Sumber Gambar dari Google |
Rupa wajah itu kembali
membuat Thoifur tersentak. Gadis manis berlesung pipit, berkulit sawo dan berambut
panjang yang selalu dikucir kuda kembali membelenggu isi kepalanya. Gerakan tangannya
terhenti di keyboard. Dia menatap layar
laptop sambil mengeluh. Ini tulisan ketiga yang gagal dia selesaikan sampai
klimaks. Jika wajah itu terus mengganggu, tulisan-tulisannya akan selalu macet
tak terselesaikan.
Thoifur memutuskan
untuk mematikan laptopnya. Percuma saja menulis dengan pikiran kacau seperti
ini. Ide-ide di kepalanya buntu. Imajinasi-imajinasi liarnya menguap entah
kemana.
"Siapa Milea?"
Thoifur teringat
pertanyaan yang dilontarkan Desi. Dua minggu ini Thoifur telah membuat Desi
gundah. Kali pertama mendengar nama Milea, saat Thoifur kembali dari Jogja,
dalam rangka bedah buku novel terbarunya. Ketika itu Thoifur dengan begitu
jelas cerita tentang pertemuannya dengan Milea.
"Gadis itu suka
dengan buku-bukuku. Dia benar-benar mengapresiasi tulisan-tulisanku. Aku sangat
tersanjung."
Thoifur mengatakan itu
dengan binar wajah senang.
Desi hanya tertawa.
Menjadi pacar penulis yang banyak penggemarnya memang harus bisa menempatkan
hati secara bijak.
"Jangan-jangan dia
kagum kamu. Bukan tulisanmu," ucap Desi dengan nada meledek.
"Hahaha, kamu
cemburu?"
"Kamu juga
tertarik pada Milea itu? Ngaku ajaaaa!"
Waktu itu mereka hanya
menganggap Milea sebagai cerita saja. Mereka masih bisa melempar canda. Desi
bukan termasuk gadis yang gampang cemburu. Tapi waktu berlalu, Thoifur kerap
menyebut nama Milea lebih sering dari buang kentut. Desi mulai terusik. Hatinya
mulai panas. Tapi Thoifur selalu mengelak. Milea hanya pengagum saja. Tidak
lebih.
***
"Siapa Milea?"
tanya Desi pagi ini.
Thoifur telah sukses
membuat Desi menjadi gadis cemburu. Thoifur entah sadar atau tidak telah sering
menggumamkan nama Milea. Dalam tulisan-tulisannya yang tak kunjung selesai,
tokoh utama wanita selalu bernama Milea.
"Siapa
Milea?" ulang Desi. Pagi ini Desi sengaja mendatangi Heru di kantornya.
Jika dia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Thoifur, dia harus
menemukan sesuatu dari Heru. Thoifur dan Heru bersahabat lama. Thoifur biasanya
sangat terbuka dengan sahabatnya itu.
Heru meneguk kopinya.
"Milea siapa?"
"Jangan pura-pura nggak tahu," ketus Desi. "Dasar
laki-laki!"
Heru menampakkan wajah
heran. "Aku hanya dengar sekali nama itu disebut. Saat dia pulang dari
Jogja."
"Ya, aku juga
dengar nama itu setelah dia pulang dari Jogja. Tahu siapa?"
"Gadis pengagum
novel-novelnya."
"Cuma itu?"
Desi mendesak.
Heru mengangguk.
"Dan gadis itu... Cantik."
Desi melotot.
***
Thoifur membuka album
foto di ponselnya. Dia melihat lekat-lekat foto seorang gadis yang akhir-akhir
ini menghantui pikirannya. Foto itu diambil ketika dia di Jogja saat seminar
bedah buku.
Perkenalan waktu itu
begitu lancar. Gadis itu mendatangi Thoifur untuk meminta foto dan tanda
tangan.
