(Mungkin)
Surat dari R.A. Kartini
Oleh
: Havidz Antonio
Tiga
hal yang aku tahu tentang Neni, ibuku. Pertama, ia seorang wanita karir yang
sibuk dengan pekerjaan dan berbagai organisasi sosial, terutama masalah
pemberdayaan wanita. Kedua, ia sangat mengagumi sosok R.A. Kartini, pahlawan
emansipasi wanita yang menjadi kebanggaan kota dan negeriku. Ketiga, Neni payah
sekali dalam mengatur waktu. Terbukti ia tidak bisa mengatur waktu untuk
keluarga dan segala urusannya itu. Sampai-sampai seringkali kudengar ia adu
mulut dengan Abi, ayahku, soal kebiasaannya mementingkan pekerjaan dan
organisasi sosial ketimbang keluarga.
---0---
Sekali
lagi aku mendengar mereka adu mulut di lantai bawah. Hal inilah yang membuatku
tidak betah di rumah. Kalau sudah begini aku memilih main ke rumah Andre saja.
Aku
turun dari kasur. Lalu mengambil jaket. Hati-hati aku membuka pintu kamar agar
tidak berderit terlalu keras. Andaikata mereka tahu aku akan menyelinap keluar
rumah, mereka pasti tidak mengizinkan. Maka aku harus mengendap-endap sehati-hati
mungkin. Keluar dari pintu belakang. Sebelum keluar aku sempat mendengar adu
argumen antara Neni dan Abi.
"Aku
izinkan kamu bekerja dan berorganisasi sosial karena aku awalnya percaya kamu
bisa menyeimbangkan antara keluarga dan urusanmu itu," kata Abi. Walau
kedengerannya hanya menasehati Neni belaka, aku tahu ia berusaha keras supaya
intonasi suaranya tidak emosi. Ayahki itu tipikal lelaki yang lembut.
"Jadi
menurut Mas aku tidak bisa menjalankan kewajibanku gitu? Sama keluarga? Sama organisasi?" tanya
Neni sinis.
"Buktinya?"
Abi balik nanya. "Kamu jarang bikin sarapan. Tidak jemput Ema (adikku,
baru kelaa 2 Sd) pulang sekolah. Kamu pulang selalu larut malam ... " Abi
memaparkan beberapa kebiasaan buruk Neni. Aku mengangguk menyetujui.
"Mas
harus ngerti aku dong. Aku sibuk Mas. Aku ingin meneruskan perjuangan Kartini.
Membantu pendidikan bagi wanita-wanita di Jepara. Sehingga mereka bisa
mengoptimalkan potensi individu mereka."
Meskipun
aku tidak melihat, aku yakin Abi sedang geleng-geleng kepala. "Kamu salah
mengartikan perjuangan Kartini."
Ah!
Ngapain juga aku nguping pembicaraan mereka. Lebih baik aku lekas ke rumah
Andre. Ssstt... Harus diam-diam. Tidak boleh ketahuan.
---0---
"
Oh... Kafi," kata Andre saat membukakan pintu kamarnya. Aku segera menghambur
masuk kamarnya yang jauh lebih rapi daripada kamarku. Aku merebahkan tubuh di
atas kasur yang empuk.
"Lagi
apa lo?" tanyaku.
"Main
Ps," jawabnya singkat. Aku bangkit dan melihat ia sudah duduk di depan
layar komputer sambil jari-jarinya sibuk memencer joystick. "Mau
ngikut?" Andre menawari, aku menggeleng. Lagi gak mood.
Aku
melihat apa yang dimainkan Andre, Gof Of War.
"Yaudah,"
katanya. Salah satu kebiasaan buruk temanku yang satu ini. Kalau sudah main Ps
tidak akan tergoda dengan hal yang lain. Tapi aku datang kesini niat mau
curhat. Gak aku biarin dia nyuekin.
"Ndre,
aku mau curhat. Lo stop dulu deh main Psnya."
"Kayak
cewek aja lo. Curhat apa sih lo?"
"Tentang
Kartini."
"Kartini
siapa? Anak kelas berapa?"
"Kartini
pahlawan emansipasi wanita."
"Oh...
Aneh," ucap Andre pendek. Tangannya masih sibuk dengan joystick. Aku
membayangkan jika joystick itu bisa bicara pasti berteriak minta tolong
gara-gaa digencet Andre tanpa ampun.
