. Mengapa doa itu
terdengar sangat rapuh. Rapuh yang bahkan mampu menggetarkan dinding-dinding
langit. Maka sang Malaikat ingin mencari tahu jawaban atas pertanyaannya. Dia
terbang menghampiri si gadis kecil. Tentu, dengan langkah hening.
***
Sepasang matanya
meredup menuju pekat gelap yang kelam. Meskipun masih ada setitik (benar-benar
hanya setitik yang sangat kecil) cahaya di sana, Nayya tetap tak mampu melihat
dengan jelas. Semua warna menjadi monokrom. Abu-abu tunggal. Bibirnya juga
telah lama mati. Seperti habis menyesap bisa paling mematikan, bibir itu tak
bisa lagi menyungging senyum walau cuma seulas. Setiap kali Nayya memaksa
tersenyum, rasa sakit langsung menyergapnya.
Dan sunyi itu terendap
mengerak hingga membatu. Sunyi yang mungkin akan abadi hingga masa datang. Nayya
tak bisa lagi bicara. Dan tak ada yang ingin dia bicarakan. Gadis berumur tujuh
tahun itu hanya ingin satu hal. Satu hal yang dia mohonkan lewat doa-doa dalam
hati setiap waktu. Dia hanya ingin punya sayap agar bisa terbang.
Dahulu Nayya masih
punya segalanya. Segalanya yang dimaksud bukanlah melulu soal harta. Nayya
hanya seorang anak dari keluarga miskin. Namun miskin harta itu tak berarti
apa-apa sebab dia punya ibu, ayah dan adik laki-laki manis yang saling berbagi
kasih. Nayya juga masih bisa tersenyum, tertawa, berbicara, mendengar,
berlarian dan bercita-cita. Gadis kecil itu juga pernah ingin jadi dokter.
Dalam satu malam,
sebuah peristiwa merubah segalanya. Malam berdarah bagi keluarga miskin Nayya.
Kebrutalan sifat Iblis dalam diri manusia memang selalu membawa petaka. Entah
mereka itu manusia atau jelmaan Iblis yang nyata. Tiga orang lelaki bertubuh
kekar itu telah menyusup ke dalam rumahnya. Nayya dan adik laki-lakinya
disekap. Tubuh mereka dililit tali dan mulut disumpal dengan kain. Sementara Ibunya
terkapar di lantai tanah. Pukulan dengan benda tumpul di kepala membuat Ibunya
tak sadarkan diri. Atau mungkin malah sudah mati. Sementara ayahnya babak belur
dihajar tiga orang itu.
“Jika kau berteriak,
dua anakmu akan mati,” bentak salah satu dari mereka.
“Di mana kau menyimpan
benda itu?” tanya yang lain.
“Sumpah, saya tidak
tahu.”
“Anjing! Pembohong kau!
Mati saja kau.”
“Saya benar-benar tidak
tahu.”
“Bedebah!”
Lalu mereka benar-benar
mematikan pria malang itu. Nayya yang melihat kejadian itu menangis
sejadi-jadinya, meraung sekeras-kerasnya, namun tubuhnya tetap terdiam, hanya
tergoncang kecil. Lalu pemandangan yang lebih memilukan harus Nayya lihat dan
akan terekam abadi dalam memorinya. Pemandangan yang harusnya tak pantas
dilihat oleh seorang gadis kecil.
Tiga manusia itu
menyetubuhi tubuh ibunya.
Nayya tidak terima.
Nayya tidak rela. Namun dia hanya gadis kecil dengan tubuh ringkih yang tidak
berdaya.
“Kita apakan dua bocah
ini, Bos?” kata salah satu dari mereka sambil mengancingkan risleting celana.
“Kita matiin aja.”
“Jangan, buang-buang
waktu saja. Kita bakar saja rumah ini. Biar pula hilang jejak.”
Beberapa jam kemudian,
desa kecil di pinggiran kota itu digegerkan dengan adanya kebakaran rumah.
Warga berduyun-duyun mengambil air dari mana saja untuk lalu disiramkan ke
kobaran api. Pemadam kebaran segera datang setelah ditelepon salah seorang
warga. Setelah berusaha keras, api bisa dipadamkan.
