Oleh : Havidz Antonio
Dahulu kala, ketika para penyihir, raksasa dan peri masih merajalela, hidup seorang petani bernama Hitsu Aslan. Dia tinggal bersama keluarganya di desa kecil bernama desa Ghuttah. Saban hari dia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, sejak matahari terbit hingga terbenam, membajak ladang, mencangkul, merawat pohon-tohon rosella di belakang rumah. Tangannya selalu kapalan saking seringnya memegang sabit, bahkan kerap berdarah.
Namun, bukan dia saja yang bekerja keras begitu.
Kehidupan semua penduduk desanya memang berat. Desa Ghutta tidak seberuntung
desa-desa lain yang memiliki pohon-pohon buah, bunga-bunga, tanah yang cocok
untuk bertanam, udara yang sejuk dan air yang melimpah. Desa itu terletak di
dataran berdebu yang di kelilingi bukit-bukit berbatu. Anginnya panas dan
meniupkan debu-debu ke mata. Mencari air adalah perjuangan yang berat bagi
penduduk desa. Cuma ada sumber mata air di danau yang airnya keruh setiap tahun
dan untuk mengambilnya harus menempuh jarak selama dua jam.
Kendati begitu, Hitsu sudah merasa beruntung karena
memiliki keluarga yang dia sayangi lebih dari segalanya. Dia mencintai istrinya
dan kelima anaknya. Lebih-lebih anak-anaknya mempunyai akhlak yang mulia dan
berkelakuan terhormat.
Meskipun menyayangi semua anaknya, diam-diam Hitsu paling
menyayangi si bungsu, Isa, yang baru berumur tiga tahun. Isa bocah kecil
bermata biru yang energik. Dia memikat semua orang dengan tawa jahilnya. Di
saat anak-anak lain masih belajar merangkak, Isa sudah bisa berjalan, saat
anak-anak yang lain masih belajar berjalan, dia sudah berlarian.
Ketika Hitsu pulang setelah seharian bekerja, Isa akan
berlari dari dalam umah dan membenamkan wajah ke perut ayahnya. Seketika itu
pula lelah di tubuh Hitsu memudar.
Sayangnya, hari-hari bahagia Hitsu harus berakhir.
Hal itu terjadi ketika pada suatu hari sesosok Orc
mendatangi desa Ghuttah. Setiap langkahnya menimbulkan guncangan di tanah.
Warga desa serta merta menjatuhkan sekop, cangkul, kapak-kapak, kuali yang di
dalamnya sup buah labu mau matang dan berlari tunggang langgang. Mereka
mengunci diri dan berpelukan di rumah masing-masing.
Semua orang di desa mengetahui alasan kedatangan sang
Orc. Mereka telah mendengar cerita-cerita tentang kunjungannya ke desa-desa
lain dan menduga-duga kenapa desa Ghuttah lolos dari perhatiannya.
Barangkali, kesusahan dan kemiskinan di desa
Ghuttah membantu, karena anak-anak mereka kurang makan dan berdaging tipis. Apapun
itu keberuntungan mereka akhirnya sirna
Desa Ghuttah gemetar dan menahan napas. Keluarga
masing-masing berdoa supaya rumah mereka terlewatkan oleh sang Orc. Karena jika
sampai terdengar ketukan di atap rumah, berarti mereka harus menyerahkan
seorang anak. Orc itu akan melemparkan anak itu ke dalam karung, lalu kembali
ke tempatnya. Dan jika mereka menolak memberikan seorang anak, si Orc akan
membawa semua anak di rumah itu, atau lebih buruknya mengambil semua anak di
desa itu secara paksa.
Kemanakah sang Orc membawa anak-anak itu? Ke tempat
tinggalnya tentu saja, sebuah kastil di atas sebuah gunung yang terjal yang
jauh dari desa Ghuttah. Sejumlah lembah, beberapa gurun, dan bukit-bukit
berbatu lancip harus di tempuh untuk mencapainya.
Dan naas, pintu atap Hitsu lah yang di ketok, seketika
itu pula sang istri menangis pilu hingga jatuh pingsan. Anak-anaknya memekik
ngeri, tahu kalau mereka akan kehilangan salah satu anggota keluarganya.
