Search This Blog

Friday, March 17, 2017

Hitsu Aslan, Raksasa Orc dan Penyihir Tua

 

Oleh : Havidz Antonio
         
          Dahulu kala, ketika para penyihir, raksasa dan peri masih merajalela, hidup seorang petani bernama Hitsu Aslan. Dia tinggal bersama keluarganya di desa kecil bernama desa Ghuttah. Saban hari dia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, sejak matahari terbit hingga terbenam, membajak ladang, mencangkul, merawat pohon-tohon rosella di belakang rumah. Tangannya selalu kapalan saking seringnya memegang sabit, bahkan kerap berdarah.
Namun, bukan dia saja yang bekerja keras begitu. Kehidupan semua penduduk desanya memang berat. Desa Ghutta tidak seberuntung desa-desa lain yang memiliki pohon-pohon buah, bunga-bunga, tanah yang cocok untuk bertanam, udara yang sejuk dan air yang melimpah. Desa itu terletak di dataran berdebu yang di kelilingi bukit-bukit berbatu. Anginnya panas dan meniupkan debu-debu ke mata. Mencari air adalah perjuangan yang berat bagi penduduk desa. Cuma ada sumber mata air di danau yang airnya keruh setiap tahun dan untuk mengambilnya harus menempuh jarak selama dua jam.
Kendati begitu, Hitsu sudah merasa beruntung karena memiliki keluarga yang dia sayangi lebih dari segalanya. Dia mencintai istrinya dan kelima anaknya. Lebih-lebih anak-anaknya mempunyai akhlak yang mulia dan berkelakuan terhormat.
Meskipun menyayangi semua anaknya, diam-diam Hitsu paling menyayangi si bungsu, Isa, yang baru berumur tiga tahun. Isa bocah kecil bermata biru yang energik. Dia memikat semua orang dengan tawa jahilnya. Di saat anak-anak lain masih belajar merangkak, Isa sudah bisa berjalan, saat anak-anak yang lain masih belajar berjalan, dia sudah berlarian.
Ketika Hitsu pulang setelah seharian bekerja, Isa akan berlari dari dalam umah dan membenamkan wajah ke perut ayahnya. Seketika itu pula lelah di tubuh Hitsu memudar.
Sayangnya, hari-hari bahagia Hitsu harus berakhir.
Hal itu terjadi ketika pada suatu hari sesosok Orc mendatangi desa Ghuttah. Setiap langkahnya menimbulkan guncangan di tanah. Warga desa serta merta menjatuhkan sekop, cangkul, kapak-kapak, kuali yang di dalamnya sup buah labu mau matang dan berlari tunggang langgang. Mereka mengunci diri dan berpelukan di rumah masing-masing.
Semua orang di desa mengetahui alasan kedatangan sang Orc. Mereka telah mendengar cerita-cerita tentang kunjungannya ke desa-desa lain dan menduga-duga kenapa desa Ghuttah lolos dari perhatiannya. 
Barangkali, kesusahan dan kemiskinan di desa Ghuttah membantu, karena anak-anak mereka kurang makan dan berdaging tipis. Apapun itu keberuntungan mereka akhirnya sirna
Desa Ghuttah gemetar dan menahan napas. Keluarga masing-masing berdoa supaya rumah mereka terlewatkan oleh sang Orc. Karena jika sampai terdengar ketukan di atap rumah, berarti mereka harus menyerahkan seorang anak. Orc itu akan melemparkan anak itu ke dalam karung, lalu kembali ke tempatnya. Dan jika mereka menolak memberikan seorang anak, si Orc akan membawa semua anak di rumah itu, atau lebih buruknya mengambil semua anak di desa itu secara paksa.

