Semua
mendadak tampak agamis. Yang tadinya jarang ngaji,
jadi rajin bawa Al-qur'an kemana-mana. Orang-orang kaya yang pelit jadi
dermawan. Status di media sosial ramai mengutip pesan kebajikan dari ayat suci
dan hadits Nabi. Masjid-masjid ramai memutar lantunan ayat suci Al-qur'an,
suaranya membahana dari TOA. Tempat karaoke buka hanya sampai jam sepuluh
malam. Dan yang paling kentara, iklan sirup berjaya di televisi.
Bulan
Ramadan tiba. Pas di pertengaan bulan Mei. Pas di panas-panasnya musim kemarau.
Euforia
menyebar pada diri kaum muslim. Bulan penuh kebaikan. Bulah penuh ampunan.
Bulan penuh berkah. Mari berbondong-bondong beribadah. Mari banyak beristigfar.
Mari panen pahala.
Mungkin
hanya aku yang menanggapi biasa saja datangnya bulan suci ini. Barangkali
lantaran hatiku yang sudah beku. Beku karena banyaknya dosa yang telah aku
perbuat. Tak terhitung maksiat yang pernah aku lakukan. Lima waktu juga jarang.
Baca Al-qur'an apalagi. Puasa tak pernah.
Aku
membayangkan setelah mati diriku dicincang malaikat di samudra api neraka.
Tubuhku ditusuk besi panas. Kepalaku digantung. Kelaminku dibakar oleh api
membara. Dikasih makan belatung busuk. Minum air mendidih. Ngeri! Tak ayal aku
ingin bertaubat. Tapi tetap saja kujalankan maksiat. Iblis membawaku pada jalan
yang sesat. Atau malah aku sendiri adalah iblis itu. Gelap. Kelam. Berdosa.
Tersesat.
Aku
adalah penikmat malam yang gemerlap. Pecandu tubuh wanita yang molek, indah dan
menggairahkan. Hamba nafsu yang yang taat. Pemburu dosa yang bersemangat. Anak
yang durhaka pada ibunya.
Akulah
sang pendosa.
***
"Jadi,
kamu pulang atau tidak?" tanya Mbak Erna di seberang sana.
"Entahlah.
Mungkin tidak, Mbak," jawabku.
"Pulanglah.
Sudah lama kamu tidak mengunjungi Ibumu. Mau sampai kapan kucing-kucingan
dengan Ibu?"
"Iya,
Mbak. Aku pikirkan lagi."
Klik.
Aku menutup secara sepihak telepon dari Mbak Erna. Ini sudah kelima kali Mbak
Erna menelpon dalam kurun waktu tiga hari. Aku tidak tahu dari mana ia
mendapatkan nomor teleponku. Ia menanyakan apa aku akan pulang pada lebaran
nanti. Lebih tepatnya, ia memintaku untuk pulang.
Aku
tidak tahu. Sebenarnya aku malas untuk pulang. Di desa, aku seperti tak punya
kehidupan. Aku tidak suka hidup di desa. Desa selalu mengingatkanku pada
kenangan buruk itu. Aku suka hidup di hiruk pikuk kota. Dengan segala tawaran
kemegahannya. Malamnya menggairahkan. Bir-bir di bar-bar menggiurkan.
Wanita-wanita penggoda membuatku mampu melupakan rasa marah (walau pada
akhirnya teringat lagi).
Sudah
tiga tahun aku lari dari desa, tempat di mana aku menghabiskan masa kanak-kanak
yang ceria. Sudah selama itu pula aku lari dari Ibu. Juga lari dari kenangan
akan wanita itu. Wanita yang menjadi alasanku harus perang dingin dengan Ibu.
Aku
masih ingat ketika pertama kali melihat sepasang alis yang indah. Seketika itu
juga aku langsung jatuh cinta. Jatuh cinta pada sepasang alis milik wanita
bernama Maharani Callista. Aku jatuh cinta dari alis, hingga turun ke hati.
Menohok hingga ke dasarnya.
***
Ia
sedang jongkok di antara gerombolan mahasiswa-mahasiswi baru. Pakai kemeja
putih, celana hitam. Pakai topi kerucut mirip topi nenek sihir. Dia berkalung
selembar kertas bertuliskan Maharani Callista.
Semua
itu tidak menarik hingga kutemukan alis yang begitu indah. Alis asli. Bukan
alis pakai pensil. Aku tertarik. Aku dekati. Diam-diam menyimpan alibi. Aku
ketua ospek kali ini. Jaga intregitas. Intregitas? Aku tertawa.
Saat
situasi, kondisi, aman terkendali.
"Kamu,"
sapaku. Sepertinya ia kaget.
"Iya,
Kak. Ada apa, Kak?"
"Nama
kamu Maharani?"
"Iya."
"Boleh
pinjem bolpen, Rani?"
Sesaat
ia memandangku aneh. Tahu ia aku beralibi.
"Ini.
Besok balikin, bolpen kesayanganku." katanya sambil senyum. Aku senyum
juga.