Keluarga itu di beri waktu hingga esok fajar untuk mempersiapkan
persembahannya.
Tidak ada orang tua yang sanggup mengambil pilihan
semacam ini. Malam itu, di bawah remang-remang lampu petromak, Hitsu dan
istrinya memperdebatkan keputusan apa yang akan mereka ambil. Mereka berbicara,
menangis, berbicara lagi, menangis lagi, sepanjang malam hingga subuh belum ada
keputusan. Akhirnya Arpha mengambil lima butir kelereng lalu menuliskan
masing-masing nama anaknya, lalu memasukan kelereng itu ke dalam karung goni.
"Ambillah," kata Hitsu.
"Aku tak bisa melakukannya," pekik istri Hitsu pilu.
Dan ketika matahari mulai merekah, Hitsu mengambil
keputusan. Nama siapa di kelereng yang di ambil Hitsu? Hati Hitsu menjerit,
remuk redam, hancur bersama angin pagi desa Ghuttah yang berdebu. Dengan rasa
bersalah yang tidak bisa digambarkan Hitsu menggendong Isa ke luar rumah. Isa
belum menyadari apa yang dilakukan ayahnya. Baru setelah ayahnya meletakkannya
di luar rumah dan menutup pintu, bocah kecil itu baru menyadari apa yang
terjadi.
Isa mungil memukul-mukul pintu supaya ayahnya
mengizinkannya masuk sambil menangis sejadi-jadinya. Hitsu hanya mampu bergumam,
"Maafkan aku, maafkan aku," seiring langkah Orc yang menggemakan
tanah.
--0--
Beberapa tahun telah berlalu. Kemarau panjang berlanjut,
desa Ghuttah semakin terpuruk dan miskin. Beberapa bayi mati kehausan dalam
gendongan. Sumur-sumur mendangkal, danau mulai mengering, namun amarah Hitsu
kian hari kian meluap. Dia tidak berguna lagi bagi keluarganya. Dia tidak lagi
bekerja, jarang makan dan hanya melamun. Istri dan anaknya senantiasa memohon
tapi percuma saja. Keempat putranya yang tersisa mengambil alih pekerjaannya,
karena saban hari Hitsu Aslan hanya duduk di tepi ladang seorang diri, melamun
dan bergumam tak jelas.
Kemudian suatu hari Hitsu Aslan memutuskan untuk
melakukan sesuatu. Dia bangun kala subuh tanpa membangunkan anak dan istrinya.
Dia mengemas beberapa potong roti ke dalam karung goni, memakai sepatu kulit
bututnya, mengikat sabitnya di pinggang dan berangkat.
Dia berjalan kaki selama berhari-hari. Dia berjalan
hingga matahari menyisakan pendar merah samar di cakrawala. Pada malam hari,
dia tidur di gua sementara angin bertiup kencang di luar. Dia memakan rotinya,
lalu apapun yang di temukannya, dan ada kalanya tidak makan sama sekali.
Akhirnya, tibalah dia di gunung tempat kastil sang Orc.
Dia begitu bersemangat untuk mengakhiri pencariannya, sehingga langsung mendaki
tanpa beristrirahat terlebih dahulu. Bebatuan tajam mencabik-cabik telapak
jakinya. Angin kencang nyaris menjatuhkannya dari punggung gunung hingga
akhirnya dia tiba di depan gerbang kastil raksasa sang Orc.
"Siapa berani menantangku?" suara sang Orc
membahana ketika Hitsu melempar sebutir batu ke gerbang kastil.
"Aku datang dari desa Ghuttah dan akan membunuhmu,"
ucap Hitsu Aslan.
Keheningan menyusul. Kemudian gerbang itu perlahan-lahan
terbuka dan sang Orc menjulang di hadapan Hitsu Aslan.
"Benarkah itu?" suaranya menggelegar bagai
gemuruh.
"Tentu," jawab Hitsu Aslan. "Bagaimanapun
caranya, salah satu dari kita akan mati hari ini."
