Aku di lahirkan dari
sebuah keluarga berada. Sejak kecil hidup enak, semua ada. Dan aku anak tunggal.
Semua keinginanku terkabul. Ayahku pejabat negara, sementara ibuku mantan
seorang model terkenal. Dulu aku mengira kehidupan keluargaku baik-baik saja. Walaupun
ayah jarang pulang ke rumah kami yang sangat megah. Hingga lama-lama setelah
aku cukup dewasa, aku tahu bahwa ibu hanyalah wanita simpanan ayah. Lelaki yang
kupanggil ayah itu mempunyai istri lain dan anak-anak lain. Rumah yang mereka
tempati bahkan jauh lebih megah daripada yang kami tempati sekarang.
Saat aku kelas 5 Sd
ayah jarang sekali pulang. Seminggu kadang sama sekali tidak pulang. Dan ketika
pulang, sering kali kudengar ibu dan ayah bertengkar. Lalu ayah pergi lagi.
Pulang lagi. Bertengkar lagi. Hingga sama sekali tidak pernah pulang. Dan kabar
yang kudengar ayah telah di perjara karena kasus korupsi. Rumah kami yang megah
di sita. Dalam sekejap hidupku berubah.
Ibu jadi jarang di
rumah sejak kami tinggal di kontrakan. Katanya, dia bekerja. Bekerja apa aku
tidak ambil pusing. Banyak selentingan kabar ibuku menjadi wanita malam. Aku tidak
tahu wanita malam itu bekerjanya seperti apa karena waktu itu aku masih kecil.
Aku senang ketika ibu pulang bekerja selalu ada makanan enak untuk kumakan.
Sering juga ada om-om datang ke kontrakan kami. Ada om-om yang baik yang
membawakanku buah-buahan dan mainan, tapi ada juga om-om yang memandangku tak
suka.
Ada satu om yang sering
sekali datang ke kontrakan dan mengajak ibu keluar. Om itu memakai mobil mewah
berwarna silver. Lambat laun aku tahu namanya om Andrea. Dia orang Australia.
Orangnya tak begitu suka denganku dan aku pun sama tak suka padanya. Aku benci
orang itu karena sejak ada orang itu ibu jadi jarang sekali pulang ke rumah.
Dan karena dia pula ibu tega meninggalkanku di panti asuhan.
“Dengarkan ibu, Davi.
Ibu tidak meninggalkanmu selamanya. Ibu akan sering menjengukmu. Nanti kalau
sudah waktunya kita akan tinggal bersama-sama lagi. Untuk sementara kamu
tinggal di sini, ya, Nak. Kamu akan punya banyak teman di sini” kata ibu lalu
pergi meninggalkanku.
--0--
Kenyataannya banyak
yang tidak menyukaiku di panti asuhan ini, bahkan ibu-ibu pengasuh pun tak
menyukaiku. Mereka tahu aku anak dari koruptor. Hanya karena sumbangan dari ibu
aku di perbolehkan tinggal di sini.
Aku mulai kembali
sekolah seperti dahulu. Itu sedikit mengobati rasa stress ku di sini. Tapi
lama-lama aku tak tahan juga. Aku menjadi nakal. Aku sering mengacau di kelas
dan di panti. Mereka menghukumku. Mereka mencibirku. Dan aku tak ambil pusing.
karena dengan kenakalanku itu aku mendapatkan kepuasan tersendiri.
“Dasar anak koruptor,
pantesan nakal kayak setan” seorang anak gendut tiba-tiba mengatakan itu.
Kudatangi dia lalu aku memukulnya sampai giginya copot. Dia menangis menjerit-jerit.
Akibatnya, aku di keluarkan dari panti. Sejujurnya aku malah senang sekali bisa
bebas dari tempat sialan ini. Namun, ternyata habis keluar dari kandang ini ibu
malah memasukanku ke pesantren.
