Allahuakbar. Allahuakbar.
Dar… Dar...
Dar...
Allahuakbar. Allahuakbar.
Gemuruh teriakan dan jeritan riuh
memekakkan telinga di padang rumput itu.
Padang rumput yang kelabu tertimpa sinar pucat cahaya
rembulan yang muram. Muram melihat kejadian di bawahnya. Mayat-mayat
bergelimangan seperti botol kecap yang tiarap dan tutupnya terbuka, mengalirkan
darah kental di tanah. Darah dari mayat syuhada’
dan para kompeni keparat itu.
Meskipun hanya bersenjata seadanya
–parang, celurit, sundu dan bambu kuning yang diruncingi ujung-ujungnya- para
pahlawan pertiwi berseragam hijau kacang kapri itu, menggempur para kompeni
tanpa rasa takut. Semangat mereka berkobar-kobar. Prajurit-prajurit kompeni
kewalahan. Kocar-kacir mereka dihantam
semangat para pejuang.
Seorang jejaka pribumi bertempur
dengan sangat hebat. Dengan semangat berkobar dia
menghunuskan bambu runcing pada setiap musuh di depannya. Kocar-kacir prajurit
kompeni dibuatnya. Namun, salah satu kompeni sedang membidiknya. Dan, “Daarr…” Peluru
meroket. Menelusup pas di jantung jejaka
itu. “Allahuakbar!” Kata terakhir
yang dia ucapkan. Berhenti. Detak jantung merah putih itu berhenti. Mati.
Kemudian semuanya gelap. Semu.
***
Aku terbangun dari tidurku. Napasku
terpacu seperti habis maraton di alun-alun kota sebanyak sepuluh putaran tanpa
berhenti. Keringat membanjiri tubuhku. Aku mendesah lirih.
“Astagfirullahaladzim.”
Ali, teman sebangkuku memandangku
aneh. “Kenapa Bar? Mimpi itu lagi?”
Aku mengangguk lemah. Sungguh
aneh, aku selalu memimpikan peristiwa itu. Dan selalu terjadi pada hari-hari
mendekati tanggal 10 November. Mulai
dari November pertama aku berada di Madrasah Aliyyah ini, hingga November
sekarang. November terakhir jika aku lulus dari sekolah.
Kuarahkan pandangan ke penjuru
kelas. Suasana ramai. Ada yang ngobrol,
bergosib bahkan tidur (seperti aku tadi). Dan aku bertanya-tanya, apakah mereka yang tidur memimpikan hal yang sama
sepertiku?
Sementara itu, kepalaku masih terasa pening karena mimpi tadi. Aku
memandang jam di dinding. Baru pukul 09:35. Waktu istirahat masih lama.
Sementara aku sungguh ingin pergi ke kantin membeli
minum. Kemudian, kualihkan
pandangan keluar jendela. Kebetulan bangkuku terletak di dekat jendela lantai
dua.
Rupanya orang itu belum ada.
Orang yang kata teman-temanku sinting. Aku pun beranggapan demikian. Orang yang
selalu berdiri tegak di depan tiang bendera sambil hormat setiap hari-hari
mendekati tanggal 10 November.
“Bar, berhenti melamunnya. Tuh, Bu Ida sudah datang,” kata Ali, menjawilku.
Bu Ida, guru matematika memasuki
ruangan.
“Selamat pagi anak-anak. Ibu minta maaf terlambat masuk kelas karena tadi ada
yang harus diurus di kantor,” kata Bu Ida. “Sekarang,
kita lanjutkan pelajaran. Buka halaman 141. Fungsi limit.”
Sebelum membuka buku, sekali lagi
aku memandang keluar jendela. Orang yang aku maksud sudah berdiri tegak di
depan tiang bendera sambil hormat.
***
Para siswa dan guru tiada lagi.
Tinggal aku, Ali dan orang gila itu. Aku memang sengaja menunggu keadaan ini.
Sejujurnya, aku sangat penasaran dengan orang gila itu. Mengapa dia rela
berpanas-panasan hanya untuk hormat pada tiang bendera seperti orang upacara 17
Agustus? Padahal hari ini bukan tanggal Agustus. Ini November. Dan mimpi itu
juga terjadi pada waktu sama. November?