Sesaat, sang Orc seolah-olah hendak menyapu Hitsu Aslan
dari tanah dan melahapnya. Namun sesuatu membuat makhluk itu ragu.
"Dari mana asalmu?"
"Desa Ghuttah," kata Hitsu Aslan. " Aku
kesini tidak datang untuk berbasa-basi."
"Ya, ya, ya kau kesini untuk membunuhku kan?"
sang Orc menyeringai. "Tapi apa salahku sehingga kau ingin membunuhku?"
"Kau mengambil putra bungsuku," jawab Hitsu
Aslan geram. "Dialah yang paling kusayangi di dunia ini."
"Oh..." gumam sang Orc. "Aku lupa. Tapi
harus ku akui soal keberanianmu membuatku kagum."
"Aku tak butuh pujianmu."
Sang Orc menggeram lagi dan menatap Hitsu Aslan
lekat-lekat, "Baiklah... Kalau begitu... Aku bersedia duel denganmu, tapi
pertama-tama aku memintamu untuk mengikutiku."
"Cepatlah.... Kesabaranku sudah ha..."
Belum usai Hitsu berucap, sang Orc tiba-tiba meledak,
menghempaskan asap putih yang menggumpal-gumpal sampai-sampai Hitsu Aslan
terbatuk-batuk. Setelah perlahan gumpalan asap putih itu memudar kini yang dilihat
Hitsu Aslan bukanlah sesosok monster besar bernama Orc, melainkan seorang
manusia tua berjubah putih, tangannya memegang tongkat berwarna emas,
jenggotnya berwarna perak menjuntai sampai perut.
"Sebenarnya aku bukanlah Orc. Aku seorang penyihir
bernama Zabadruz. Sekarang kau ikuti aku."
Penyihir itu berjalan menuju sebuah lorong raksasa, dan Hitsu
Aslan tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Dia mengikuti sang penyihir
melewati labirin yang langit-langitnya nyaris mencakar awan dan di sangga
pilar-pilar besar. Mereka terus berjalan hingga akhirnya sang penyihir
mempersilahkan Hitsu Aslan memasuki ruangan besar dengan tirai raksasa.
"Bukalah tirai itu."
Hitsu Aslan menyingkap tirai raksasa itu dengan susah
payah. Ternyata di belakang tirai itu terdapat jendela kaca dan memperlihatkan
sebuah taman hijau nan luas di dalamnya. Deretan pohon pinus memagari taman,
hamparan bunga matahari seperti karpet, tampak pula kolam-kolam berubin biru,
teras-teras berlantai marmer, terdapat air mancur di tengah kolam yang sangat
indah. Hitsu Aslan tidak pernah membayangkan ada tempat seindah itu di dunia.
Namun yang membuat Hitsu Aslan jatuh berlutut adalah
anak-anak yang berlarian dan bermain dengan gembira di taman itu. Hitsu Aslan
mengedarkan pandangannya dan mendapati apa yang di carinya. Isa! Putranya,
masih bernyawa dan segar bugar. Dia semakin tinggi dan berisi, dia mengenakan
kemeja putih dan celana hitam, rapi.
"Isa. Anakku," Hitsu Aslan menjeritkan nama
anaknya beberapa kali.
"Dia tidak bisa mendengarmu ataupun melihatmu,"
kata penyihir Zabadruz.
Hitsu Aslan melompat-lompat, melambai-lambai,
berteriak-teriak hingga sang penyihir menutup tirai kembali.
"Aku tak mengerti," kata Hitsu Aslan
"kupikir..."
"Ini imbalanmu," kata sang penyihir.
"Tolong jelaskan!" tuntut Hitsu Aslan.
"Aku memberimu ujian."
"Ujian?"
"Ujian kasih sayang. Andai jika kau dulu tak memilih
maka semua anakmu akan mati waktu itu juga, mereka akan tahu kalau mereka
memiliki ayah yang pengecut."
"Anakmu sudah tak mengingatmu lagi sekarang,"
lanjut penyihir sang penyihir. Hitsu Aslan dengan lemas mengangkat sabitnya
namun benda itu terlepas dari tangannya. Lututnya gemetar, dia terduduk.
