Search This Blog

Sunday, March 5, 2017

Jadikan Aku Preman



Aku di lahirkan dari sebuah keluarga berada. Sejak kecil hidup enak, semua ada. Dan aku anak tunggal. Semua keinginanku terkabul. Ayahku pejabat negara, sementara ibuku mantan seorang model terkenal. Dulu aku mengira kehidupan keluargaku baik-baik saja. Walaupun ayah jarang pulang ke rumah kami yang sangat megah. Hingga lama-lama setelah aku cukup dewasa, aku tahu bahwa ibu hanyalah wanita simpanan ayah. Lelaki yang kupanggil ayah itu mempunyai istri lain dan anak-anak lain. Rumah yang mereka tempati bahkan jauh lebih megah daripada yang kami tempati sekarang.
Saat aku kelas 5 Sd ayah jarang sekali pulang. Seminggu kadang sama sekali tidak pulang. Dan ketika pulang, sering kali kudengar ibu dan ayah bertengkar. Lalu ayah pergi lagi. Pulang lagi. Bertengkar lagi. Hingga sama sekali tidak pernah pulang. Dan kabar yang kudengar ayah telah di perjara karena kasus korupsi. Rumah kami yang megah di sita. Dalam sekejap hidupku berubah.
Kemudian ibu menyewa apartemen untuk kami tinggali. Namun belum ada 3 bulan kami sudah pindah dari apartemen ke sebuah kontrakan yang kecil dan sempit. Ibu tak punya cukup uang lagi untuk menyewa apartemen yang mahal. Hidup kami serba kekurangan sejak saat itu. Aku tidak lagi sekolah. Aku menghabiskan waktu bermain dengan anak-anak sekitar kontrakan. Berbeda dari teman-temanku dulu yang bersih, rapi dan bermain dengan mobil-mobilan mahal, teman-temanku di lingkungan ini sangat kotor dan mainan termahal kami hanya sepak bola.
Ibu jadi jarang di rumah sejak kami tinggal di kontrakan. Katanya, dia bekerja. Bekerja apa aku tidak ambil pusing. Banyak selentingan kabar ibuku menjadi wanita malam. Aku tidak tahu wanita malam itu bekerjanya seperti apa karena waktu itu aku masih kecil. Aku senang ketika ibu pulang bekerja selalu ada makanan enak untuk kumakan. Sering juga ada om-om datang ke kontrakan kami. Ada om-om yang baik yang membawakanku buah-buahan dan mainan, tapi ada juga om-om yang memandangku tak suka.
Ada satu om yang sering sekali datang ke kontrakan dan mengajak ibu keluar. Om itu memakai mobil mewah berwarna silver. Lambat laun aku tahu namanya om Andrea. Dia orang Australia. Orangnya tak begitu suka denganku dan aku pun sama tak suka padanya. Aku benci orang itu karena sejak ada orang itu ibu jadi jarang sekali pulang ke rumah. Dan karena dia pula ibu tega meninggalkanku di panti asuhan.
“Dengarkan ibu, Davi. Ibu tidak meninggalkanmu selamanya. Ibu akan sering menjengukmu. Nanti kalau sudah waktunya kita akan tinggal bersama-sama lagi. Untuk sementara kamu tinggal di sini, ya, Nak. Kamu akan punya banyak teman di sini” kata ibu lalu pergi meninggalkanku.
--0--
Kenyataannya banyak yang tidak menyukaiku di panti asuhan ini, bahkan ibu-ibu pengasuh pun tak menyukaiku. Mereka tahu aku anak dari koruptor. Hanya karena sumbangan dari ibu aku di perbolehkan tinggal di sini.  
Aku mulai kembali sekolah seperti dahulu. Itu sedikit mengobati rasa stress ku di sini. Tapi lama-lama aku tak tahan juga. Aku menjadi nakal. Aku sering mengacau di kelas dan di panti. Mereka menghukumku. Mereka mencibirku. Dan aku tak ambil pusing. karena dengan kenakalanku itu aku mendapatkan kepuasan tersendiri.
