Penulis: Havidz Antonio
Gubuk-gubuk di perkampungan kumuh itu hanyalah bendinding kardus, seng dan
kayu-kayu seadanya. Begitu sederhana dan ala kadarnya. Sekadar untuk mereka
berteduh dari terik matahari, dinginnya malam dan guyuran hujan. Dan ketika
malam tiba, kawanan nyamuk telah bersiap-siap mengisap darah penghuninya.
Maklum, di sini ada tempat yang yang di jadikan TPA. Bukan tempat penitipan
anak melainkan tempat pembuangan akhir. Meskipun belum menggunung-gunung
seperti TPA di desa-desa kumuh lain. Namun TPA ini cukup membuat resah warga.
Kondisi di perkampungan kumuh itu sangat tidak nyaman. Gubuk-gubuk saling
jejal. Tak ada halaman apalagi taman. Tak ada tumbuhan-tumbuhan besar yang
men-suplay udara segar. Semuanya serba sempit, pengap dan bau.
Pekerjaan warga di perkampungan ini hanyalah sebagai buruh-buruh kasar. Meski
sudah bekerja siang-malam tak kenal lelah. Namun nasib tak kunjung berubah.
Pangkat tak pernah naik. Lho? Memang mau naik ke mana? Naik ke jembatan sungai
seperti yang dulu pernah di lakukan salah seorang warga.
Ya. Seorang warga. Seorang lelaki
paruh baya yang karena tidak kuat menanggung beban hidup yang selalu susah. Dia
nekat terjun ke sungai. Mayatnya hanyut di bawa arus. Innalillahiwainnalillahiroji’un...
--0--
Ketika warga perkampungan kumuh itu
sedang menjalankan aktifitas seperti biasanya, tiba-tiba mereka di kagetkan
oleh suasana gaduh dan kacau.
“Robohkan gubuk-gubuk itu. Jangan ada yang tersisa. Ini perintah dari atasan.”
Petugas-petugas Tramtip bermunculan di iringi dengan dua traktor besar. Mereka
menjalankan tugas dari penguasa setempat untuk melakukan penggusuran di
perkampungan kumuh itu. Hal itu dilakukan dengan alasan untuk pembuatan TPA
yang lebih baik, yang telah di progamkan pemerintah. Memang, sebelumnya sudah
pernah diadakan konfirmasi mengenai penggusuran ini. Namun saat di tanya nasib warga
selanjutnnya, pemerintah bungkam. Warga enggan pindah karena memang tak punya
tempat tinggal lain.
Suasana panik segera manyelimuti perkampungan kumuh itu. Segera warga
menyelamatkan barang-barang mereka. Mereka menyelamatkan apa saja yang bisa di
selamatkan. Tidak ada perlawanan karena Tramtip datang secara tiba-tiba dan
dalam jumlah yang sangat banyak.
Di tengah-tengah keributan itu, Nurmi, gadis kecil berusia 9 tahun, salah sau
penduduk di perkampungan itu, tetap tenang mengais-ngais sampah di TPA untuk
mencari mainan-mainan bekas. Nurmi tidak mendengar kegaduhan-kegaduan di
sekitarnya karena dia memang tuli. Dia terus mengais-ngais sampah.
Nurmi kaget dan panik ketika dengan tiba-tiba tumpukan sampah longsor. Nurmi
mencoba menghindar supaya tidak tertimbun, namun kakinya tersangkut sesuatu dan
dia langsung terjatuh. Dia berteriak-teriak minta tolong namun tak ada satupun
ada yang mendengar. Bukan hanya karena suasana yang sangat gaduh sehingga tak
ada satupun yang mendengar teriakannya, namun lebih di sebabkan karena dia
bisu. Yah, dia tuli dan bisu.
***
Di sebuah gudang beras, Adam mendengar kabar kalau kampungnya sedang di gusur.
Dia segera lari tunggang langgang, pulang. Ketika sampai, dia sangat terkejut
melihat kampungnya telah remuk seperti habis di babat angin beliung yang sangat
dahsyat.
Dengan cemas Adam berlari di antara orang-orang yang masih ribut karena
kejadian penggusuran tadi. Dia pun menemukan rumah gubuknya telah rata dengan
tanah. Dan lebih dari itu semua, dia sangat gelisah karena tak menemukan
Nurmi, adik semata wayangnya yang tuli dan bisu. Adam mencari Nurmi
kesana-kesini, bertanya kemana-mana, namun dia tidak berhasil menemukan Nurmi.
Adam hanya bisa bersimpuh, meratap dan menangis. Dia merutuki nasib yang
tidak pernah baik kepadanya. Dia sudah kehilangan ibunya ketika
melahirkan Nurmi. Andai saja waktu itu mereka punya uang untuk pergi ke rumah
sakit, hal itu tak kan terjadi. Posisi bayinya sungsang, dukun bayi tak bisa
menyelamatkan nyawa sang ibu karena pendarahannya benar-benar parah.
Tidak sampai di sini musibah yang menimpa keluarga Adam. Untuk kedua kalinya
dia harus kehilangan orang yang di kasihinya. Ayahnya stres berat karena
kehilangan sang istri. Juga karena ekonomi yang tak kunjung membaik. Hal itu
membuatnya sakit-sakitan. Sementara keuangan mereka sangat tidak mencukupi
untuk berobat ke dokter. Pada akhirnya si ayah bunuh diri dengan terjun dari
atas jembatan. Adam tentu saja sangat terpukul jiwanya. Dia resmi menjadi yatim
piatu. Namun Adam tidak mau berlarut-larut dalam kesedian. Adam berusaha
bangkit karena dia harus menghidupi diri dan Nurmi yang ketika itu masih
berumur 4 tahun.
Dan sekarang dia kehilangan Nurmi, satu-satunya yang dia miliki sekarang. Dia
tidak tahu harus mencarinya kemana lagi. Adam menangis sesenggukan. Menggerutui
nasib. Memaki-maki pemerintah yang telah memusnakan rumahnya. Dia geram sekali
dengan pemerintah yang seenaknya sendiri itu.
Dalam keputus-asaannya mencari Nurmi, dia teringat bahwa dia pernah bermimpi
tentang seekor srigala. Srigala itu muncul dari tumpukan sampah. Srigala
dalam mimpinya itu tidak berbulu putih, cokelat ataupun hitam. Namun serigala
itu memakai jas dan berdasi. Srigala itu melolong-lolong sebelum akhirnya
menerkam Nurmi yang ketika itu sedang bermain dan membawanya kembali ke dalam
tumpukan sampah.
Adam sangat geram dengan srigala itu. Sama geramnya dia kepada yang telah
merobohkan kampungnya itu yang bukan lain adalah pemerintah yang seenaknya
sendiri itu. Dia memaki-maki dan melontarkan sumpah serapah, namun hanya angin
yang meresponnya.
Kemudian Adam melangkah lunglai menuju TPA dengan air mata kesedihan yang
teramat.
No comments:
Post a Comment