"Aku menghormatimu karena keberanianmu, beban yang
kau tanggung di bahumu," kata sang penyihir. "Inilah kehidupan anakmu
sekarang. Di sini dia bahagia, memperoleh makanan dan pakaian yang terbaik. Dia
menerima pendidikan yang terbaik. Kelak dia akan menjadi orang yang berguna
bagi banyak orang."
"Aku ingin menemuinya," ujar Hitsu Aslan.
"Aku ingin membawanya pulang."
"Yakin?"
Hitsu menatap sang penyihir.
"Aku akan mengizinkanmu membawanya pulang,"
kata sang penyihir lalu mengeluarkan jam pasir dan membaliknya. "Jika itu
yang kau pilih. Pikirkan lagi. Aku beri waktu kau hingga jam pasir ini selesai.
Namun jika kau mengambilnya kau tidak bisa kesini lagi."
Aku akan membawanya pulang, pikir
Hitsu. Ini adalah hal yang paling di inginkannya, bersama setiap tarikan napasnya.
Namun Hitsutersadar, jika dia membawanya pulang, kehidupan macam apa yang
menanti Isa di desa Ghuttah? Sebaik-baiknya adalah kehidupan keras kaum petani,
seperti yang di jalaninya, tidak lebih. Itupun jika Isa tidak meninggal akibat
kekeringan seperti begitu banyak bocah di desa.
Jika begitu bisakah kau memaafkan dirimu sendiri, Hitsu Aslan terisak, di puncak kesedihannya dia menemukan
jawabannya.
Sang penyihir kembali dan mendapati Hitsu Aslan yang
terisak dengan tubuh gemetar.
"Kau monster kejam."
"Jika kau sudah hidup selama aku, kau akan mengerti
bahwa kekejaman dan kemuliaan hanya di pisahkan benang tipis. Sudahkah kau
menetapkan pilihan?"
Hitsu Aslan mengusap air matanya, memungut sabitnya dan
menyelipkannya ke pinggang. Perlahan-lahan, dia berjalan ke pintu, kepalanya
menunduk.
"Kau ayah yang baik," kata sang penyihir,
"Bawa ini"
Sang penyihir memberikan botol kecil berisi cairan putih.
"Minum ini di perjalanan kau pulang."
Hitsu Aslan menerimanya tanpa sepatah katapun.
--0--
Musim semi itu, langit gelap di atas desa Ghuttah
akhirnya merekah, awan hitam menggebyurkan hujan lebat. Seluruh penduduk desa
menuntaskan dahaganya. Bunga-bunga liar mulai bermekaran seakan telah terjadi
keajaiban. Perbukitan mulai menghijau. Sungai-sungai yang kering mulai muncul
sumber air. Ikan-ikan kecil bermunculan entah dari mana.
Setelah itu kadang seminggu dua kali hujan turun. Hitsu
Aslan bersama penduduk desa Ghuttah tak henti-hentinya mengucap syukur.
Dulu ketika Hitsu Aslan sampai di rumah sehabis petualannya
ke Kastil sang Orc, Hitsu Aslan seakan menjadi orang yang baru, orang yang
lebih gembira. Saat di tanya istrinya.
“Dari mana saja kau suamiku?”
“Apa yang kau lihat?”
“Apa yang terjadi padamu?”
Hitsu Aslan tidak bisa menjawabnya. Setelah di perjalanan
dia meminum air dari botol sang penyihir, Hitsu Aslan lupa akan perjalanannya.
Yang dia ingat hanya pulang dan keluarga kecilnya di desa Ghuttah.
Panen Rosella di kebun Hitsu Aslan kini melimpah ruah.
Kualitasnya juga yang paling baik. Kacang-kacangan di kebunnya juga berlimpah. Hitsu
Aslan menjadi orang kaya sekarang, hingga umurnya semakin tua.
Meskipun begitu, sesekali Hitsu Aslan dalam tidurnya
memimpikan bocah kecil yang tampan bermain-main dengannya di taman yang begitu
indah. Dan ketika bangun dari tidurnya Hitsu Aslan hanya tersenyum-senyum
bahagia tanpa tahu apa yang dia impikan tadi.
No comments:
Post a Comment