“Dasar anak koruptor, pantesan nakal kayak setan” seorang anak gendut tiba-tiba mengatakan itu. Kudatangi dia lalu aku memukulnya sampai giginya copot. Dia menangis menjerit-jerit. Akibatnya, aku di keluarkan dari panti. Sejujurnya aku malah senang sekali bisa bebas dari tempat sialan ini. Namun, ternyata habis keluar dari kandang ini ibu malah memasukanku ke pesantren.
Tinggal di pesantren sangat tidak menyenangkan. Walaupun di sini banyak orang yang baik terhadapku namun aku tidak suka dengan tempat ini. Isinya hanya mengaji, mengaji dan mengaji. Di sini, subuh sudah harus bangun, padahal dulu waktu aku masih tinggal di rumah yang mewah aku tak pernah bangun subuh. Aku tak tahan tinggal di pesantren. Aku berusaha kembali berulah seperti waktu di panti, namun di sini peraturannya  sangat ketat. Kenakalanku hanya berbuah hukuman-hukuman dari pengurus pesantren.
Setidaknya di tempat ini aku mempunyai teman, Joe dan Rahim. Sama sepertiku mereka juga tidak suka tinggal di pesantren. Kami sering bolos sekolah dan mengaji. Kami pergi ke warung remang-remang. Memesan kopi, merokok dan main remi.
“Tak tahan lagi aku di pesantren, aku ingin bebas. Aku ingin hidup di jalanan saja,” kataku pada mereka.
“Kamu mau hidup di jalanan? dulu aku hidup di jalanan. Aku bisa membantumu Dav,” kata Joe. Lalu dia bercerita kalau dulu sebelum di pesantren dia hidup sebagai pengamen jalanan. Dari ceritanya itu aku mendapatkan bayangan jika hidup seperti itu akan membuatku nyaman. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku tidak peduli lagi baik atau salah. Aku menguatkan tekadku keluar dari pesantren. Joe memberiku sebuah alamat. Katanya dulu dia tinggal di situ bersama Bang Ipung dan teman-teman jalanan yang lainnya. Bang Ipung katanya adalah preman yang di takuti banyak orang.
Diam-diam aku kabur dari pesantren. Aku mencari alamat yang di berikan Joe. Alamat itu menuju ke sebuah perkampungan kumuh dekat rel kereta api. Tak mudah mencari alamat ini hingga ku temukan, entah aku harus menamakan ini gudang atau rumah atau gubuk dan aku bertemu seorang lelaki berbadan tegap , berambut gondrong dan memiliki tato kalajengking di pangkal lengannya. Wajahnya galak dan kasar, dia melotot kepadaku membuatku takut.
“Siapa lu? Ngapain ke sini? Mau cari mati?” katanya galak.
Sambil tergagap aku menceritakan tentang Joe. Dia manggut-manggut kayak ayam berjalan.
“Bang, jadikan aku preman ?”
--0--
Bang ipung ketawa dan aku merasa itu pertanda buruk. Aku bisa saja langsung di gebuki preman ini. Untuk apa dia repot-repot meladeniku, orang yang tak di kenal. Namun ternyata aku salah. Dia membelai rambutku. Awalnya aku risih namun ternyata itu membuatku nyaman. Aku bisa langsung terbuka  padanya. Aku menceritakan semua masalahku, semua yang kurasa sangat berat ku jalani.
“Di sini lu akan menemukan kedamaian” kata bang Ipung,
Sejak hari itu aku numpang tinggal di sini. Aku di kenalkan dengan teman-teman pengamen. Aku pun mulai mengamen. Uang hasil mengaen sebagian kuserahkan buat Bang Ipung untuk biaya listrik dan makan sehari-hari, sebagian lagi untuk aku membeli rokok. Setiap hari begitu terus. Dan lama-lama aku mulai ‘ngelem’. kata mereka dengan ‘ngelem’ bisa meringankan beban hidup yang keras. Memang benar. Ketika aku menghirup benda ini aku merasa beban hidup dan kekecewaan terhadap semua yang kujalani ini terasa ringan.
