Sudah larut malam, sekitar jam setengah
satu. Jalanan sepi dan lengang. Tinggal segelintir orang yang masih terjaga.
Itupun cuma bapak-bapak yang asyik ngobrol
ngalor-ngidul sambil main catur di warung-warung kopi pinggir jalan. Sementara
lampu-lampu kota masih berkelap-kelip
megah, menghiasi malam yang dingin.
Seperti biasa, jam segini Arya baru
pulang dari siaran. Pria dua puluh empat tahun itu berprofesi sebagai
seorang penyiar radio yang cukup terkenal
di kota Jepara. Jam kerjanya sampai selarut ini kalau malam Selasa dan Minggu. Baginya, menjadi
seorang penyiar radio profesi yang sangat menyenangkan dan menguntungkan. Di
samping nilai komersilnya yang bisa untuk menambah uang kuliah, dia juga mendapatkan
banyak pengalaman dan pengetahuan. Terutama di bidang musik dan ertentaint.
Biasanya, jika pulang dari siaran, Arya lebih suka
melewati jembatan
merah. Walau dia bisa saja lewat tengah kota, lebih aman. Hanya saya lewat jalur jembatan merah lebih
cepat sampai ke kostnya.
Jembatan itu di namakan jembatan merah
karena memang warna jembatannya merah. Panjangnya tidak seberapa dan lebarnya
bahkan tidak muat di lewati dua motor bersimpangan. Jadi harus bergantian kalau
mau lewat. Sedangkan di bawah jembatan merah itu, sebuah sungai yang airnya tidak jernih
juga tidak terlalu keruh. Sekarang mana ada sih, sungai di perkotaan yang airnya
betul-betul jernih?
Saat mau melewati jembatan merah itu,
Arya melihat
sesosok manusia di ujung jembatan sebelah selatan. Karena panjang jembatan yang
tidak terlalu panjang, Arya bisa melihat kalau sosok itu seorang gadis. Segala
pikiran berkecamuk di benak Arya. Mulai dari hantu kuntil anak sampai gadis
yang mau mencoba bunuh diri. Lekas Arya menyeberang.
Di dorong oleh perasaan ingin tahu, Arya
turun dari motornya. Sesaat dia memerhatikan
gadis itu. Wajahnya tampak kuyuh. Tatapannya sedih menuju ke arah air sungai
yang berkilau di terpa sinar rembulan. Maka pikirannya tentang seorang gadis
yang mau bunuh diri semakin kuat. Arya memberanikan diri untuk mendekati gadis
itu.
“Sendirian Mbak?” Arya menyapa bersahabat. Gadis itu mengangguk sekali.
Arya terdiam beberapa saat. Dia memikirkan apa yang harus
ia lakukan. Sangat tak lazim, seorang gadis cantik duduk sendirian di pinggir
sungai?
“Boleh
ikut duduk di sini?”
Gadis itu hanya mengangguk sekali lagi tanpa
mengalihkan perhatiannya.
“Larut
malam begini sendirian,
Apa tidak takut?” tanya Arya.
“Takut
dari apa?” kata gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya.
“Hantu
mungkin?” jawab Arya ngasal.
“Nggak,”
kata gadis itu, masih tanpa mengalihkan perhatiannya.
Arya tidak tahu mesti ngapain.
Mungkin lebih baik ia pergi saja. Tapi sisi ingin tahunya menggelitik.
“Ngapain sendirian di sini,
Mbak?”
“Duduk.”
Jawaban yang padat.
“Kita
belum kenalan.
Boleh kenalan?” ucap Arya. “Aku, Arya. Mbak ini siapa?”
“Nila.”
jawab gadis
itu tetap tanpa mengalihkan perhatiannya.
“Nila.”
gumam Arya “Indah sekali namamu, Mbak.”
Gadis itu entah karena
mendengar ucapan Arya barusan atau karena apa, tersenyum.
“Ya. tapi sebagian orang nggak berpendapat kayak gitu,” gadis bernama
Nila itu berkata tapi seperti tidak menganggap kehadiran Arya. Dia masih tetap
menatap air sungai tanpa memerhatikan Arya.
“Kenapa
sebagian orang tidak menganggap gitu?” tanya
Arya ingin tahu.