Aku mengajak Ali mendekati orang
gila itu. Ali bergeming.
“Ayolah,
Al. Aku sangat penasaran,” kataku pada
Ali dengan wajah yang kubuat sememelas mungkin.
“Kamu sudah sinting, Bar? kayak nggak ada kerjaan
aja.” Ali geleng-geleng kepala seakan melihatku sudah ikutan jadi gila. “Lagian
percuma saja. Orang
gila itu tak akan memedulikanmu. Pak kepsek, Pak Bambang, Pak Sahal, tukang
kebun sekolah, semuanya dicuekin orang gila itu. Mungkin saja orang gila itu
bisu.”
Namun,
rasa ingin tahu telah membuatku keras kepala. “Apa salahnya dicoba?”.
Dan akhirnya, setelah perdebatan yang panjang, sahabatku itu mau juga kugelandang mendekati orang
gila itu. Ali mengikutiku setengah hati. Ragu-ragu kami melangkah. Hingga
sampai kami berada di belakang orang gila itu.
“Permisi,
Mas,” kataku pada
orang gila itu.
Tidak di-respeck.
“Permisi,
Bang,” kataku lagi.
Aku masih dicuekin. Kujawil
pundaknya karena tak sabar. Dia menatapku. Aku terperanjat. Ali kaget mundur ke
belakang. Sebelumnya aku tak pernah berada sedekat ini dengang orang gila ini.
Orang gila ini terlihat masih muda, mungkin berumur 27 tahun. Terbalut baju
compang-camping. Dan wajahnya penuh bekas luka. Seram!
Aku bingung mau berkata apa.
Kemudian orang gila itu merogoh ke dalam kantong celananya. Aku was-was, begitu
juga Ali. “Eh, apa yang sedang dia rogoh,
Bar?” bisik Ali.
“Entahlah,
aku juga tidak tahu,” kataku
berbisik.
“Kurasa kita harus segera pergi,” usul Ali.
“Sebentar lagi, Al.”.
Aku yakin dalam kantong celananya
yang ciut itu tidak ada apa-apa.
Namun ajaib! Sungguh aku tidak menyangka dari dalam kantong celananya ada
segumpal kain. Bendera merah putih. Hah?
Ya, dia mengeluarkan bendera merah putih. Dan aku heran tak terkira
orang gila ini memberikan bendera merah putihnya itu kepadaku.
“Ambillah,”
katanya dalam suara berat dan serak. Sebetulnya aku juga merasa ada aura seram.
Aku dan Ali mengamati bendera
merah putih yang kini berada di tanganku. Kainnya lusuh, banyak robekan-robekan
kecil dan warna merahnya luntur menjadi pink.
Bendera ini membuat perasaanku tidak nyaman. Aku tidak bisa menafsirkannya
seperti bagaimana. Aku mendongak dan mau bertanya pada orang gila ini mengapa
dia memberikan benderanya padaku. Namun, aku termangu dalam tanda tanya besar.
Orang gila itu sudah tidak ada. Aku dan Ali saling berpandangan, langsung ngacir ketakutan.
***
Malamnya, kutaruh bendera merah
putih menyedihkan itu di atas meja belajar. Kupandangi terus bendera itu.
Sementara udara dingin masuk melalui jendela, pikiranku berkecamuk dalam
ketidak pahaman. Dan semakin lama aku menatap bendera itu, semakin aku
merasakan sesuatu. Entahlah, aku juga tidak tahu seperti apa lebih tepatnya.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Secara
misterius kata demi kata terangkai. Kata-kata itu tertoreh di atas bendera
merah putih itu. Seharusnya dalam detik ini juga aku sudah menjerit. Aku
menyaksikannya, sajak demi sajak tercipta. Dan semua itu tertulis dengan…
darah! Bayangkan! Darah!
Aku membaca sajak-sajak itu.
Malam
itu
Malam
itu ramai
Bukan
karena kukuk-kukuk burung hantu
Bukan
juga karena lolongan serigala
Namun
karena perang
Merah
putih berkibar-kibar di udara
Orang-orang
berteriak,“Negeri kita
harus merdeka, ALLAHUAKBAR!”