"Emang
kenapa dengan Ibu Kartini? Tumben lo bahas beginian. Bahasan paling tak lazim
bagi bocah yang baru baligh. Emang ada Pr Sejarah?"
"Nggak
ada. Aku cuma pengin tahu mengapa R.A. Kartini bisa dimasukkan dalam kategori
pahlawan nasional. Padahal doi nggak ikut perang kayak Cut Nyak Dien."
"Memang
perang harus dengan fisik saja? R.A. Kartini berperang melalui guratan pena di
medan gagasan dan cita-cita kebangkitan Kawa, khusunya wanita Jawa. Supaya
wanita menjadi pribadi yang berpendidikan dan bermoral."
"Begitu?
Tapi sejauh yang aku tahu bukankah Kartini pembuka emansipasi wanita di
Indonesia, yang intinya menuntut
persamaan hak wanita dengan laki-lali. Pendek kata, wanita jadi bisa berkarir
dan berorganisasi seenak hati tanpa memedulikab jati dirinya sebagai seorang
ibu nantinya," kataku teringat Neni.
"Itu
pemahaman yang salah. Yang lo katakan itu sama saja pandangan feminisme
barat yang menonaktifkan domestifikasi wanita. Untung aku pernah buat artikel
tentang ini. Jadi sedikit banyak aku tahu tentang konsep feminisme
Kartini," kata Andre si bintang pelajar.
"Jelaskan
dengan bahasa yang mudah dipahami."
"Kalau
dijelaskan sekarang lama selesainya. Alam pikiran Kartini sangat luat jika
dijabarkan. Aku lagi fokus main Ps. Aku pinjemin sebuah buku ya. Lo baca dan
pamahi sendiri," kata andre.
Andre
meletakan joysticknya lalu mencari-cari sesuatu di antara buku-buku koleksinya
di rak. Andre selain gamer sejati adalah pembaca bukul sejati. Sepertinya ja
sudah menemukan yang dicari.
"Nih,
baca sendiri," Andre menyodorkan dua buku padaku. Aku menerimanya sedikit
enggan. Aku lebih suka baca komik, sesungguhnya.
Kartini
Dari
Sisi Lain
Melacak
Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi
"Bangsa"
Dri
Ambaningsih
Dan
buku yang satunya lagi.
Amijn
Pane
Habis
Gelap Terbitlah Terang
Aku
menghela napas sambil menatap dua buku itu. "Jadi aku harus baca ini? Aku
kan nggak hobi baca."
"Ya,
terserah kamu," kata Andre.
"Okelah,
aku pinjam dulu bukunya."
---0---
Aku
menuju ruang makan. Sesekali aku menguap. Aku masih ngantuk sekali. Tadi malam
baru tidur jam dua karena keasyikan baca buku yang dipinjamkan Andre. Setelah
sarapan aku berniat mau tidur lagi. Mumpung minggu, sekolah libur.
Semua
sudah berkumpul di meja makan. Neni, Abi dan adikku Ema.
"Pagi
semuanya," sapaku malas.
Kulihat
makanan dan minuman sudah tersaji di atas meja makan. Dari aromanya makanan-makanan
ini hasil olah tangannya Mbak Ida, pemilik warung makan Masakan Bundo. Neni
pasti terlalu sebal untuk memasak gara-gara berengkar dengan suaminya.
"Ting...
Toong... Ting... Toong... " Saat sedang melahap sarapanku tiba-tiba bel
pintu rumag berdering.
"Biar
aku," kata Ema sembari berlari menuju pintu depan. Aku mengambil piring,
lali menyendok nasi dan ayam goreng. Tak lupa sayuran. Beberapa saat kemudian
Ema sudah berlari ke meja makan.
"Mama,
ada surat," kata Ema menghambur ke arah Neni.
"Dari
siapa sayang?"
"Tidak
tahu. Dia hanya memberikan surat ini lalu pergi," kata Ema.
Aku
memerhatikan Neni membaca surat entah dari siapa itu sambil melahap sarapanku.
Wajah Neni serius betul. Aku jadi penasaran. Sampai akhirnya Neni meletakkan
surat itu di atas meja. Tubuhnya gemetar, matanya menggambang.
"Mas,"
kata Neni kepada Abi. "Boleh aku bicara denganmu di kamar?"
Abi
beringsut mengikuti langkah Neni. "Kamu sarapan sama Kak Kafi ya
sayang," kata Abi kepada Ema sebelum menginggalkannya denganku. Aku ingin
tahu surat itu. Aku mengambilnya di atas meja setelah Neni dan Abi tidak ada.