Tinggal di pesantren
sangat tidak menyenangkan. Walaupun di sini banyak orang yang baik terhadapku
namun aku tidak suka dengan tempat ini. Isinya hanya mengaji, mengaji dan
mengaji. Di sini, subuh sudah harus bangun, padahal dulu waktu aku masih
tinggal di rumah yang mewah aku tak pernah bangun subuh. Aku tak tahan tinggal
di pesantren. Aku berusaha kembali berulah seperti waktu di panti, namun di
sini peraturannya sangat ketat.
Kenakalanku hanya berbuah hukuman-hukuman dari pengurus pesantren.
Setidaknya di tempat
ini aku mempunyai teman, Joe dan Rahim. Sama sepertiku mereka juga tidak suka
tinggal di pesantren. Kami sering bolos sekolah dan mengaji. Kami pergi ke
warung remang-remang. Memesan kopi, merokok dan main remi.
“Tak tahan lagi aku di
pesantren, aku ingin bebas. Aku ingin hidup di jalanan saja,” kataku pada
mereka.
“Kamu mau hidup di
jalanan? dulu aku hidup di jalanan. Aku bisa membantumu Dav,” kata Joe. Lalu
dia bercerita kalau dulu sebelum di pesantren dia hidup sebagai pengamen
jalanan. Dari ceritanya itu aku mendapatkan bayangan jika hidup seperti itu
akan membuatku nyaman. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku tidak peduli lagi
baik atau salah. Aku menguatkan tekadku keluar dari pesantren. Joe memberiku
sebuah alamat. Katanya dulu dia tinggal di situ bersama Bang Ipung dan
teman-teman jalanan yang lainnya. Bang Ipung katanya adalah preman yang di
takuti banyak orang.
Diam-diam aku kabur
dari pesantren. Aku mencari alamat yang di berikan Joe. Alamat itu menuju ke
sebuah perkampungan kumuh dekat rel kereta api. Tak mudah mencari alamat ini
hingga ku temukan, entah aku harus menamakan ini gudang atau rumah atau gubuk
dan aku bertemu seorang lelaki berbadan tegap , berambut gondrong dan memiliki
tato kalajengking di pangkal lengannya. Wajahnya galak dan kasar, dia melotot
kepadaku membuatku takut.
“Siapa lu? Ngapain ke
sini? Mau cari mati?” katanya galak.
Sambil tergagap aku
menceritakan tentang Joe. Dia manggut-manggut kayak ayam berjalan.
“Bang, jadikan aku
preman ?”
--0--
Bang ipung ketawa dan
aku merasa itu pertanda buruk. Aku bisa saja langsung di gebuki preman ini.
Untuk apa dia repot-repot meladeniku, orang yang tak di kenal. Namun ternyata
aku salah. Dia membelai rambutku. Awalnya aku risih namun ternyata itu
membuatku nyaman. Aku bisa langsung terbuka
padanya. Aku menceritakan semua masalahku, semua yang kurasa sangat
berat ku jalani.
“Di sini lu akan menemukan
kedamaian” kata bang Ipung,
Sejak hari itu aku
numpang tinggal di sini. Aku di kenalkan dengan teman-teman pengamen. Aku pun mulai
mengamen. Uang hasil mengaen sebagian kuserahkan buat Bang Ipung untuk biaya
listrik dan makan sehari-hari, sebagian lagi untuk aku membeli rokok. Setiap
hari begitu terus. Dan lama-lama aku mulai ‘ngelem’. kata mereka dengan
‘ngelem’ bisa meringankan beban hidup yang keras. Memang benar. Ketika aku
menghirup benda ini aku merasa beban hidup dan kekecewaan terhadap semua yang
kujalani ini terasa ringan.
Tidak hanya ‘ngelem’,
jika ada duit lebih aku membeli pil seperti megadon, rohipnol, koplo atau BK.