Kemanakah sang Orc membawa anak-anak itu? Ke tempat tinggalnya tentu saja, sebuah kastil di atas sebuah gunung yang terjal yang jauh dari desa Ghuttah. Sejumlah lembah, beberapa gurun, dan bukit-bukit berbatu lancip harus di tempuh untuk mencapainya.
Dan naas, pintu atap Hitsu lah yang di ketok, seketika itu pula sang istri menangis pilu hingga jatuh pingsan. Anak-anaknya memekik ngeri, tahu kalau mereka akan kehilangan salah satu anggota keluarganya. Keluarga itu di beri waktu hingga esok fajar untuk mempersiapkan persembahannya.
Tidak ada orang tua yang sanggup mengambil pilihan semacam ini. Malam itu, di bawah remang-remang lampu petromak, Hitsu dan istrinya memperdebatkan keputusan apa yang akan mereka ambil. Mereka berbicara, menangis, berbicara lagi, menangis lagi, sepanjang malam hingga subuh belum ada keputusan. Akhirnya Arpha mengambil lima butir kelereng lalu menuliskan masing-masing nama anaknya, lalu memasukan kelereng itu ke dalam karung goni.
"Ambillah," kata Hitsu.
"Aku tak bisa melakukannya," pekik istri Hitsu pilu.
Dan ketika matahari mulai merekah, Hitsu mengambil keputusan. Nama siapa di kelereng yang di ambil Hitsu? Hati Hitsu menjerit, remuk redam, hancur bersama angin pagi desa Ghuttah yang berdebu. Dengan rasa bersalah yang tidak bisa digambarkan Hitsu menggendong Isa ke luar rumah. Isa belum menyadari apa yang dilakukan ayahnya. Baru setelah ayahnya meletakkannya di luar rumah dan menutup pintu, bocah kecil itu baru menyadari apa yang terjadi.
Isa mungil memukul-mukul pintu supaya ayahnya mengizinkannya masuk sambil menangis sejadi-jadinya. Hitsu hanya mampu bergumam, "Maafkan aku, maafkan aku," seiring langkah Orc yang menggemakan tanah.
--0--
Beberapa tahun telah berlalu. Kemarau panjang berlanjut, desa Ghuttah semakin terpuruk dan miskin. Beberapa bayi mati kehausan dalam gendongan. Sumur-sumur mendangkal, danau mulai mengering, namun amarah Hitsu kian hari kian meluap. Dia tidak berguna lagi bagi keluarganya. Dia tidak lagi bekerja, jarang makan dan hanya melamun. Istri dan anaknya senantiasa memohon tapi percuma saja. Keempat putranya yang tersisa mengambil alih pekerjaannya, karena saban hari Hitsu Aslan hanya duduk di tepi ladang seorang diri, melamun dan bergumam tak jelas.
Kemudian suatu hari Hitsu Aslan memutuskan untuk melakukan sesuatu. Dia bangun kala subuh tanpa membangunkan anak dan istrinya. Dia mengemas beberapa potong roti ke dalam karung goni, memakai sepatu kulit bututnya, mengikat sabitnya di pinggang dan berangkat.
Dia berjalan kaki selama berhari-hari. Dia berjalan hingga matahari menyisakan pendar merah samar di cakrawala. Pada malam hari, dia tidur di gua sementara angin bertiup kencang di luar. Dia memakan rotinya, lalu apapun yang di temukannya, dan ada kalanya tidak makan sama sekali.
Akhirnya, tibalah dia di gunung tempat kastil sang Orc. Dia begitu bersemangat untuk mengakhiri pencariannya, sehingga langsung mendaki tanpa beristrirahat terlebih dahulu. Bebatuan tajam mencabik-cabik telapak jakinya. Angin kencang nyaris menjatuhkannya dari punggung gunung hingga akhirnya dia tiba di depan gerbang kastil raksasa sang Orc.

