"Semua jadi
semakin buruk. Anjing! Bangsat! Tai!"
"Ada apa? Kenapa
kau marah-marah?"
"Aku cemas. Sangat
cemas."
"Apa yang kau
cemaskan?"
"Masa depan."
"Maksudmu? Aku
tidak tahu apa maksudmu."
"Masa depanku
sungguh terlihat buruk. Apa yang kau lakukan jika kau tahu hal yang terburuk
akan terjadi?"
"Membuatnya lebih
baik."
"Membuatnya lebih
baik? Yeah, tapi jika itu ada pilihan. Sementara aku tidak punya pilihan. Aku
hanya punya satu pilihan. Satu jalan. Jalan yang mau tidak mau harus aku tempuh
dan itu menuju masa depan yang sungguh buram."
"Selalu ada
pilihan, Bung!"
"Omong kosong. Manusia
selalu bisa memilih. Itu omong kosong paling busuk. Kata-kata yang selalu
diucapkan para motivator itu tidak lebih dari ucapan bohong. Manusia selalu
bisa memilih? Yeah, itu terjadi jika ada pilihan. Dan hidup ini tak selalu
punya pilihan. Kau kadang hanya disuruh untuk menjalaninya."
"Pelan-pelan, nggak perlu nge-gass. Slow, Brow. Sekarang tarik napasmu
dalam-dalam. Betul begitu. Kendalikan emosimu. Yap. Sekarang ceritakan padaku,
kenapa kau begitu cemas dengan masa depanmu. Cemas dengan sesuatu yang bahkan
belum terjadi."
"Aku pengangguran,
salah satunya."
"Hah? Banyak pengangguran
di era sekarang. Manusia semakin banyak. Cari pekerjaan susahnya minta ampun.
Dan tenaga kerja asing semakin menggila di negeri ini. Tak usah secemas itu kau."
"Umurku sudah hampir
kepala tiga dan aku pengangguran, bagaimana aku tidak secemas ini. Seharusnya
di umur ini aku sudah kawin. Kawan-kawan seumuranku sudah pada kawin. Bahkan ada
yang sudah punya tiga anak. Sementara aku bahkan pacar pun tak punya. Tak
berani aku mendekati wanita sementara aku masih pengangguran!"
"Kalau begitu,
mulai sekarang, kau harus cari wanita untuk kau jadikan calon istri."
"Kau tidak
mendenga omonganku, ya!"
"Haduh, slow... Jangan nge-gas terus. Dengerin
dulu. Kau tahu, kata banyak orang kalau seeorang sudah menikah rizki akan
datang. Lebih besar dari pada jika seseorang itu sendiri."
"Aku menyangsikan
hal itu."
"Apa kau tidak
lihat beberapa orang yang tadinya tampak miskin menjadi lebih tampak kaya
setelah menikah?"
"Yeah, dan
beberapa yang lain rumah tangganya jadi rusuh dan harus berakhir tragis karena
masalah ekonomi yang membelit, seperti seekor ular yang membelit mangsanya sampai
mampus. Aku tidak mau ekonomi membelitku setelah menikah."
"Hei... Kenapa kau
tidak cari kerja saja? Dengan begitu kau akan punya penghasilan dan tentu akan
berani mendekati wanita yang kau impikan.”
“Kau pikir aku tidak
mencobanya? Cari kerja sulitnya minta ampun jika kau hanya punya selembar ijazah
SMA dan umurmu sudah lebih dari maksimal. Sekarang yang dicari oleh perusahaan
mana pun maksimal yang berumur 25 tahun. Itu pun bagi yang sudah berumur segitu
kemungkinan diterimanya hanya 10%. Aku sudah mencari kesana kemari tapi tidak
mendapatkan pekerjaan. Buruk nian nasibku. Ungtungnya, aku masih bisa membeli
kopi dan rokok dari santunan orang tuaku karena membantunya jualan di pasar.
Aku tak akan bisa membayar bill di kafe untuk sebuah kencan dengan wanita jika
berpendapatan segitu."
"Percayalah, mungkin
sekarang kau berada di titik paling rendah. Tapi suatu hari kau akan berada di
puncak. Kehidupan selalu berputar. Tak selamanya di bawah. Optimislah."
"Aku tidak bisa
seoptimis itu jika melihat realita sekarang."
Percakapan-percakapan
di dalam kepalaku itu semakin membuatku frustasi. Gairah hidup seolah menguap bersama
kepulan asap kopi di atas meja yang belum aku sentuh sama sekali. Memikirkan
semua kegetiran hidupku membuatku kehilangan semangat. Sempat aku berpikir
untuk bunuh diri saja, tapi aku merasa takut, bukan takut mati tentu saja,
melainkan takut akan proses mati itu sendiri. Sepertinya itu sakit sekali.
Menyayat nadi kedengarannya sangat buruk, -kemasukan jarum suntik saja
membuatku bergidik-. Atau menggantung leher, -itu juga sepertinya menyiksa-. Atau
meminum racun tikus. Sepertinya cara-cara itu menyakitkan. Maka kubuang
jauh-jauh pikiran untuk bunuh diri. Toh, nanti aku juga mati sendiri.
Kecemasanku akan masa
depan yang buram tidak sesederhana percakapan dalam kepalaku tadi. Kecemasanku lebih
kompleks. Lebih ada cerita di dalamnya. Lebih banyak lika-liku perjalanan yang
berakhir putus asa. Semua yang aku usahakan sia-sia belaka. Seperti menanam
padi namun tak pernah panen karena rusak di makan hama, atau bersapu banjir
bandang.