Besoknya
aku balikin bolpen-nya. Besoknya lagi
aku tanya rumahnya di mana (walau dari informasi aku sudah tahu). Besoknya lagi
aku antar ia pulang. Besoknya lagi kita ngobrol
di perpustakaan. Besoknya lagi kita dinner.
Besoknya lagi kita nonton bioskop. Besoknya lagi bilang rindu. Besoknya lagi
bilang sayang. Besoknya lagi jadian.
Sehari,
seminggu, sebulan, setahun, dua tahun, aku semakin sayang. Ia pun begitu.
"Kapan
kamu akan memperkenalkan aku pada keluargamu?" kata Rani suatu ketika.
Aku
terdiam cukup lama. Aku mulai gelisah. Kegelisahan yamg sebenarnya sudah aku
simpan cukup lama
Aku
terdiam memikirkan banyak hal. Tentang ketakutanku selama ini. Apa aku siap menerima
kabar paling buruk? Kabar jika keluargaku tak setuju atas hubunganku dengan
Rani karena tak seiman. Aku sangat tahu bagaimana lingkungan keluargaku. Sangat
religius. Sangat menjunjung hukum-hukum
agama islam. Apakah ibu akan setuju aku meneruskan hubunganku dengan Rani
hingga ke jenjang pernikahan?
Tapi,
demi cintaku pada Rani, aku pun mengajakanya menemui keluargaku. Menemui ibu.
Ibu,
ayah, Mbak Erna serta suaminya menyambut kedatanganku dan Rani dengan ramah.
Hingga aku memperkenalkan bahwa Rani adalah pacarku. Bahwa ia seorang
kristiani. Bahwa aku serius dengan hubungan kami.
Ibu
hanya diam lalu pergi ke kamarnya dengan alasan tidak enak badan.
Ayah
juga diam. Untung ada Mbak Erna dan suaminya yang bisa mencairkan suasana.
"Aku
tahu Ibu dan Ayahmu tidak setuju dengan hubungan kita," kata Rani di jalan
saat aku mengantarkannya pulang.
"Tenanglah.
Aku yakin tidak begitu. Aku hanya perlu bicara dengan mereka," kataku
menenangkan Rani. Walaupun aku sendiri tahu bahwa Rani benar.
"Aku
tidak mau melanjutkan hubungan ini jika tidak mendapat restu. Hubungi aku jika sudah
mendapatkan kepastiannya, Syif. Sebelum itu jangan menemuiku," kata Rani
meng-ultimatum.
***
"Ibu
tidak setuju, Nak," kata ibu jelas.
"Tapi
Asyif mencintainya, Bu."
"Carilah
wanita yang seiman denganmu. Yang baik agamanya. Seperti Mafa."
"Aku
tidak mencintai Mafa, Bu. Meskipun ia wanita baik-baik. Anak kiai pula. Aku
cuma cinta sama Rani."
Ibu
menggeleng tegas, "Ibu tidak merestui."
Aku
meneteskan air mata. "Tolonglah, Bu. Ini permintaanku satu-satunya."
Ibu
tetap teguh menggeleng. "Mintalah yang lain. Mobil? Uang? Rumah ini serta
perkebunan itu milikmu. Ibu kasih semuanya padamu. Tapi tidak untuk yang satu
itu. Ibu tidak ridho."
"Asyif
tidak inginkan itu semua. Asyif hanya ingin Rani."
Ibu
tetap menggeleng. Lalu, ia meninggalkanku yang masih merengek seperti dulu
sewaktu kecil saat minta es krim ketika badanku sedang demam. Bagi ibu, sekali
tidak tetap tidak. Ia wanita yang teguh pada pendirian.
"Aku
akan tetap menikahi Rani meskipun ibu tidak merestui." teriakku.
Ibu
hanya diam di kamarnya. Aku segera pergi dari rumah. Aku pergi ke rumah Rani.
Aku menemuinya. Aku katakan aku akan segera menikahinya.
"Jadi,
Ibumu setuju?" tanya Rani penuh harap.
Aku
terdiam.
"Kita
akan tetap menikah." kataku, meyakinkan kekasihku itu.
Rani
terpaku di tempatnya. Mukanya sedih.
"Tidak,
Syif. Kita tidak akan pernah menikah jika tidak mendapat restu."
"Jika
begitu kita tidak akan pernah menikah. Aku tahu bagaimana keras kepalanya Ibuku.
Aku ingin menikahimu. Aku mencintaimu, Rani!""
"Aku
juga mencintaimu."
"Lalu
mengapa kamu tidak mau!"
Tangis
Rani pecah. Air matanya membanjiri pipi. "Menikah tidak hanya menikahi
satu individu saja, Asyif. Menikah juga berarti menikahi keluarga, lingkungan,
serta kebiasan-kebiasan pasangannya. Jika syarat menikah denganmu adalah dengan
pindah keyakinan, maaf aku tidak bisa."