Tidak hanya ‘ngelem’, jika ada duit lebih aku membeli pil seperti megadon, rohipnol, koplo atau BK. Bang Ipung mengajariku melakukan semua hal itu. Sejak mengkonsumsi pil-pil itu aku menjadi cepat marah. Suka berbuat seenaknya sendiri. Suka linglung. Suka menguap dan jika tak mengkonsumsi pil-pil itu badanku rasanya pegal-pegal panas dingin.
Dari teman-teman sesama pengamen aku tahu efek dari obat-obatan itu sangat buruk. Namun aku sudah tidak peduli lagi. Mau mati sekarang atau besok sama saja. Dunia ini bagiku sudah begitu tak enak lagi di huni.
Namun, suatu malam ketika aku pulang dari mengamen Bang Ipung menarik paksa tubuhku ke dalam rumah . Aku mengira dia mencari uang yang aku sembunyikan di dalam celana dalam. Aku sudah bilang semua uang yang kudapat sudah kuberikan padanya. Namun dia tetap melucuti pakianku. Dan ternyata dugaanku salah. Dia bukannya sedang mencari uang, aku tiba-tiba merasa sesuatu memasuki duburku. Rasanya sakit sekali. Bang ipung mendekapku kuat sekali dan membekap mulutku. Aku ingin berteriak minta tolong. Namun tak ada yang keluar dari mulutku karena dia membekapku sangat kuat sampai mulutku berdarah. Bang ipung kesetanan dan mendesah-desah kayak babi. Kemudian dia berhenti melakukan itu setelah kudengar rintihan senangnya yang membuatku muak.
Dia meninggalkanku tanpa mengucapkan sepatah katapun, Dia langsung mendengkur di kamarnya yang kayak kandang ayam. Aku hanya bisa menangis sambil memakai lagi pakaianku. Aku tak rela di perlakukan seperti itu. Aku benci sekali dengan preman bangsat ini. Aku berniat membalas perlakuannya ini. Dia mungkin mengira aku tak berani. Tapi dia salah sangka kalau mengira seperti itu.
Aku melihat bekas botol bir tergeletak, ku ambil benda itu. Bang Ipung tergeletak ngorok seperti mayat. Dengan kebencian yang teramat dan tanpa ragu sedikitpun kupukulkan bekas botol bir ini ke kepala manusia brengsek di depanku ini. Dia bangun dan mengerjap-ngerjap kesakitan. Botol bir pecah, kepalanya berdarah. Dia menjerit-jerit kesakitan. Belum puas ku ambil kursi kayu kecil yang sudah reyot.  Ku hantamkan berkali-kali sampai dia tak lagi menjerit. Aku tiba-tiba mulai panik namun tak kurasa rasa penyesalan sedikitpun. Ku lihat dia masih bernapas tapi tak sadarkan diri. Lebih baik aku cepat pegi dari sini sebelum anak buahnya yang lain datang kesini. Aku lari pontang-panting sejauh mungkin dari tempat ini.
Aku harus mencari tempat sejauh mungkin dari tempat tinggal Bang Ipung. Kabar tentang keadaannya akan cepat tersebar dan anak buahnya akan mencari dan membunuhku. Aku tak tahu apakah orang itu mati atau masih hidup. Aku berharap dia mati saja
--0--
Sudah lima hari sejak kejadian malam itu dan kini aku terlunta-lunta dan kelaparan. Aku makan apa saja yang bisa kutemukan dan minum air sebanyak-banyaknya jika aku menemukan kran air. Aku tidur di depan-depan toko atau minimarket. Kadang jika beruntung ada orang yang memberiku sebungkus nasi rames.