Setelah dilanda pikiran
yang kusut, kopi yang mulai dingin di atas meja terlihat menggiurkan, maka
segera kuseruput. Namun baru sekali seruput aku langsung tersedak karena
melihat pemandangan yang langsung membuat ubun-ubunku panas.
Terlihat pemandangan yang
membuat dadaku sesak. Seorang wanita dengan senyum mengambang dibonceng motor
oleh seorang lelaki yang kutahu seorang juragan kayu yang juga sama, sedang tersenyum
riang. Romantis benar mereka dan itu membuatku mengumpet di bawah meja. Antara
marah, cemburu, malu, perasaanku tak karuan, aku tak ingin mereka melihatku.
Dia, Eny Khumairah,
perempuan yang seharusnya menjadi kekasihku. Dia adik temanku. Aku sering ke
rumahnya untuk bermain dengan Bambang, kakaknya. Lambat laun benih-benih
perasaan itu muncul. Kami sering mencuri pandang. Saling malu-malu. Saat itu
aku masih bekerja sebagai penjaga
counter Hp.
Pada akhirnya aku
berani mengajak Eny jalan dengan uang yang sangat pas-pasan. Itu terjadi
sebulan sekali setelah aku menerima gajiku. Tak ada kata cinta dalam hubungan
kami dan aku rasa itu tak perlu, -setidaknya begitu menurutku-. Yang terpenting
dan jelas adalah bahwa kami saling menyukai. Hingga waktu berlalu dan keadaan
berubah.
"Kapan kau akan
mengawiniku?" ucap Eny, meski itu sebuah kalimat pertanyaan tapi lebih
terdengar sebagai kalimat pernyataan bertanda seru. Kawin? Sementara waktu itu
aku sudah resmi menganggur. Itu pertanyaan yang simpel tapi jawabannya sangat
sulit. Lebih sulit dari jawaban soal fisika kurasa.
Mau aku kasih makan apa
dia? Batu? Kerikil? Pakai apa beli bedak dan eyeliner-nya? Daun? Akhirnya aku
bilang padanya, "beri aku waktu."
"Berapa lama?"
"Setahun."
"Baiklah. Setahun."
Setahun? Omong kosong. Pada
bulan kelima dia akhirnya memutuskan hubungan kami karena keadaanku bukannya membaik
malah semakin buruk. Ternyata dia tidak benar-benar cinta padaku. Atau mungkin
aku yang terlalu pengecut. Mungkin baginya menunggu sesuatu yang tidak pasti
hanya akan membuat lelah. Hubungan kami kandas. Dia berpaling pada Obed,
juragan kayu itu.
***
Bukannya aku tidak
bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan, tapi aku benar-benas cemas
memikirkan masa depanku. Sesuram mendung di musin penghujan. Segelap malam tanpa
rembulan dan bintang. Semakin hari semakin kelam. Segalanya tampak semakin
buruk dengan berbagai masalah yang datang.
Aku tidak tahu harus
bagaimana. Orang-orang disekitarku juga tak banyak membantu. Aku seakan sendiri
di dunia. Tidak ada teman yang benar-benar jadi teman. Kau tentu tahu maksudku.
Mereka yang mengaku teman hanya ada ketika kita senang dan ketika kita dalam
kesusahan mereka seolah menghilang. Seolah tidak pernah mengenal kita. Raib. Aku
muak segalanya. Dunia ini seperti memusuhiku.
"Mungkin nasibku nanti
akan seperti kakek itu. Tua dijalankan, meminta-minta, mengais-ngais apa pun
yang bisa dimakan. Hidup keras tanpa bisa memilih apa yang aku ingin dan aku
akan susah sekali mati. Kau tahu, seperti penjahat, orang-orang malang juga
amat susah mati."
Kembali, percakapan-percakapan
dalam pikiranku berceloteh.
"Masih saja kau
cemas. Masa depan, tak seorang pun tahu. Yah, kecuali orang-orang terpilih
macam nabi atau cenayang. Tapi kau cuma orang biasa. Kau pikir kau tahu apa
yang akan terjadi? Bung, Kecemasan datang karena ketidaktahuan."
"Aku akan jadi
pecundang."
"Menolak sesuatu
yang tidak bisa ditolak lebih menyakitkan dari apapun. Sudahlah, jalani saja. Berpikirlah
yang positif."
"Mungkin kau benar,
ketakutanku kurang beralasan. Aku akan mencoba berpikir positif kepada takdir."
***
Jika tidak berhasil di
kota sendiri, kenapa tida coba ke kota lain? Ide itu mendadak datang. Ya mungkin
memang rizkiku tidak di kota ini. Merantau. Itulah jawabannya. Yah, aku harus
merantau. Tapi bukannya aku tidak pernah merantau. Pernah dulu ke Kalimantan,
juga Bali, tapi tak menghasilkan uang. Maksudku gajiku habis. Saat balik ke
rumah sudah tak tersisa.
Merantau juga bukan hanya soal mencari
kerja namun juga inginku memulai sesuatu yang berbeda. Siapa tahu dengan
merantau nasibku berubah? Siapa tahu. Maka segera kukemasi barang-barangku yang
tidak seberapa ke dalam tas butut hingga penuh.
"Merantau seperti
menebak angka dadu berapa yang akan keluar."
"Setidaknya masih
tampak ada harapan."
No comments:
Post a Comment