"Saya sangat
menyukai tulisan-tulisan, Mas. Terutama novel Kupu-kupu Bersayap Pelangi. Saya
terinspirasi sekali dengan novel itu," kata gadis itu sungguh-sungguh.
Thoifur merasa sangat tersanjung.
Saat dia melihat sosok gadis itu secara keseluruan, dalam sekejap dia merasa
sangat tertarik.
"Siapa
namamu?" tanya Thoifur sambil tersenyum.
"Milea,"
jawab gadis itu.
"Tahu siapa
saya?"
"Thoifur
Adji Pamungkas."
"Kamu tahu nama asliku?"
"Hehehe, iya."
"Hehehe. Aku kasih
tahu kamu sesuatu boleh?"
"Apa, Mas?
Boleh."
"Aku
punya kekuatan super. Bisa ngilangin benda."
"Beneran,
Mas?"
"Iya. Tinggal
merem. Hilang.”
"Hehehe."
“Hehehe.”
Perkenalan itu terjadi
begitu lancar. Esoknya Milea kembali datang di acara Thoifur. Mereka seperti
sahabat lama. Mereka cepat akrab. Entah bagaimana hari itu Thoifur ingin
mengajak Milea menikmati kopi di salah satu kafe. Milea mau.
"Bagaimana kamu bisa
pandai menulis begitu, Mas?" tanya Milea setelah menyesap nescafenya.
"Rajin-rajin baca.
Rajin-rajin nulis. Rajin-rajin
makan."
"Kok makan?"
"Iya,
kalau laper malas nulis."
"Hehehe."
Thoifur terperangah
oleh kilas kenangan itu. Ditutupnya album foto di ponsel. Thoifur berusaha
menepis bayangan gadis itu. Tapi tak pergi-pergi. Wajah Milea telah
menghipnotis hingga dia tak bisa lupa.
***
"Desi mulai
emosi," ujar Heru, duduk di hadapan Thoifur yang sedang tekun di depan
layar laptop. Mereka sedang di tempat favorit, sebuah kafe kecil yang punya
menu kopi yang khas.
"Kenapa dia?"
“Jangan pura-pura bego.
Gue tahu lo dari belum baligh.”
Thoifur menghela napas.
"Apa yang mesti
dicemburuin?"
"Menurutmu?"
Thoifur menutup
laptopnya lalu memandang wajah sahabatnya itu. "Dia berlebihan."
"Lo pasti nyimpen
sesuatu. Milea, seberapa jauh hubungan kalian?" tanya Heru.
Thoifur mendengus.
"Tak ada hubungan apa-apa. Sekadar pengagum lalu jadi temen. Hanya saja,
lo kalau jadi gue pasti ngerasain hal yang sama."
"Ngerasain gimana
maksudmu?"
"Dia itu gadis
yang menarik. Entah gimana, gue jadi inget dia terus. Semacam rindu yang aneh."
"Itu namanya lo
jatuh cinta."
Thoifur menggeleng.
"Gue gak ngerti. Tapi gue inget dia terus."
Heru menarik napas
panjang. "Inget, lo punya Desi. Hubungan kalian juga nggak bisa dibilang
sebentar."
Thoifur senyum.
"Terima kasih sudah diingatkan."
***
Desi cemberut.
Berkali-kali dia menelpon Thoifur tapi tak ada jawaban. Di kostnya juga tidak
ada orangnya. Kemudian dia memutuskan untuk ke rumah Heru.
"Thoifur
berubah," ujar Desi sesampainya bertemu Heru.
Lewat sudut matanya,
Heru melihat kemurungan di wajah Desi. Dulu Heru menduga hal seperti ini akan sering
terjadi. Desi akan cepat lelah menghadapi Thoifur, laki-laki cuek yang apatis
dan tak romantis sama sekali. Tapi ternyata mereka bisa menjalani hubungan itu
hingga dua tahun.