Bang Ipung mengajariku melakukan semua hal itu. Sejak mengkonsumsi pil-pil itu
aku menjadi cepat marah. Suka berbuat seenaknya sendiri. Suka linglung. Suka
menguap dan jika tak mengkonsumsi pil-pil itu badanku rasanya pegal-pegal panas
dingin.
Dari teman-teman sesama
pengamen aku tahu efek dari obat-obatan itu sangat buruk. Namun aku sudah tidak
peduli lagi. Mau mati sekarang atau besok sama saja. Dunia ini bagiku sudah
begitu tak enak lagi di huni.
Namun, suatu malam ketika
aku pulang dari mengamen Bang Ipung menarik paksa tubuhku ke dalam rumah . Aku
mengira dia mencari uang yang aku sembunyikan di dalam celana dalam. Aku sudah
bilang semua uang yang kudapat sudah kuberikan padanya. Namun dia tetap
melucuti pakianku. Dan ternyata dugaanku salah. Dia bukannya sedang mencari
uang, aku tiba-tiba merasa sesuatu memasuki duburku. Rasanya sakit sekali. Bang
ipung mendekapku kuat sekali dan membekap mulutku. Aku ingin berteriak minta
tolong. Namun tak ada yang keluar dari mulutku karena dia membekapku sangat
kuat sampai mulutku berdarah. Bang ipung kesetanan dan mendesah-desah kayak babi.
Kemudian dia berhenti melakukan itu setelah kudengar rintihan senangnya yang
membuatku muak.
Dia meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah katapun, Dia
langsung mendengkur di kamarnya yang kayak kandang ayam. Aku hanya bisa
menangis sambil memakai lagi pakaianku. Aku tak rela di perlakukan seperti itu.
Aku benci sekali dengan preman bangsat ini. Aku berniat membalas perlakuannya
ini. Dia mungkin mengira aku tak berani. Tapi dia salah sangka kalau mengira
seperti itu.
Aku melihat bekas botol
bir tergeletak, ku ambil benda itu. Bang Ipung tergeletak ngorok seperti mayat.
Dengan kebencian yang teramat dan tanpa ragu sedikitpun kupukulkan bekas botol
bir ini ke kepala manusia brengsek di depanku ini. Dia bangun dan
mengerjap-ngerjap kesakitan. Botol bir pecah, kepalanya berdarah. Dia menjerit-jerit
kesakitan. Belum puas ku ambil kursi kayu kecil yang sudah reyot. Ku hantamkan berkali-kali sampai dia tak lagi
menjerit. Aku tiba-tiba mulai panik namun tak kurasa rasa penyesalan sedikitpun.
Ku lihat dia masih bernapas tapi tak sadarkan diri. Lebih baik aku cepat pegi
dari sini sebelum anak buahnya yang lain datang kesini. Aku lari
pontang-panting sejauh mungkin dari tempat ini.
Aku harus mencari
tempat sejauh mungkin dari tempat tinggal Bang Ipung. Kabar tentang keadaannya
akan cepat tersebar dan anak buahnya akan mencari dan membunuhku. Aku tak tahu
apakah orang itu mati atau masih hidup. Aku berharap dia mati saja
--0--
Sudah lima hari sejak
kejadian malam itu dan kini aku terlunta-lunta dan kelaparan. Aku makan apa
saja yang bisa kutemukan dan minum air sebanyak-banyaknya jika aku menemukan
kran air. Aku tidur di depan-depan toko atau minimarket. Kadang jika beruntung
ada orang yang memberiku sebungkus nasi rames.
Dan buruknya hidupku
ternyata tak sampai di sini saja. Saat aku sedang berjalan lunglai karena
kelaparan. Dua orang menyeretku ke sebuah gang yang sepi. Aku melihat mereka.
Sepertinya aku kenal. Yah, mereka adalah anak buah Bang Ipung. Aku rasa dengan
tenaga yang seperti ini aku tak kan sanggup melawan mereka. Kematianku sudah
dekat. Mereka menggebukiku tanpa ampun. Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk
berteriak. Kulihat samar-samar bentuk yang menjijikan seperti setan –kurasa itu
benar-benar setan- tertawa-tawa mengejekku. Aku ingin marah tapi percuma saja.