Tidak ada sahutan.
Arya akhirnya mencari bahan perbincangan
lain.
“Ngomong-ngomong
sedang apa kamu di sini,
Mbak?”
“Aku
akan bunuh diri dengan lompat dari jembatan ini,” kata Nila sungguh-sungguh. Arya kaget
mendengarnya, seperti dugaannya tadi. Namun Arya berusaha setenang mungkin.
“Mengapa
kamu ingin bunuh diri, Mbak? Dosa, lho
”
Akhirnya Nila mengalihkan perhatiannya
ke Arya. Arya kini bisa melihat wajah gadis itu dengan jelas. Cantik. Namun
pucat. Mungkin gadis ini terlalu banyak bersedih dan menangis, batin Arya.
Terlihat sekali dari wajahnya tidak memancarkan gairah hidup. Meskipun sinar rembulan
yang keemasan memantul di wajahnya.
“Kenapa
aku harus cerita sama kamu?” Nila balik bertanya.
“Mungkin
mulai sekarang kita bisa berteman,”
Arya mencari alasan. Dia tidak menyangka alasan itu ternyata berhasil.
“Baiklah,
aku akan menceritakannya kepadamu,”
kata Nila.
---0---
“Al? Bagaimana kalau aku hamil ?”
“Aku
akan bertangung jawab,”
kata Aldo meyakinkan Nila. Keraguan Nila akan kata-kata Aldo perlahan musnah
saat tatapan pria itu menyentuh relung hatinya. Lagian, pria yang sangat
dicintainya itu memang tak pernah membohonginya.
Namun setelah kejadian malam itu di
kamar hotel. Nila jarang bertemu Aldo. Aldo seperti menghindarinya. Tentu saja
Nila sangat khawatir apalagi dia positif hamil. Semakin hari perutnya semakin
membesar. Dia tentu saja tidak bisa tinggal dengan keluarganya. Kecuali, jika dia mengharap
keluarganya mengetahui keadaanya dan pasti
akan sangat kecewa kepadanya. Nila sama sekali tidak
mengharapkan itu. Maka,
untuk sementara Nila tinggal di kostnya Erna, sahabat yang setia membantunya.
Aldo telah menghilang. Entah kemana
tidak ada yang tahu. Nila bertanya kesana-kesini. Mencari kesana-kesini. Tidak
ada yang tahu keberadaan pria itu. Teman-teman Aldo pun tidak ada yang tahu.
Maka satu-satunya harapan Nila adalah keluarga Aldo. Tetapi Nila sendiri tidak
tahu di mana keluarga Aldo tinggal.
“Ya, Tuhan apa yang harus
aku lakukan.” Nila tak ubah seorang gadis yang kehilangan
aral. Beruntung salah seorang teman Aldo iba melihat penderitaan Nila. Dia
memang dibungkam Aldo dengan uang
agar diam, namun hati nuraninya telah terketuk.
Dia memberi tahu alamat rumah Aldo, di Jakarta.
Namun apa yang didapat Nila dari
keluarga Aldo? Bukan
sebuah perlindungan seperti
bayangannya. Malah suatu cercaan. Bahkan
mereka menyuruh Nila menggugurkan
saja kandungannya. Mereka akan memberi
banyak uang jika Nila mau melakukannya. Tentu
saja, Nila tidak mau melakukan itu.
Bagaimanapun juga,
bayi dalam kandungnya itu adalah
darah dagingnya.
Sepandai-pandai tupai melompat pasti
akan jatuh jua. Entah siapa yang memberi tahu, keluarga Nila telah mengetahui
keadaan Nila yang sesungguhnya.
Nila di paksa pulang dari kostnya Erna. Sesampainya di rumah Nila di kurung, tidak boleh keluar. Sekarang
dia adalah aib keluarga yang harus disembunyikan, menjijkan.
Nila sangat menderita. Dia mengandung
dengan tekanan batin yang
menyiksa. Mungkin karena itulah yang menyebabkan ia keguguran. Nila sangat terpukul
sampai-sampai kesadaran jiwanya terganggu. Berulang kali dia mencoba bunuh diri
tapi selalu bisa
digagalkan.