"Aku sebenarnya
tak mau ikut campur. Tapi dia mengabaikanmu," kata Heru tenang.
"Aku tak akan
kalah dengan gadis itu," ucap Desi meski dengan mata berkaca-kaca.
"Kekuatan macam
apa sampai kamu bisa bertahan seperti itu?" tanya Heru dengan nada
sarkatis.
"Karena aku
cinta."
"Cinta selalu buat
orang jadi bodoh," cibir Heru dengan nada pelan.
Desi tak memedulikan
omongan Heru. Dia malah meminta supaya Heru menelpon Thoifur agar tahu apakah
Thoifur memang sengaja tidak menjawab teleponnya atau tidak.
***
Di lain tempat, Thoifur
merasa perlu menenangkan diri dengan secangkir kopi, atau malah beberapa
cangkir. Dia terpekur, lalu menggeleng, lalu meremas rambutnya seperti orang
stress.
Belakangan dia
diganduli ingatan yang begitu lekat pada gadis Jogja itu. Dan perasaan bersalah
pada Desi yang tengah uring-uringan. Dia paham, pantas jika Desi bersikap
seperti itu. Meskipun Thoifur tak bermaksud menyisihkan Desi demi gadis lain.
Tapi perasaan tentang
Milea tak bisa dinafikan. Bahkan terbawa sampai ke alam mimpi. Mimpi itu
menjelma seperti bahasa rindu yang harus dituntaskan. Milea merentangkan
tangannya seolah mau memeluknya. Wajah cantiknya menyeret Thoifur semakin jauh.
Senyumnya menggemuruhkan dadanya.
Thoifur perlu
menenangkan diri. Entah sudah berapa panggilan tak terjawab dan SMS yang
memenuhi ponselnya.
Tiba-tiba sebuah ide
terbesit di pikirannya. Tanpa ragu dia memutuskan. Dia ingin ke Jogja. Dia
ingin menuntaskan perasaan aneh yang menggelayuti hari-harinya.
Thoifur menarik napas
dalam-dalam. Menit berikutnya dia sudah bergegas pergi meninggalkan Jakarta.
Hari sudah malam ketika
Thoifur tiba di Adisucipto International Airport. Thoifur segera menyetop
taksi. Dia sebutkan sebuah alamat di daerah Sleman pada sopir taksi. Lalu taksi
berwarna biru muda itu melaju. Di dalam taksi Thoifur tercenung. Entah apa yang
ada dalam benaknya tapi dia tahu, dia melakukan ini karena sesuatu. Sesuatu
yang sangat mengganggu dan akhirnya menggerakkan seluruh kesadarannya bahwa dia
harus datang kesini.
Milea
pernah menyebutkan sebuah alamat di daerah Sleman. Alamat tempat dia tinggal.
Thoifur ingin ke sana. Tapi ini sudah malam. Tidak mungkin bertamu malam-malam
begini apalagi ke rumah seorang perempuan. Thoifur memutuskan untuk mencari
penginapan di daerah sekitar situ. Besok pagi dia akan mendatangi tempat
tinggal Milea.
***
“Mbak
Lia? Ng…” Nia menjawab pertanyaan itu dengan nada mengambang.
Tadi
saat Thoifur mengetuk pintu rumahnya sambil mengucapkan salam, Nia sempat heran
seorang lelaki ganteng yang tidak dia kenal bertamu ke rumahnya. Lalu Thoifur
mengenalkan dirinya dan tujuannya bertamu, yaitu mencari kakaknya.
Kemudian Nia bercerita
jika kakaknya telah meninggal. Kontan saja hal itu membuat Thoifur terkaget.
Thoifur katakan yang sebenarnya pada Nia. Tentang pertemuannya dengan Milea
beberapa minggu yang lalu. Tentang perasaannya yang selalu dihantui rupa Milea
bahkan terbawa sampai mimpi.