"Siapa berani menantangku?" suara sang Orc membahana ketika Hitsu melempar sebutir batu ke gerbang kastil.
"Aku datang dari desa Ghuttah dan akan membunuhmu," ucap Hitsu Aslan.
Keheningan menyusul. Kemudian gerbang itu perlahan-lahan terbuka dan sang Orc menjulang di hadapan Hitsu Aslan.
"Benarkah itu?" suaranya menggelegar bagai gemuruh.
"Tentu," jawab Hitsu Aslan. "Bagaimanapun caranya, salah satu dari kita akan mati hari ini."
Sesaat, sang Orc seolah-olah hendak menyapu Hitsu Aslan dari tanah dan melahapnya. Namun sesuatu membuat makhluk itu ragu.
"Dari mana asalmu?"
"Desa Ghuttah," kata Hitsu Aslan. " Aku kesini tidak datang untuk berbasa-basi."
"Ya, ya, ya kau kesini untuk membunuhku kan?" sang Orc menyeringai. "Tapi apa salahku sehingga kau ingin membunuhku?"
"Kau mengambil putra bungsuku," jawab Hitsu Aslan geram. "Dialah yang paling kusayangi di dunia ini."
"Oh..." gumam sang Orc. "Aku lupa. Tapi harus ku akui soal keberanianmu membuatku kagum."
"Aku tak butuh pujianmu."
Sang Orc menggeram lagi dan menatap Hitsu Aslan lekat-lekat, "Baiklah... Kalau begitu... Aku bersedia duel denganmu, tapi pertama-tama aku memintamu untuk mengikutiku."
"Cepatlah.... Kesabaranku sudah ha..."
Belum usai Hitsu berucap, sang Orc tiba-tiba meledak, menghempaskan asap putih yang menggumpal-gumpal sampai-sampai Hitsu Aslan terbatuk-batuk. Setelah perlahan gumpalan asap putih itu memudar kini yang dilihat Hitsu Aslan bukanlah sesosok monster besar bernama Orc, melainkan seorang manusia tua berjubah putih, tangannya memegang tongkat berwarna emas, jenggotnya berwarna perak menjuntai sampai perut.
"Sebenarnya aku bukanlah Orc. Aku seorang penyihir bernama Zabadruz. Sekarang kau ikuti aku."
Penyihir itu berjalan menuju sebuah lorong raksasa, dan Hitsu Aslan tidak punya pilihan lain selain mengikutinya. Dia mengikuti sang penyihir melewati labirin yang langit-langitnya nyaris mencakar awan dan di sangga pilar-pilar besar. Mereka terus berjalan hingga akhirnya sang penyihir mempersilahkan Hitsu Aslan memasuki ruangan besar dengan tirai raksasa.
"Bukalah tirai itu."
Hitsu Aslan menyingkap tirai raksasa itu dengan susah payah. Ternyata di belakang tirai itu terdapat jendela kaca dan memperlihatkan sebuah taman hijau nan luas di dalamnya. Deretan pohon pinus memagari taman, hamparan bunga matahari seperti karpet, tampak pula kolam-kolam berubin biru, teras-teras berlantai marmer, terdapat air mancur di tengah kolam yang sangat indah. Hitsu Aslan tidak pernah membayangkan ada tempat seindah itu di dunia.
Namun yang membuat Hitsu Aslan jatuh berlutut adalah anak-anak yang berlarian dan bermain dengan gembira di taman itu. Hitsu Aslan mengedarkan pandangannya dan mendapati apa yang di carinya. Isa! Putranya, masih bernyawa dan segar bugar. Dia semakin tinggi dan berisi, dia mengenakan kemeja putih dan celana hitam, rapi.
"Isa. Anakku," Hitsu Aslan menjeritkan nama anaknya beberapa kali.
"Dia tidak bisa mendengarmu ataupun melihatmu," kata penyihir Zabadruz.
Hitsu Aslan melompat-lompat, melambai-lambai, berteriak-teriak hingga sang penyihir menutup tirai kembali.
"Aku tak mengerti," kata Hitsu Aslan "kupikir..."
"Ini imbalanmu," kata sang penyihir.
"Tolong jelaskan!" tuntut Hitsu Aslan.
"Aku memberimu ujian."
"Ujian?"
"Ujian kasih sayang. Andai jika kau dulu tak memilih maka semua anakmu akan mati waktu itu juga, mereka akan tahu kalau mereka memiliki ayah yang pengecut."
"Anakmu sudah tak mengingatmu lagi sekarang," lanjut penyihir sang penyihir. Hitsu Aslan dengan lemas mengangkat sabitnya namun benda itu terlepas dari tangannya. Lututnya gemetar, dia terduduk.