Dan buruknya hidupku ternyata tak sampai di sini saja. Saat aku sedang berjalan lunglai karena kelaparan. Dua orang menyeretku ke sebuah gang yang sepi. Aku melihat mereka. Sepertinya aku kenal. Yah, mereka adalah anak buah Bang Ipung. Aku rasa dengan tenaga yang seperti ini aku tak kan sanggup melawan mereka. Kematianku sudah dekat. Mereka menggebukiku tanpa ampun. Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk berteriak. Kulihat samar-samar bentuk yang menjijikan seperti setan –kurasa itu benar-benar setan- tertawa-tawa mengejekku. Aku ingin marah tapi percuma saja. Apa yang bisa kulakukan? Mungkin mati akan lebih baik. Cepatlah matikan aku…
Dan aku rasa aku memang sudah mati. Aku tak sadar lagi.
--0-- 
Aku membuka mata. Kesadaranku perlahan pulih. Apakah ini surga? Ah, mana mungkin. Aku kok di tempatkan di surga itu sama sekali tak mungkin. Kalau ini neraka aku baru percaya. Tapi neraka kok tak seperti kata orang-orang, ya? Tak ada api. Tak ada malaikat yang menyiksa. Tak ada teriakan-teriakan kesakitan. Yang ada malah selang infus yang nempel di tanganku. Dan beberapa orang berpeci. Aku malah bingung.
“Di mana aku? Ini neraka? Siapa kalian?”  aku bertanya. Aku rasa pertanyaanku barusan terdengar seperti desahan saking lemahnya aku.
“Tenanglah, Dik. Kamu aman di sini. Kami menemukanmu di keroyok dua preman. Saat kami mengusir preman-preman itu kamu sudah tak sadarkan diri. Lalu kami membawamu ke puskesmas ini ” kata seorang di antara mereka. Orang itu nampak paling tua di antara yang lain.
 “Jadi aku belum mati? Sial… padahal aku lebih suka kalau aku mati saja.”
Serentak mereka kaget dengan ucapanku.
Astagfirullah, istigfar dik. Hidup itu anugerah, Dik."
“Tapi tidak untuk aku.”
Orang yang paling tampak tua itu menatap teman-temannya satu persatu. Mereka mengangguk-ngangguk lalu satu persatu meninggalkan kami berdua.
“Kalau adik berkenan adik bisa menceritakan semua yang adik rasakan kepada saya. Nama saya Hasyim,” kata orang itu lembut sekali di telingaku.
Aku ragu untuk menceritakan semuanya. Hasyim berkata dia tak kan memberitahukan kepada siapun dan dia juga tidak memaksaku. Kata-katanya lembut membuatku akhirnya bercerita. Ku tumpahkan semuanya kepada Hasyim. Air mata pun meleleh. Aku tak kuasa menahan semua ini sendiri. Dalam lubuk hatiku aku ingin kembali ke kehidupan kecilku yang dulu. Aku ingin seperti orang lain yang mempunyai keluarga utuh. Aku ingin kembali sekolah. Aku ingin berbuat baik kepada sesama.
“Tak perlu kamu bersedih lagi, Dik. Sekarang kamu punya keluarga baru. Jika kamu berkenan tinggalah bersama kami. Kami akan dengan senang hati menerimamu sebagai keluarga.” kata Hasyim. Hasyim menyakinkanku bahwa aku harus kembali ke kehidupan yang lurus.
Kemudian Hasyim bersama teman-temannya sering menjengukku. Mereka juga membawakan makanan-makanan enak. Mereka menceritakan lelucon yang banyak mengandung nilai kebaikan. Mereka juga menceritakan tentang diri mereka. Ternyata mereka banyak yang berasal dari keluarga broken home juga. Dan mereka senang tinggal di tempat mereka sekarang, yang ternyata adalah LSM yang di donaturi orang-orang yang peduli terhadap kami. Mereka juga meyakinkanku bahwa aku akan senang tinggal bersama mereka. Mereka bilang bahwa aku sudah menjadi bagian dari mereka. Aku jadi tidak sabar untuk cepat pulih dan memulai hidup yang baru. Aku ingin menjadi orang baik lagi karena sekarang aku mempunyai orang-orang yang menyayangiku.
Aku mungkin telah menemukan rumahku kembali.

Penulis,
Havidz Antonio

No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...