Aku membaca surat itu.
Kepada
saudari Neni Herlambang
Alangkah
berbahagianya laki-laki , bila perempuannya bukan saja menjadi pengurus rumah
tangganya, ibu anak-anaknya saja, melainkan juga jadi sahabatnya, yang menaruh
minat akan pekerjaannya itu. Hal yang sedemikian itu tentulah berharga benar
bagi kaum laki-laki, yaitu bila dia bukan orang yang picik pemandangannya dan
angkuh.
Kami
di sini meminta, ya memohonkan, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan
pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukanlah sekali-kali karen kami
hendak menjadikan anak-anak perempuan itu saingan orang laki-laki dalam
perjuangan hidup ini, melainkan karena kami - oleh sebab sangat yakin akan
besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan - hendak menjadikan
perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan
oleh alam sendiri ke dalam tangannya; menjadi ibu - pendidik manusia yang
pertama-tama -.
Bukankah
dari perempuanlah manusia itu mula-mula sekali mendapat pendidikannya yang
biasanya bukan tidak penting artinya bagi manusia selama hidupnya.
Perempuanlah
yang menaburkan bibit rasa kebaktian dan kejahatan yang pertama-tama sekali
dalam hati sanubari manusia; rasa kebaktian dan kejahatan itu kebanyakannya
tetaplah ada pada manusia itu selama hidupnya.
Berapa
lamanya yang sudah lalu, pada pikir kami, orang yang pandai yang banyak
pengetahuannya, mulia pulalah budi pekertinya. Sayang! Untunglah dengan lekas kami
terjaga daripada mimpi itu - lalu mulailah tampak oleh kami, bahwa pengetahuan
banyak itu belumlah sekali-kali, menjadi ijazah tanda mulia budi pekerti orang
itu -.
Sangatlah
terharu hati kami, dan tercengang, ketika kami maklum hal sedemikian itu. Ketika
kami terlepas daripada rasa terharu itu kami selidiki perkara itu lebih lanjut
dalam-dalam, kami cari sebab-sebabnya. Dan kami pun sampai pulalah ke hadapan
pintu gerbang kebenaran yang ke dua : "Bukan sekolah itu saja yang
mendidik hati sanubari itu, melainkan pergaulan di rumah terutam harus mendidik
pula! Sekolah mencerdaskan pikiran sedang kehidupan di rumah tangga membentuk
watak anak itu!"
Ibulah
yang menjadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah
dipertanggungkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu : yaitu bagian
pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang
sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu.
O,
tahukah kiranya sekalian ibu, apa yang sebenarnya diterimanya, bila ia
dikaruniai bahagia perempuan yang sebesar-besarnya : kemewahan ibu!
Bersama-sama dengan menerima anak itu di terimanyalah kewajiban untuk membentuk
masa yang akan datang. Aduhai, jelas dan teranglah kiranya tergambar di hadapan
matanya, kewajiban yang dipertanggungkan oleh keibuannya kepada dirinyaa. Dia
mendapat anak itu bukanlah untuk dirinya sendiri; anak itu wajib dididiknya
untuk keperluan keluarga besar, yang anak itu menjadi anggotanya kelak,
keluarga yang sangat besarnya itu yang dinamai Masyarakat itu!***
Kartini
Aku
ternganga mirip buaya menanti mangsa. Apa ini? Dari Kartini? Yang benar saja.
"Ema,
tadi yang ngasih surat ini orangnya kayak gimana?" tanyaku pada Ema.
"Ibuk-ibuk,
Kak," jawab Ema.
Tiba-tiba
aku punya inisiatif yang aneh.
"Kakak
ke kamar sebentar. Kamu di sini jangan kemana-mana," kataku pada Ema.
Lekas aku berlari ke lantai atas. Aku masuk kamar lalu keluar lagi setelah
mengambil sesuatu .
Sesampainya
di ruang makan segera ku sodorkan buku "Habis Gelap Terbitlah Terang"
yang sampunya sosok ibunda Raden Ajeng Kartini kepada Ema.
"Apa
orang yang ngasih surat itu mirip orang ini?"
Ema
mengingat-ingar. Kepalanya miring ke kanan-kiri.
"Em
... Am ... Um ..."
Aku
menunggu dengan sabar.
"Iya,
mirip sih, Kak."
Mana
mungkin?
Mustahil!
***
Surat kepada Prof G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902, Dalam Sulastin, 1977
:272-3
Jepara,
2010