Dan
kupenggal leher para penjajah itu
Hingga
merdekalah tanah kita
Soekarno-Hatta
telah mengungumkannya
Namun
aku masih terseok-seok dan tertatih
Hingga kini,
gedung-gedung
menjulang tinggi
Hotel-hotel
berbintang di sana-sini
Bioskop,
stadion, dan jalan-jalan layang beranak,
bersama
manipulasi, kolusi, korupsi, monopoli
Aku
merintih
Aku
menangis
Tak
ada yang mengenal lagi
Tak
ada yang peduli lagi
Yang
kini tiada lagi
Setelah
sebutir peluruh itu menjatuhkanku
Dalam
medan tempur itu
Aku
telah melayang
Dalam
sejarah berdebu
Demi
dirimu
Kurelakan
jiwa ragaku
Agar
engkau bebas
Merdeka.
Tanah
airku
Hah? Apa ini? Puisi?
Aku mencoba memahami setiap
rangkaian kata di atas bendera merah putih. Mencoba menghubungkannya dengan
mimpi yang selalu aku alami. Kesimpulnnya mulai jelas di benakku. Mungkin
sekolahku dulu adalah bekas medan perang. Dan mungkin orang gila itu?
Sebuah nama tertoreh di atas
merah putih.
RAHAYU
Terperanjat. Aku tahu nama siapa yang tertoreh di atas merah putih. Nama nenekku. Ya, nama nenekku. Tanpa buang waktu lagi kuambil bendera
menyedihkan ini. Kumasukan benda ini kedalam tas cangklong hitamku. Segera aku
pergi ke rumah paman di desa sebelah. Nenek Rahayu tinggal bersama paman.
Usianya mau mencapai 70 tahun. Sementara kakek sudah lama meninggal.
***
Kulihat nenek sedang duduk di
kursi goyang sambil mendendangkan lagu gambang suling. Nenek memang suka sekali
dengan lagu-lagu tradisional.
Aku sebenarnya kurang begitu suka
dengan lagu semacam itu. Aku lebih suka
musik modern. Namun,
jika nenek yang menyanyikannya, maka aku akan
terbawa dalam alunan lagu jawa semacam itu seperti aku mendengarkan thinking out
loud-nya, Ed Sheeran.
Namun,
kedatanganku ke sini bukan untuk meminta dinyanyikan nenek. Segera
aku menemui nenek. Kuucapkan salam. Kukecup tangannya. Kuambil bendera merah
putih dari dalam tas cangklong. Kuserahkan pada nenek.
Nenek tampak
terkejut. Mata di balik kacamata tuanya begitu sendu. Mulutnya tertutup. Yang
terjadi kemudian adalah hening. Hingga perlahan-lahan, sebutir air jatuh dari
pelupuk mata nenek, membasahi pipi nenek yang keriput. Dipeluknya bendera itu.
Seolah bendera itu adalah sesuatu yang dirindukan nenek sepanjang hidupnya.
Semakin deras air mata terjatuh.
“Dia berjanji akan menikahiku
setelah pulang dari perang tapi dia tidak pernah kembali. Aku bangga padanya
yang dengan gagahnya membela tanah air.”
Mengalirlah cerita nenek.
***
Besok
paginya, aku menggali lubang di depan tiang bendera sekolah. Kupendam bendera
merah putih itu. Kemudian, aku berdoa untuk pemilik bendera merah putih
itu. Semoga pengorbanannya untuk
tanah air di terima Tuhan. Dan pahlawan yang tak pernah diketahui bangsa itu
mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan. Amin.
Aku
berjanji tidak akan menyia-nyiakan pengorbanannya. Aku akan lebih giat belajar supaya
bisa berguna bagi bangsa tercinta ini.
***
Satu tahun kemudian.
Hari ini tanggal 10 November. Aku sudah lulus. Aku sengaja mengunjungi sekolah ini. Aku bertanya pada adik-adik kelas, kata mereka sudah tidak ada yang
pernah melihat orang gila atau pemuda compang camping atau pahlawan itu, yang
berdiri di depan tiang bendera sambil hormat setiap bulan November.
No comments:
Post a Comment