Apa yang bisa kulakukan? Mungkin mati akan lebih baik. Cepatlah matikan aku…
Dan aku rasa aku memang
sudah mati. Aku tak sadar lagi.
--0--
Aku membuka mata.
Kesadaranku perlahan pulih. Apakah ini surga? Ah, mana mungkin. Aku kok di
tempatkan di surga itu sama sekali tak mungkin. Kalau ini neraka aku baru
percaya. Tapi neraka kok tak seperti kata orang-orang, ya? Tak ada api. Tak ada
malaikat yang menyiksa. Tak ada teriakan-teriakan kesakitan. Yang ada malah
selang infus yang nempel di tanganku. Dan beberapa orang berpeci. Aku malah
bingung.
“Di mana aku? Ini
neraka? Siapa kalian?” aku bertanya. Aku
rasa pertanyaanku barusan terdengar seperti desahan saking lemahnya aku.
“Tenanglah, Dik. Kamu aman
di sini. Kami menemukanmu di keroyok dua preman. Saat kami mengusir
preman-preman itu kamu sudah tak sadarkan diri. Lalu kami membawamu ke
puskesmas ini ” kata seorang di antara mereka. Orang itu nampak paling tua di
antara yang lain.
“Jadi aku belum mati? Sial… padahal aku lebih
suka kalau aku mati saja.”
Serentak mereka kaget
dengan ucapanku.
“Astagfirullah, istigfar dik. Hidup itu anugerah, Dik."
“Tapi tidak untuk aku.”
Orang yang paling tampak
tua itu menatap teman-temannya satu persatu. Mereka mengangguk-ngangguk lalu
satu persatu meninggalkan kami berdua.
“Kalau adik berkenan
adik bisa menceritakan semua yang adik rasakan kepada saya. Nama saya Hasyim,” kata
orang itu lembut sekali di telingaku.
Aku ragu untuk
menceritakan semuanya. Hasyim berkata dia tak kan memberitahukan kepada siapun
dan dia juga tidak memaksaku. Kata-katanya lembut membuatku akhirnya bercerita.
Ku tumpahkan semuanya kepada Hasyim. Air mata pun meleleh. Aku tak kuasa
menahan semua ini sendiri. Dalam lubuk hatiku aku ingin kembali ke kehidupan
kecilku yang dulu. Aku ingin seperti orang lain yang mempunyai keluarga utuh.
Aku ingin kembali sekolah. Aku ingin berbuat baik kepada sesama.
“Tak perlu kamu
bersedih lagi, Dik. Sekarang kamu punya keluarga baru. Jika kamu berkenan tinggalah
bersama kami. Kami akan dengan senang hati menerimamu sebagai keluarga.” kata
Hasyim. Hasyim menyakinkanku bahwa aku harus kembali ke kehidupan yang lurus.
Kemudian Hasyim bersama
teman-temannya sering menjengukku. Mereka juga membawakan makanan-makanan enak.
Mereka menceritakan lelucon yang banyak mengandung nilai kebaikan. Mereka juga
menceritakan tentang diri mereka. Ternyata mereka banyak yang berasal dari
keluarga broken home juga. Dan mereka
senang tinggal di tempat mereka sekarang, yang ternyata adalah LSM yang di
donaturi orang-orang yang peduli terhadap kami. Mereka juga meyakinkanku bahwa
aku akan senang tinggal bersama mereka. Mereka bilang bahwa aku sudah menjadi
bagian dari mereka. Aku jadi tidak sabar untuk cepat pulih dan memulai hidup
yang baru. Aku ingin menjadi orang baik lagi karena sekarang aku mempunyai
orang-orang yang menyayangiku.
Aku mungkin telah menemukan rumahku kembali.
Penulis,
Havidz Antonio
No comments:
Post a Comment