Semua orang
terkaget-kaget melihat sebuah keajaiban. Api itu hampir menghanguskan seluruh
isi rumah. Namun ajaib, seorang gadis kecil masih hidup. Jika cerita tentang Delisa
yang selamat dari terjangan tsunami Aceh yang meluluhlantakkan menjadi buah
bibir yang masyhur. Maka cerita tentang Nayya yang selamat dari kobaran api yang
menghanguskan segera menjadi viral. Hanya sayang, adik laki-lakinya tak
bernasib sama.
***
Malaikat bersayap putih berjalan menyusuri
lorong gelap menuju Nayya yang duduk terpekur sendirian di atas kursi kayu
mahoni. Malaikat semakin mendekat. Sekarang dia bisa melihat dengan jelas
bagaimana keadaan Nayya. Separuh wajahnya terpahat luka bakar.
“Aku ingin punya sayap.
Aku ingin terbang,” gumam Nayya tanpa mulut bergerak.
“Mengapa kau ingin
terbang?” tanya Malaikat.
“Aku ingin bertemu Ibu,
Ayah dan adikku di surga,” jawab Nayya, bibirnya tetap diam.
Nayya kembali bergumam:
Aku ingin punya sayap. Aku ingin terbang.
Aku ingin punya sayap. Aku ingin terbang…
“Boleh aku pinjam kedua
sayapmu?” tanya Nayya tiba-tiba. Matanya berkaca-kaca penuh harap, menatap
nyalang pada kedua sayap putih di punggung Malaikat.
Maka, demi tatapan
memohon gadis kecil itu, sang Malaikat meminta izin kepada Tuhan untuk
meminjamkan kedua sayapnya. Lewat tanda-tanda, Tuhan mengizinkan.
Malaikat melepaskan
kedua sayap dari punggungnya. Ditempelkannya sayap itu ke punggung Nayya. Sayap
yang cantik sekali. Bulu-bulunya lembut tanpa noda senoktah pun. Nayya senang
tapi wajahnya tetap sedatar sebelum dia memakai sayap itu. Seakan dia memang
akan seperti arca yang bernapas, selamanya.
“Sekarang kau sudah
punya sayap.”
“Ya. Dan aku akan
terbang menemui Ibu, Ayah dan adik laki-lakiku.”
“Jangan lama-lama. Aku
akan menunggumu di sini. Usai menemui Ibu, Ayah dan adikmu cepatlah kembali.
Aku butuh sayapku untuk menjalankan tugas.”
“Baiklah. Terima kasih.
Kau baik sekali.”
Nayya
mengepak-ngepakkan sayapnya. Dia senang sekali akan bisa bertemu kembali dengan
orang-orang yang dicintainya. Nayya akan terbang ke surga karena di sanalah
mereka berada. Nayya mulai melayang ke atas. Tiba-tiba di pertengahan jalan dia
diingatkan sesuatu. Dia kembali lagi ke bawah.
Malaikat terheran-heran
tapi tidak banyak bertanya. Dia melihat jika Nayya pergi ke dapur untuk
mengambil pisau. Ya, sebuah pisau dapur yang biasa digunakan untuk memotong
daging ayam.
Buat apa dia membawa
pisau ke surga?
***
Siang begitu terik
ketika warga desa di pinggiran kota itu digegerkan oleh lima kematian manusia yang
temponya hampir bersamaan. Kematian tiga anak buah Pak Lurah dan Pak Lurah itu
sendiri. Kematian empat orang dalam sehari yang menimbulkan ingar bingar. Sebab
mayat-mayat itu ditemukan dengan keadaan mengenaskan: tubuh seperti habis
ditusuk-tusuk belati.
Kematian satunya lagi
ditemukan pada sebuah kamar di Panti Asuhan. Berbeda dengan kematian empat
orang yang naas itu. Kematian gadis kecil di kamarnya, mengulas senyum damai.
Anehnya lagi, ditemukan pula bulu-bulu putih dan lembut di sekitar mayat gadis
kecil itu.
Penulis,
Havidz Antonio
No comments:
Post a Comment