Rani
menciumku untuk yang terakhir kali lalu pergi meninggalkanku yang terdiam bagai
batu. Aku memanggil-manggil namanya tapi ia tidak pernah menoleh.
Sejak
saat itu aku benci dengan keadaan. Aku benci dengan Ibu. Aku benci dengan Rani.
Aku benci dengan takdir. Aku benci dengan diriku sendiri.
Aku
memutuskan pergi dari rumah. Aku pergi ke kota. Aku bekerja, mendapatkan uang,
foya-foya, membalas sakit hatiku dengan menikmati tubuh wanita-wanita yang
menggoda.
Aku
sudah lupa caranya shalat. Aku lupa bagaimana membaca huruf hijaiyyah. Aku lupa
bagaima lafal doa qunut. Aku lupa segalanya tentang beribadah. Aku berusaha
melupakan Tuhan. Aku tersesat. Aku tidak tahu jalan pulang.
***
Rumah
ini tidak banyak berubah. Cat temboknya masih berwarna putih. Pohon rambutan
masih berdiri nyaman di pekarangan. Tempat pembakaran sampah masih ada. Bunga-bunga
masih menghiasi halamaan (dari dulu Ibu hobi memelihara bunga). Hanya saja,
sekarang rumah ini tampak sepi.
Aku
kembali bimbang. Masuk atau tidak? Atau aku kembali saja ke kota? Lama aku
tidak bertemu ibu. Aku tidak tahu harus bagaimana nanti jika aku bertemu ibu.
Mendadak aku diliputi perasaan gelisah.
Sejak
Mbak Erna tak henti menelpon, memintaku untuk pulang, aku selalu dihantui
perasaan gelisah. Apalagi ketika ia bilang Ibu sebenarnya sudah lama
sakit-sakitan (walau aku curiga Mbak Erna berbohong supaya aku mau pulang).
Rasa bersalah pada Ibu membuncah. Aku tahu jika aku anak yang durhaka. Tapi,
jauh di lubuk hatiku, aku rindu pada Ibu. Aku ingat semua tentang Ibu.
Bagaimana dulu ia merawatku, menjagaku dan memarahiku. Aku bahkan ingat bagaimana
rasa masakannya.
Namun,
egoku masih besar. Aku terlalu malu mengakui jika aku rindu padanya. Tiga tahun
aku lari dari rumah. Tiga tahun aku mencari pelampiasan sakit hati. Selama itu
aku tidak bertemu dengan Ibu. Selama itu aku perang dingin dengan Ibu.
Lalu,
pada akhirnya aku berada di sini. Di depan rumah yang dulunya sangat familiar, sekarang jadi begitu asing,
dengan perasaan tak menentu.
Seseorang
menepuk pundakku. Aku menoleh. Mbak Erna senyum. Aku tidak sadar kapan dia
datang. Tiba-tiba saja ia sudah ada.
"Masuklah.
Ibu merindukanmu."
"Entahlah,
Mbak. Ibu pasti marah padaku. Tiga tahun tak menemuinya. Ia pasti menganggapku
anak durhaka. Dan memang seperti itu aku."
"Ibu
tidak pernah marah padamu. Ibu tidak pernah bilang kamu anak durhaka. Ibu memang
tidak secara langsung menanyakan tentang dirimu. Tapi sering ketika tidur ia
mengingau memanggil-manggil namamu. Sering aku juga mendengar ibu berdoa
untukmu sehabis shalat. Doanya baik-baik."
Aku
terharu mendengar penuturan Mbak Erna. Aku jadi semakin merasa bersalah pada Ibu.
"Akhir-akhir
ini Ibu mulai sakit-sakitan. Temuilah. Selagi masih ada waktu. Jika sudah tidak
ada kesempatan, kamu pasti akan menyesal."
Aku
mengangguk gamang.
"Kamu
ingin buka puasa dengan apa? Biar aku masakkan. Kamu masih suka ikan bakar
sambal trasi. Masakanku tak kalah enak sama masakan Ibu, kok. Ibu sendiri
mewariskan rahasia menunya padaku. Kadang aku mendengar ia bergumam bahwa Asyif
sangat menyukai sambal trasi bikinannya."
"Aku
tidak puasa, Mbak. Tidak pernah sejak lari dari rumah."
"Yaudah,
tak apa. Besok puasalah. Tinggal sehari. Besoknya lagi lebaran. Aku akan tetap
masak buat buka nanti. Sekarang, ayo masuk. Temui Ibu."
Mbak
Erna menggeret tanganku, membawaku memasuki rumah. Jantungku berdetak tak
karuan. Langkah demi langkah terasa begitu lama.
Ibu,
aku pulang.
Ibu,
akankah engkau mengampuni kedurhakaan anakmu ini?
Tanpa
sadar air mataku menetes.
***
Sejauh
apa pun aku melangkah
Aku
akan kembali pada-Mu
Sejauh
apa pun aku pergi
Kau
akan tetap kembali memelukku
Penulis,
Havidz Antonio
No comments:
Post a Comment