"Dasar
anjing!" umpat mereka.
"Ssst. Lihat itu, ada anjing
buduk. Jijik banget, ya," cemooh mereka.
"Woi...
anjing sialan. Pergi lo dari sini," caci maki mereka.
Begitulah
umpatan, cemooh dan caci maki mereka.
Beginilah,
mereka bilang, saya anjing!
***
Mereka
bilang, saya anjing!
Karena
saya tak merasa anjing, maka tak saya gubris
apa
yang mereka bilang. Saya tetap menjalani
hari-hari biasa dengan biasa-biasa
saja. Bangun tidur, berangkat kerja, pulang kerja, tidur
lagi. Sesekali pergi pergi ke bioskop. Atau ke bar. Atau ke pantai. Atau ke
gunung. Atau tak pergi sama sekali.
Hari-hari
saya berjalan normal. Hingga pada suatu ketika di hari Senin yang sibuk, orang-orang
yang berpapasan dengan saya memandang aneh dan bekomat-kamit mulutnya seperti
sedang merapal mantra. Orang-orang di jalan, orang-orang di kantor, orang-orang
pegawai KFC hingga orang-orang yang menyamar jadi orang-orangan, semuanya sama,
memandang aneh saya dengan mulut komat-kamit. Apa ada sesuatu yang salah pada
diri saya? Apa saya lupa mengoleskan pomade
ke rambut? Apa saya lupa menyemprotkan minyak wangi? Apa risleting celana
saya terbuka?
Dan
jawaban itu baru saya ketahui ketika seorang anak Tk berseru pada Ibunya.
"Mom,
lihat anjing itu. Boleh aku memilikinya?"
Ibunya
menggeleng tegas. "Itu anjing yang amat jelek, sayang. Kita beli saja
anjing yang lebih cantik."
Mendengar
mereka bilang saya anjing, lekas-lekas saya mencari kaca. Dari pantulan
bayangan di kaca saya melihat diri saya. O, mengapa mereka bilang saya anjing?
Apa mata mereka sedang mengalami katarak massal?
Saya
masih seperti yang biasa kok. Hidung masih mancung. Telinga masih normal, tidak
memanjang. Lidah juga tidak menjulur meneteskan liur seperti seharusnya Anjing.
Suara saya juga tidak menggonggong.
Lalu
mengapa mereka bilang saya anjing?
***
Mereka
bilang, saya anjing!
Padahal,
mereka sendiri adalah anjing. Kenyataan ini terungkap pada suat pagi di hari Selasa
yang cerah. Orang-orang yang saya lihat tiba-tiba berubah menjadi anjing!
Malah,
berupa-rupa bentuk mereka. Bervariasi. Berkombinasi. Berimprovisasi. Dan
ber-ber yang lain.
Ada
yang rupanya utuh seekor anjing. Ada yang setengah-setengah. Setengah anjing,
setengah manusia. Setengah anjing, setengah ular. Setengah anjing, setengah
babi. Setengah anjing, setengah jin.
"Anjing
kok teriak anjing," aku berteriak jengkel saat mereka berbisik-bisik di
belakangku, mengataiku anjing.
Dan
lihatlah kelakuan anjing-anjing itu. Benar-benar mirip anjing. Makan dengan
cara anjing. Menggonggong serupa anjing. Kencing ala anjing. Bercinta
selayaknya anjing, dengan anjing.
***
Gerangan
apa yang terjadi? Malam-malam begini mereka melolong. Berguguk ria. Menguik.
Ah,
dasar anjing-anjing itu.
Tetangga
samping rumahku itu, lelaki bertubuh anjing berkepala buaya dan istrinya,
wanita bertubuh anjing berbulu beruang, saling menguik dan mengumpat.
"Kau
ini anjing. Punya istri masih saja main gila sama sekretaris anjingmu
itu," nguik si wanita anjing berbulu beruang. Suaminya, si anjing
berkepala buaya balas menguik.
"Ah,
itu cuma caramu mengintimidasi. Bilang saja kau perlu tambahan uang untuk
merawat bulu-bulu beruang di badan anjingmu itu."
Ah,
biarkan saja anjing-anjing itu!
***
Teman
sekantorku itu, seekor anjing. Kepala, badan, kakinya, nguiknya, semuanya anjing.
Hanya satu bagian yang tidak. Kelaminnya! Kelaminnya serupa milik kuda.
"Bayangkan
jika kau mempunyai kelamin sebesar ini dan setiap saat ereksi?" katanya.
Saya
bergidik ngeri.
Maka,
setiap malam, temanku itu selalu menyelusuri club-club malam. Baik yang
lampunya berpendar-pendar maupun yang remang-remang. Mencari anjing-anjing
betina bergincu merah. Lalu mengawinya semalam saja.
***
Hari-hari
berlalu dan masih saja mereka bilang saya anjing.
Bingunglah
saya. Di mana letak keanjingan saya?
Kembali
saya meraih kaca. Sekadar memastikan. Lihatlah, wujud saya manusia. Mulai dari
ujung kaki hingga ujung kepala. Suara saya juga suara manusia.
Lalu
mengapa mereka masih bilang, saya anjing?
***
"Dasar
Anjing," umpat seekor anjing sempurna kepada saya. Anjing sempurna itu
akhirnya tahu jika pekerjaannya seringkali saya sabotase.
Anjing
sempurna! Ya, saya bilang begitu karena ia tampak benar-benar serupa anjing.
Tak ada kombinasi aneh-aneh di badannya. Tidak seperti anjing-anjing campuran
lainnya.
"Eh,
lo buta ya? Lihat baik-baik. Siapa yang anjing? Buktiin bagian tubuh mana dari
saya yang anjing?" saya balas mengumpat.
"Otak
lo itu, otak anjing bego!" makinya tegas.
Saya
terdiam. Akhirnya saya tahu jawabannya, mengapa mereka bilang saya anjing!
Penulis,
Havidz Antonio
bagus cerpennya alurnya gk bisa ketebak mengapa bisa jadi anjing. mantap lanjutkan cerpennya
ReplyDeleteTerima kasih atas commentnya. 😊
Delete