---0---
Nila mengusap air mata yang membasahi
pipinya seusai menceritakan kisah pahit hidupnya kepada Arya.
“Sekarang
aku mau mati. Kuharap kamu tidak mencegahku seperti yang lainnya. Bukankah
sekarang kamu temanku. Sebagai teman yang baik kamu harus membiarkan aku memperoleh apa yang aku inginkan,” kata Nila lirih. Arya
bergeming di tempatnya.
“Aku
tidak akan mencegahmu,”
kata arya
“Kamu
sungguh teman baik,” kata Nila
“Tapi
pikirkan lagi, bunuh diri bukan solusi yang baik.”
Tapi perkataan Arya seperti tak
penah terdengar. Tiba-tiba, Nila beranjak dari
duduknya. Rupanya, ia siap
terjun ke sungai. Arya segera menambil
inisiaf. Saat Nila akan meloncat, Arya segera memeganginya.
“Lepaskan
aku. Kumohon. Aku ingin mati.”
“Jangan
melakukan hal bodoh, Mbak.”
“Kamu
yang bodoh. Cepat lepaskan aku.”
“Dengarkan
aku, Mbak. Hidup harus tetap berlanjut.
Apapun yang terjadi. Hidup adalah
anu...”
“Aku
tidak peduli dengan kata-katamu itu,”
potong Nila. “Sekarang
lepaskan aku. Le-pas-kan.”
Arya makin panik.
“Baik.
Baiklah. Tapi nanti dulu. Lihat ! Disana
ada mobil yang sedang menuju kemari. Aku tidak mau kamu melakukannya sekarang
sementara aku masih disini, Mbak .
Bisa-bisa aku yang di tuduh membunuhmu.”
ujar Arya mencari cara menenangkan Nila.
“Aku
tidak peduli. Lepaskan. Le-pas-kan…”
Yang di katakan Arya memang benar. Ada
sebuah mobil yang sekarang berhenti di dekat mereka. Sebuah mobil ambulan. Dari
dalam mobil keluar tiga orang berseragam putih khas petugas rumah sakt sakit. Salah satu dari
ketiga orang itu berkata kepada Arya,
“Tolong Mas jangan lepaskan
gadis itu. Pegang dia terus.”
Sementara itu Nila semakin gila-gilaan memberontak. Arya
kewalahan memeganginya.
“le-pas-kan!”
Kedua petugas rumah sakit ikut membantu
Arya. Sementara petugas yang satunya mengambil sesuatu dari kotak berwarna
putih. Entah apa yang di keluarkannya, Arya tidak sempat melihatnya
karena Nila sudah seperti orang kesetanan. Dan tiba-tiba Nila mulai lemas,
sedikit demi sedikit mulai tertidir.
Arya bingung dengan Nila yang tiba-tiba
berubah.
“Obat
bius,” jelas salah satu
petugas rumah sakit.
Perrlahan-lahan Nila mulai tak
sadarkan diri. Dua di antara ketiga petugas rumah
sakit itu membopong Nila ke dalam mobil ambulan. Petugas yang satunya paham
sendiri sebelum Arya meminta penjelasan.
“Kami
dari rumah sakit jiwa kusuma. Gadis tadi adalah pasien kami yang kabur malam
ini. Sungguh kami berterimah kasih kepada anda. Memang sering sekali dia
mencoba bunuh diri.”
“Oh…”
Hanya kata itu yang keluar dari mulut Arya.
“Kalau
tidak ada yang perlu di jelaskan lagi kami mohon diri.”
Sebelum petugas rumah sakit itu pergi, Arya mengajukan sebuah
pertanyaan yang dia sendiri ragu apakah
perlu menanyakannya.
“Kalau
boleh tahu siapa nama gadis itu?”
“Namanya
Ani.”
“Bukannya
namanya Nila ?”
Petugas rumah sakit itu tampak
mengingat-ingat,
“ Oh, Nila, itu nama yang sudah di
siapkan untuk bayinya yang gugur saat masih dalam kandungan,” jelas petugas rumah
sakit jiwa itu.
Thanks sudah membaca karya saya.
Jangan lupa tinggalkan Like dan Komennya.
Nuhun.
No comments:
Post a Comment