"Aku menghormatimu karena keberanianmu, beban yang kau tanggung di bahumu," kata sang penyihir. "Inilah kehidupan anakmu sekarang. Di sini dia bahagia, memperoleh makanan dan pakaian yang terbaik. Dia menerima pendidikan yang terbaik. Kelak dia akan menjadi orang yang berguna bagi banyak orang."
"Aku ingin menemuinya," ujar Hitsu Aslan. "Aku ingin membawanya pulang."
"Yakin?"
Hitsu menatap sang penyihir.
"Aku akan mengizinkanmu membawanya pulang," kata sang penyihir lalu mengeluarkan jam pasir dan membaliknya. "Jika itu yang kau pilih. Pikirkan lagi. Aku beri waktu kau hingga jam pasir ini selesai. Namun jika kau mengambilnya kau tidak bisa kesini lagi."
Aku akan membawanya pulang, pikir Hitsu. Ini adalah hal yang paling di inginkannya, bersama setiap tarikan napasnya. Namun Hitsutersadar, jika dia membawanya pulang, kehidupan macam apa yang menanti Isa di desa Ghuttah? Sebaik-baiknya adalah kehidupan keras kaum petani, seperti yang di jalaninya, tidak lebih. Itupun jika Isa tidak meninggal akibat kekeringan seperti begitu banyak bocah di desa. 
Jika begitu bisakah kau memaafkan dirimu sendiri, Hitsu Aslan terisak, di puncak kesedihannya dia menemukan jawabannya.
Sang penyihir kembali dan mendapati Hitsu Aslan yang terisak dengan tubuh gemetar.
"Kau monster kejam."
"Jika kau sudah hidup selama aku, kau akan mengerti bahwa kekejaman dan kemuliaan hanya di pisahkan benang tipis. Sudahkah kau menetapkan pilihan?"
Hitsu Aslan mengusap air matanya, memungut sabitnya dan menyelipkannya ke pinggang. Perlahan-lahan, dia berjalan ke pintu, kepalanya menunduk.
"Kau ayah yang baik," kata sang penyihir, "Bawa ini"
Sang penyihir memberikan botol kecil berisi cairan putih. "Minum ini di perjalanan kau pulang."
Hitsu Aslan menerimanya tanpa sepatah katapun.
--0--
Musim semi itu, langit gelap di atas desa Ghuttah akhirnya merekah, awan hitam menggebyurkan hujan lebat. Seluruh penduduk desa menuntaskan dahaganya. Bunga-bunga liar mulai bermekaran seakan telah terjadi keajaiban. Perbukitan mulai menghijau. Sungai-sungai yang kering mulai muncul sumber air. Ikan-ikan kecil bermunculan entah dari mana.
Setelah itu kadang seminggu dua kali hujan turun. Hitsu Aslan bersama penduduk desa Ghuttah tak henti-hentinya mengucap syukur.
Dulu ketika Hitsu Aslan sampai di rumah sehabis petualannya ke Kastil sang Orc, Hitsu Aslan seakan menjadi orang yang baru, orang yang lebih gembira. Saat di tanya istrinya.
“Dari mana saja kau suamiku?”
“Apa yang kau lihat?”
“Apa yang terjadi padamu?”
Hitsu Aslan tidak bisa menjawabnya. Setelah di perjalanan dia meminum air dari botol sang penyihir, Hitsu Aslan lupa akan perjalanannya. Yang dia ingat hanya pulang dan keluarga kecilnya di desa Ghuttah.
Panen Rosella di kebun Hitsu Aslan kini melimpah ruah. Kualitasnya juga yang paling baik. Kacang-kacangan di kebunnya juga berlimpah. Hitsu Aslan menjadi orang kaya sekarang, hingga umurnya semakin tua.
Meskipun begitu, sesekali Hitsu Aslan dalam tidurnya memimpikan bocah kecil yang tampan bermain-main dengannya di taman yang begitu indah. Dan ketika bangun dari tidurnya Hitsu Aslan hanya tersenyum-senyum bahagia tanpa tahu apa yang dia impikan tadi.



No comments:

Post a Comment

Inilah 5 Fakta One Piece yang Menarik dan Jarang Diketahui oleh Banyak Orang

Mungkin untuk para pecinta anime, banyak yang sudah mengetahui fakta tersembunyi dari One Piece. Namun, sebenarnya masih ada banyak lag...