“Mbak Lia sangat
mengagumimu, Mas. Di hari pertama kunjungannya ke seminar bukumu kemarin, saat
bisa foto dan kenalan sama kamu, berkali-kali dia menyebut namamu sesampainya
di rumah. Apalagi saat kamu ngajak dia ke kafe. Dia seneng banget. Dia nggak henti-hentinya cerita itu.”
Thoifur hanya menyimak
penuturan Nia sambil diam. Dia seperti belum siap dihantam kenyataan jika Milea
telah tiada.
Setelah dia kembali ke
Jakarta, sehari kemudian Milea mengalami kecelakaan. Sebuah mobil menabrak
Milea dan membuatnya mengalami pendarahan di kepala. Saat dilarikan ke rumah
sakit, Milea sudah tak tertolong.
Thoifur kini mengerti
apa yang sebenanya terjadi. Yang terjadi akhir-akhir ini adalah sebuh bahasa
rindu yang harus dituntaskan. Dan Thoifur kini telah menuntaskannya.
Thoifur meminta untuk
dikasih tahu di mana Milea dimakamkan. Nia dengan senang hati kasih tahu,
bahkan bersedia mengantarkan Thoifur kesana. Lalu mereka ke makam yang letaknya
tak jauh dari rumah Nia. Di sana Thoifur berdoa dengan khusuk. Semoga kamu bisa lebih tenang di sana
sekarang.
Setelah dari makam
Thoifur mohon diri untuk pulang. Nia mengucapkan terima kasih atas
kedatangannya. Lalu mereka berpisah. Thoifur memutuskan untuk langsung kembali
ke Jakarta.
***
Thoifur menaiki
anak-anak tangga pesawat. Sebelum benar-benar tenggelam di perut pesawat,
Thoifur melemparkan pandangannya ke lapang luas Bandara Adisucipto. Langit
Jogja di sore yang temaram, bentar lagi gelap. Langit yang pernah
mempertemukannya dengan gadis yang dengan luar biasa membuat hari-harinya jadi
berbeda dalam sebulan ini.
Diraih
ponselnya dalam saku. Tak ada panggilan atau pesan dari Desi sejak pagi. Dia
tahu, Desi terluka.
***
“Maafkan aku,” ucap
Thoifur sungguh-sungguh.
Desi
hanya menatapnya tanpa berkata. Sisa air mata masih tampak di pipi mulusnya.
“Aku
akan ceritakan yang sebenarnya. Tapi setelah itu tolong percayalah jika aku
tidak ada niatan sama sekali untuk menggantimu dengan gadis mana pun,” kata
Thoifur.
“Apa
yang ingin kamu ceritakan? Sudah ketemu gadis itu? Sudah puas? Tahu nggak sih kamu, aku mengkhawatirkanmu.
Kamu tahu semalaman aku nangisin kamu. Kepalaku penuh prasangka yang nggak-nggak. Sekarang kamu mau ngomong apa?” cerca Desi.
Gantian
Thoifur yang diam. Dia sadar telah begitu salah.
“Maaf.”
Mereka berdua terdiam. Setelah keadaan agak
membaik, Thoifur menceritakan apa yang dia dapat di Jogja. Thoifur bercerita
dengan apa adanya.
“Aku
sungguh tidak berniat berpaling dari kamu.”
Akhirnya
Desi bisa memahami. Desi melihat mata Thoifur yang memandangnya
sungguh-sungguh. Mata yang kembali bersinar seperti dulu. Hanya saja tampak
sedikit lelah. Tadi sesampainya di Jakarta, Thoifur langsung menuju ke rumah
Desi. Dia kelelahan.
“Kamu
butuh istirahat. Aku sayang kamu,” kata Desi akhirnya. Dia memberi kecupan di
pipi Thoifur.
Thoifur
lalu memeluk Desi hangat sebelum pamit pulang.
Kota Jepara, Rabu, 19 Juli 2017
No comments:
Post a Comment